Judul : Melawat ke Talawi Tapak Langkah Wartawan Adinegoro
Penulis : Lestantya R. Baskoro, Maskur Abdullah, Iwan Kurniawan, Irfan Budiman
Penerbit : Lembaga Pers Dr. Soetomo (LPDS)
Cetakan I : Juli 2023
Tebal Buku : xii + 149 halaman
’’NAMA Adinegoro bisa jadi asing bagi para wartawan di era jurnalisme online sekarang. Sosoknya tak lagi banyak dikenal. Kalaupun mereka mengenalnya, mungkin samar-samar,” tulis Lestantya R. Baskoro, penulis buku Melawat ke Talawi Tapak Langkah Wartawan Adinegoro sekaligus editor dalam kata pengantarnya.
Tidak banyak buku jurnalistik yang menulis tentang Adinegoro. Adinegoro, pemilik nama asli Djamaluddin, itu dulu saat menjadi mahasiswa kedokteran kerap menulis dan mengirimkan tulisannya dan dimuat media Tjaja Hindia.
Dalam setiap artikelnya, Adinegoro selalu mencantumkan inisial “Dj” sebagai kependekan “Djamaluddin.” Landjumin Datuk Tumenggung, pemilik Tjaja Hindia, yang menyukai karya Djamaluddin, lantas mengusulkan nama “berbau Jawa” yaitu Adinegoro. Tujuannya untuk menaikkan jumlah pembacanya.
‘Nama pena’ Adinegoro itu terungkap oleh Soebagijo Ilham Notodidjojo, dalam buku satu-satunya tentang Adinegoro berjudul Adinegoro: Pelopor Jurnalistik Indonesia.
BACA JUGA: Membangunkan Raksasa Tidur
Buku Melawat ke Talawi Tapak Langkah Wartawan Adinegoro adalah sebuah karya yang memberikan pengalaman membaca yang luar biasa. Buku ini ditulis dengan gaya yang informatif, memberikan sisi lain dari Adinegoro.
Tulisan di dalamnya pun mengajak pembaca lebih mengenal sosok tokoh Adinegoro dari sudut pandang keluarga dan orang-orang terdekatnya. Pembaca juga dapat melihat tempat-tempat yang dulunya memiliki hubungan erat dengan Adinegoro.
Dalam buku ini, terungkap pula mengapa Adinegoro berpindah haluan dari dunia kedokteran ke jurnalistik. Bukan hanya karena kecintaannya dalam dunia tulis menulis, tetapi juga karena Adinegoro merasa risih jika harus memeriksa pasien wanita. Hal itu sebagaimana diungkapkan putrinya, Anita Marni, kepada penulis. Maka, Adinegoro pun memutuskan untuk tidak melanjutkan sekolah kedokterannya.
BACA JUGA: “Berdamai dengan Sunyi”, Basiimah Putri Heri Koswara Menepis Stigma Difable Tak Berdaya
Ditulis oleh Lestantya R. Baskoro dkk, buku ini diawali dengan menampilkan gambar, bekas rumah gadang Adinegoro di Talawi, sebuah kacamatan di Kota Sawahlunto, Sumatera Barat. Tempat di mana Adinegoro dilahirkan pada 14 Agustus 1904. Di Talawi pula Adinegoro mengecapkan masa kecilnya.
Kini, rumah tersebut hanya tersisa undak-undakan yang terbuat dari semen. Bagian lahan yang dulu tempat berdirinya rumah gadang itu, sekarang ditempati cucu Adinegoro, Iriswati Alamsyah, kala itu 83 tahun.
Iriswati pun menceritakan momen bersama Adinegoro. Ia memanggilnya dengan sebutan “Anten”, yang artinya “kakek”. Iriswati mengenang kakeknya sebagai pribadi yang ramah dan baik hati.
Salah satu hal yang membuat buku ini begitu menarik adalah keragaman sumber utama yang dekat dengan sosok Adinegoro yang diwawancarai penulis. Mereka adalah anak-anak Adinegoro mulai dari Anita Marni (86 tahun), anak kedua Adinegoro. Dan Adiwarsita (78 tahun), anak ketiga Adinegoro. Mereka menceritakan kenangan bersama Adinegoro. Bagaimana mereka menikmati liburan dan beranjangsana ke kediaman keluarga sang ayah.
Selain itu, juga ada Julinar (98 tahun), satu-satunya keponakan yang ikut berangkat ke Medan ketika Adinegoro menjadi pemimpin redaksi Pewarta Deli. Dalam pandangan Julinar, Adinegoro yang ia panggil “Om” itu adalah sosok pendiam tetapi sangat memperhatikan hal-hal kecil di keluarganya. Menurut Julinar, pamannya memiliki banyak teman.
Buku dengan tebal 147 halaman yang memiliki total delapan bab ini, tidak hanya membahas fakta-fakta menarik sosok Adinegoro dari sudut pandang orang-orang terdekatnya, juga menceritakan perjalanannya hidupnya dimulai saat melawat ke Barat, perhatiannnya terhadap bahasa dan sastra melalui karyanya Atlas Semesta Dunia, Ensiklopedia dalam Bahasa Indonesia, Falsafah Ratu Dunia, serta dua tulisan roman Asmara Djaja pada 1928 dan Darah Moeda pada 1929. Ia pun juga aktif dalam Kongres Bahasa Indonesia.
Dalam buku ini juga dikisahkan kiprahnya Adinegoro di sejumlah media, seperti memimpin majalah Pandji Poestaka di Batavia (Jakarta), Pewarta Deli di Medan dan Mimbar Indonesia. Serta dimintanya ia untuk memimpin Kantor Berita Persbiro Indonesia-Aneta.
Selain bergiat di dunia pers, Adinegoro juga terlibat dalam masalah ketatanegaraan. Pada 1954, Presiden Soekarno mengangkat Adinegoro sebagai anggota Dewan Perancangan Nasional (Dapenas) dan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dari golongan fungsional.
Buku ini juga mengisahkan masa-masa akhir Adinegoro berkarier sebagai wartawan. Di Kantor Berita ANTARA, Adinegoro memimpin bidang riset, dokumentasi, dan pendidikan. Dalam posisi dan jabatan seperti itu, membuatnya tidak lagi dapat menyuarakan idealismenya.
Hingga sebuah kabar duka datang, pada 8 Januari 1967, Adinegoro kembali ke pangkuan sang Pencipta. Penulis puluhan buku itu wafat karena penyakit jantung. Dan semasa hidupnya Adinegoro menulis sebanyak 25 karya buku.
Secara keseluruhan, buku ini begitu menarik karena keragaman topik yang dibahas. Dari perjalanan hidup, sejarah, hingga falsafah. Ini memungkinkan pembaca untuk mendapatkan wawasan yang mendalam dari pandangan Adinegoro serta berbagai aspek kejurnalistikan.
Selain itu, yang membuat buku ini begitu istimewa, seperti yang sudah disebutkan di atas, keragamanan narasumber yang memiliki hubungan langsung dengan Adinegoro, sehingga pembaca mengetahui sisi lain dari wartawan kawakan tersebut, dan memicu perasaan yang lebih dekat. Membuat buku ini sangat menyenangkan untuk dibaca.
Gaya penulisan penulisnya sangat memikat. Bahasanya lancar, jelas, dan mudah dimengerti. Tulisan ini menggunakan plotting flashback atau sorot belakang dengan mengisahkan apa yang terjadi di masa lampau dari pandangan orang-orang terdekatnya. Dalam buku ini juga terdapat ilustrasi untuk menggambarkan suasana cerita.
Mood dalam penulisan ini juga berubah seiring berjalannya cerita. Mulai dari kisah perjalanan Adinegoro, terasa semangat membuat dada menggebu-gebu. Konflik dengan rasa tekanan yang tidak dapat dihindari, hingga Adinegoro wafat sebagai penutup tulisan dengan mengakhiri pengisahan. Buku ini sangat menarik dan berharga, penulisnya berhasil menciptakan karya yang menghibur sekaligus merangsang pikiran.
Meski seperti itu, sangat disayangkan buku Melawat ke Talawi Tapak Langkah Wartawan Adinegoro belum memiliki ISBN (International Standard Book Number), ISBN terdiri dari deretan angka 13 digit, sebagai pemberi identifikasi terhadap satu judul buku yang diterbitkan. Sehingga peluang untuk menjangkau khalayak yang lebih luas menjadi terbatas, yang seharusnya buku ini dapat dinikmati oleh lebih banyak pembaca. (Nur `Aina Aziza Gustina/Magang PNJ)