Berita Bekasi Nomor Satu

Pengamat: Pemerintah Harus Ambil Langkah Kontret Dongkrak Daya Beli Masyarakat

BELI JAJANAN: Siswa SMPN 34 Kota Bekasi membeli jajanan dengan menggunakan voucher di kantin sekolah. DEWI WARDAH/RADAR BEKASI 

RADARBEKASI.ID, BEKASI-Indikasi penurunan daya beli masyarakat, terutama di kalangan kelas menengah ke bawah makin mencolok terlihat dari beberapa fenomena yang terjadi belakangan ini. Pengamat sekaligus Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Dian Nuswantoro Semarang Nanda Adhi Purusa menyoroti tren negatif tersebut dan mendesak pemerintah untuk segera mengambil langkah konkret.

Salah satu fenomena yang menarik perhatian adalah istilah ‘mantap’ atau makan tabungan, yang menggambarkan menyusutnya tingkat tabungan masyarakat. Saat ini, banyak orang mulai mengurangi porsi tabungan demi memenuhi kebutuhan sehari-hari.

“Ini menunjukkan adanya tekanan yang signifikan pada kemampuan konsumsi rumah tangga,” ungkap Nanda yang dilansir dari JPNN.com, Senin (14/10).

BACA JUGA:Daya Beli Lesu, Pengunjung Mal di Kota Bekasi Menurun

Lebih lanjut, dia mengungkapkan penurunan proporsi kelas menengah yang cukup mencolok. Data menunjukkan bahwa proporsi kelas menengah pada 2019 mencapai 21,45 persen, tetapi pada 2024, angka tersebut turun menjadi 17,13 persen.

Sementara itu, jumlah penduduk yang rentan miskin justru meningkat dari 20,56 persen pada 2019 menjadi 24,23 persen tahun ini. “Kondisi ini perlu diantisipasi dengan segera, karena jika tidak, dampaknya dapat makin merugikan perekonomian secara keseluruhan,” tegas Nanda.

Selain itu, perkembangan indeks harga konsumen yang mencerminkan adanya deflasi bulanan dalam enam bulan terakhir juga menjadi sorotan. Nanda menilai penurunan harga ini bisa menjadi pertanda melemahnya daya beli masyarakat, meskipun perlu analisis lebih lanjut mengenai penyebab deflasi tersebut apakah disebabkan oleh permintaan yang lemah atau faktor lainnya.

BACA JUGA:Maksimal Jaga Daya Beli Masyarakat

Dalam sektor ketenagakerjaan, Nanda mencatat berdasarkan data dari Kementerian Ketenagakerjaan, jumlah pekerja yang mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) terus meningkat sepanjang 2024. “Data ini mencerminkan bahwa sektor riil belum sepenuhnya pulih, sehingga banyak perusahaan terpaksa merumahkan karyawan,” ungkapnya.

Dari sisi kebijakan moneter, penurunan suku bunga acuan BI-Rate sebesar 25 basis poin menjadi 6 persen pada bulan September lalu memberikan harapan baru bagi pasar. Namun, Nanda menekankan bahwa langkah ini harus diimbangi dengan kebijakan fiskal yang proaktif.

“Pemerintah perlu memperkuat daya beli masyarakat dengan kebijakan yang mendukung sektor industri dan belanja pemerintah. Misalnya, meningkatkan belanja yang dapat memberikan efek pengganda terhadap konsumsi masyarakat,” jelasnya.

BACA JUGA:Peran Fiskal Adaptif Menjaga Kestabilan Ekonomi di Jawa Barat

Stabilitas sosial politik juga dianggap sebagai faktor penting di tengah transisi pemerintahan dan pilkada serentak yang akan dilaksanakan. Dengan langkah-langkah strategis ini, diharapkan daya beli masyarakat dapat pulih dan mendorong pertumbuhan ekonomi nasional ke arah yang lebih baik.

“Kepastian politik sangat berpengaruh pada iklim investasi dan kinerja industri, terutama yang padat karya,” tuturnya. (ce1)