Berita Bekasi Nomor Satu

Kisah Sanip 35 Tahun Usaha Tempe: Pernah Berhenti Jualan karena Kesulitan Pasokan Kedelai

CEK TEMPE: Sanip (65) mengecek tempe-tempe yang siap dijual di rumah produksi miliknya di Kampung Cabang Lio RT 03 RW 04 Desa Karangasih Kecamatan Cikarang Utara Kabupaten Bekasi, Kamis (24/10). ARIESANT/RADAR BEKASI

RADARBEKASI.ID, BEKASI – Selama 35 tahun, Sanip (65), pria asal Pekalongan Jawa Tengah, ini menekuni usaha sebagai produsen tempe. Usaha ini dimulai ketika ia merantau menjadi pekerja di pabrik tempe milik keluarganya.

Sanip memutuskan untuk memproduksi dan menjual tempe sendiri pada 1989 di Kampung Pengkolan Desa Kalijaya Kecamatan Cikarang Barat Kabupaten Bekasi. Dengan modal awal Rp450 ribu, Sanip mulai memproduksi tempe menggunakan 10 kilogram kacang kedelai sebagai bahan baku.

“Awal bikin 10 kilogram, lama-lama meningkat sampai 60 kilogram. Cuma namanya dari pemula, pindah-pindah tempat. Awal itu di daerah Kampung Pengkolan terus ke Kampung Kaum. Alhamdulillah sekarang sudah punya sendiri,” ungkap Sanip di Desa Karang Asih Kecamatan Cikarang Utara, Kamis, (24/10).

BACA JUGA: Pemkab Bekasi Berupaya Jaga Stabilitas Pangan

Pada 2024, Sanip telah memiliki tempat usaha permanen di Kampung Cabang Lio RT 03 RW 04 Desa Karangasih Cikarang Utara. Awalnya, Sanip mempekerjakan satu karyawan, namun kini ia memiliki dua karyawan serta empat anak yang membantunya memproduksi tempe dengan kapasitas 1,5 hingga 2 kwintal kedelai.

Berbagai kendala sering dihadapi Sanip dalam menjalankan usahanya, termasuk naik turunnya pendapatan dan kesulitan mendapatkan bahan baku. Sanip mengakui, musim panas membuat penjualan tempe menurun, sedangkan musim hujan biasanya meningkatkan permintaan.

Ketersediaan bahan baku yang tidak stabil serta harga kedelai yang tinggi sering menjadi masalah bagi Sanip dan para pengrajin tempe lainnya di Kabupaten Bekasi.

Menurutnya, kacang kedelai sebagai bahan baku utama pembuatan tempe saat ini sepenuhnya bergantung pada impor, sehingga pasokan yang tidak menentu membuat harga kedelai fluktuatif.

Sanip mengatakan bahwa ia pernah berhenti berjualan selama beberapa hari karena kesulitan mendapatkan pasokan kacang kedelai. Selain itu, dalam beberapa tahun terakhir, harga kacang kedelai impor sempat mencapai titik tertinggi, yaitu Rp1,5 juta per kuintal, dari harga normal sekitar Rp700 ribu hingga Rp800 ribu per kuintal.

BACA JUGA: Pelaku Ekonomi Kreatif Perlu Tingkatkan Kreativitas agar Naik Kelas  

“Kalau untuk sekarang itu stabil di harga Rp900 ribu per kwintal,” terangnya.
Untuk mengatasi kenaikan harga tersebut, Sanip memilih mengurangi ukuran tempe yang diproduksi daripada menaikkan harga, karena khawatir pelanggan akan beralih ke tempat lain.

“Kalau harga kacang lagi mahal, kita nggak naikin harga. Biasanya kita kecilin ukurannya, produksinya juga kita kurangin, biasa 1,5 kwintal jadi 1,2 kwintal,” ucapnya.

Pemilik merek tempe SP (Super) ini juga mengakui bahwa meskipun omzet penjualan naik-turun karena biaya produksi yang semakin tinggi, ia tetap bersyukur usahanya masih bertahan hingga kini. Dalam sebulan, Sanip menggaji karyawannya sebesar Rp3 juta per orang.

“Omzet per kuintal itu bersihnya sekitar Rp500 ribu. Dalam sehari, produksi bisa mencapai 1 sampai 2 kuintal. Gaji karyawan Rp3 juta per bulan sudah termasuk makan dan rokok,” tambahnya.

Meskipun telah puluhan tahun menjalankan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), Sanip belum pernah mendapatkan bantuan modal dari pemerintah. Ia menjelaskan bahwa sejak awal usahanya berjalan murni dengan modal pribadi, meskipun seringkali dijanjikan bantuan oleh pemerintah maupun wakil rakyat yang berkunjung.

BACA JUGA: Disdik dan KCD Tunggu Juknis Program Makan Bergizi Gratis

“Pernah mengajukan (bantuan modal,red), tapi gak direalisasikan sampai sekarang. Kayak kemarin ada kunjungan dari dewan, katanya mau dapat bantuan tapi sampai sekarang nyatanya gak ada, cuma dijanjiin,” katanya.

Menurut Sanip, yang membedakan tempe merek SP miliknya dengan lainnya adalah kualitasnya, karena dibuat dari kacang kedelai tanpa kulit. Hal ini membuat tempe produksinya sangat digemari oleh pembeli.

“Perbedaannya, tempe kita bener-bener murni, nggak ada kulit kacang,” ucapnya.

Ia menjelaskan bahwa setiap hari dirinya berjualan di pasar tumpah Cikarang dan menyuplai ke warung-warung kecil di perkampungan. Namun, ia mengakui saat ini tertinggal dari pengrajin lainnya yang sudah menggunakan sistem penjualan online.

“Harapan harga kacang kedelai stabil, jangan terlalu kayak kemaren-kemaren sampai melambung tinggi,” tutupnya. (ris)