Berita Bekasi Nomor Satu
Hukum  

MK Sebut Kelakuan Baleg DPR Pembangkangan Secara Telanjang

Nasional Corruption Watch soroti jelang putusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) terkait aduan soal dugaan pelanggaran etik hakim MK.-agus tumoko-

RADARBEKASI.ID,JAKARTA-Ketua Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) I Gede Dewa Palguna menilai pembahasan Rancangan Undang-Undang Pilkada yang dibahas di Badan Legislatif DPR RI merupakan bentuk pembangkangan secara telanjang. Palguna mengatakan MKMK tidak perlu bersikap apa-apa terkait dinamika yang terjadi di antara pembentuk undang-undang, yakni pemerintah dan DPR, karena MKMK memang tidak mempunyai kewenangan untuk memeriksa Baleg DPR.

“Tapi, cara ini, buat saya pribadi adalah pembangkangan secara telanjang terhadap putusan pengadilan, c.q. Mahkamah Konstitusi,” kata Palguna yang dikutip dari JPNN, Kamis (22/8).

Palguna menegaskan bahwa MK merupakan lembaga negara yang diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945 untuk mengawal konstitusi. Di sisi lain, dia mengatakan, pembahasan RUU Pilkada oleh Baleg DPR RI itu sudah berada di luar kewenangan MK.

BACA JUGA:Soal Putusan MK soal Ambang Batas Pencalonan di Pilkada Serentak, Begini Respon Partai Demokrat Kota Bekasi

“Tinggal kelakuan itu dihadapkan dengan rakyat dan kalangan civil society (masyarakat sipil) serta kalangan kampus. Itu pun jika mereka belum kecapekan. MK adalah pengadilan yang, sebagaimana galibnya (lazimnya) pengadilan, baru bisa bertindak kalau ada permohonan,” tegas dia.

Sebelumnya, Baleg DPR RI dan pemerintah menyetujui untuk melanjutkan pembahasan RUU tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 atau RUU Pilkada pada rapat paripurna DPR terdekat guna disahkan menjadi undang-undang. Persetujuan itu disepakati dalam Rapat Panitia Kerja (Panja) RUU Pilkada Badan Legislasi DPR RI di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (21/8) kemarin.

Delapan fraksi di Baleg DPR RI menyatakan setuju terhadap pembahasan lebih lanjut RUU Pilkada. Delapan fraksi itu, yakni Fraksi Partai Gerindra, Fraksi Demokrat, Fraksi Golkar, Fraksi PKS, Fraksi NasDem, Fraksi PAN, Fraksi PKB, dan Fraksi PPP. Adapun Fraksi PDI Perjuangan menyatakan menolak pembahasan RUU Pilkada untuk diundangkan.

BACA JUGA:PDI Perjuangan Tetap Akan Buka Opsi Usung Anies Baswedan di Pilkada Jakarta, ‘Biar Rakyat Jadi Saksi’

Sementara itu, pemerintah yang diwakili Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian menyampaikan persetujuan agar RUU Pilkada diparipurnakan. Terdapat dua materi krusial RUU Pilkada yang disepakati dalam Rapat Panja RUU Pilkada ini.

Pertama, Pasal 7 UU Pilkada terkait syarat usia pencalonan disesuaikan dengan putusan Mahkamah Agung (MA). Pasal 7 ayat (2) huruf e, disepakati berusia paling rendah 30 tahun untuk calon gubernur dan calon wakil gubernur, serta 25 tahun untuk calon bupati dan calon wakil bupati serta calon wali kota dan calon wakil wali kota terhitung sejak pelantikan pasangan terpilih.

Padahal, MK dalam pertimbangan hukum Putusan Nomor 70/PUU-XXII/2024, menegaskan bahwa penghitungan syarat usia calon kepala daerah harus terhitung sejak penetapan pasangan calon, bukan saat pasangan calon terpilih dilantik menjadi kepala daerah.

BACA JUGA:Tanggapi Riuhnya Kritik Hasil RUU Pilkada di Media Sosial, Jokowi: Yang Ramai Tetap Si Tukang Kayu

Kedua, Pasal 40 UU Pilkada terkait ambang batas pencalonan kepala daerah tidak mengakomodasi putusan MK secara utuh. Baleg DPR menyepakati, ambang batas yang ditentukan MK dalam Putusan Nomor 60/PUU-XXII/2024 diberlakukan hanya bagi partai nonparlemen atau tidak memiliki kursi di DPRD.

Sementara, partai yang memiliki kursi di DPRD tetap mengikuti aturan lama, yakni minimal 20 persen perolehan kursi DPRD atau 25 persen perolehan suara sah. Padahal, dalam Putusan Nomor 60/PUU-XXII/2024, MK sejatinya menyatakan partai politik yang tidak mendapatkan kursi di DPRD bisa mencalonkan pasangan calon kepala daerah.

Penghitungan syarat untuk mengusulkan pasangan calon melalui partai politik atau gabungan partai politik hanya didasarkan pada hasil perolehan suara sah dalam pemilu di daerah yang bersangkutan, yakni berkisar 6,5 hingga 10 persen. (ce1)