RADARBEKASI.ID, BEKASI – Dewan Pengurus Pusat Persatuan Alumni Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (DPP PA GMNI ) membuat forum diskusi dan bedah buku dalam rangka bulan Bung Karno.
Forum tersebut diadakan di Sekretariat DPP PA GMNI, Jakarta, yang dihadiri oleh mahasiswa, praktisi, dan akademisi ilmu komunikasi. Forum itu sekaligus membahas isi buku “Komunikasi Politik, Aktivisme, dan Sosialisme” yang ditulis oleh Erik Ardiyanto l selaku penulis dan Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Paramadina.
Para narasumber pada forum tersebut adalah Erik Ardiyanto selaku penulis, Ade Reza Hariyadi selaku Ketua DPP PA GMNI Bidang Pendidikan dan SDM, Ika Karlina Idris selaku Dosen Monash University Indonesia, Airlangga Pribadi Kusman selaku Dosen Universitas Airlangga Surabaya.
Keempat narasumber tersebut adalah dosen aktif yang mengajar di kampusnya masing-masing. Keempat narasumber itu membahas tentang isi buku “Komunikasi Politik, Aktivisme dan Sosialisme” terbitan GDN Press dan mengaitkannya dengan situasi politik di Indonesia saat ini.
Ketua Umum DPP PA GMNI, Prof. Arief Hidayat, dalam sambutannya mengatakan bahwa kebijakan negeri ini boleh dikritik. Hal itu dikarenakan negeri ini dibangun dengan asas intelektual.
“Jadi kita di GMNI itu belajar berorganisasi dan belajar secara intelektual. Jadi, gak apa-apa kita mengkritik kebijakan-kebijakan yang ada di negara kita sepanjang landasan argumentasinya dan tujuannya jelas,” ujar Prof. Arief.
BACA JUGA: GmnI Helat KTD I
Arief juga mengingatkan pergulatan pemikiran dan kritik juga harus tetap mengacu pada kosmologi dan kearifan lokal yang hidup di Indonesia.
Narasumber yang pertama, yaitu Erik Ardiyanto menjelaskan tentang isi buku yang ditulisnya. Ia menyebutkan melalui buku ini kita bisa belajar dari tokoh-tokoh politik progresif Amerika Serikat dan Inggris seperti Bernie Sanders, Alexandria Ocasio-Cortez, dan Jeremy Corbyn.
Menurut Erik, mereka bertiga adalah politikus sukses yang menarasikan kembali ide-ide sosialisme modern ke publik. Mereka secara aktif menyuarakan gagasannya lewat media alternatif seperti medsos dan berhasil merebut suara publik di sana.
“Hingga kini, proses negasi politik sosialisme sebagai alternatif atas politik kapitalisme terus hilang di benak publik karena distorsi media-media dan aktor-aktor politik yang tidak menginginkan ide itu terwujud, tetapi tidak dengan tiga tokoh tersebut,” ujar Erik.
Ia juga berharap melalui buku yang ditulisnya menjadi semacam pembelajaran untuk membangun keyakinan kepada para aktivis mahasiswa bahwa dengan bermodal ide dan gagasan, seorang aktivis bisa sukses dalam kontestasi politik seperti ketiga tokoh tersebut.
Adapun Airlangga Pribadi Kusman memberikan pandangannya tentang tumbuhnya kaum-kaum kapitalis di calon atau pemegang kekuasaan di Indonesia.
“Kapitalisme adalah sebuah masalah. Para calon pemegang kekuasaan di Indonesia saat ini membutuhkan oligarki untuk biaya kontestasi. Dan itu berbahaya karena rentan dikendalikan oleh yang membiayai,” ujar Airlangga.
Berbeda dari kedua narasumber tersebut, Ika Karlina Idris memberikan pengalamannya ketika ia berkuliah di Amerika Serikat. Ia memberikan pengalamannya tentang Audience Priority di kalangan masyarakat Amerika Serikat dimana prioritas antara anak muda dan orang tua itu jauh berbeda. Hal ini berkaitan dalam pembuatan kebijakan publik.
“Di sana (Amerika Serikat) itu bingung karena anak mudanya butuh apa, dan para orangtuanya butuh apa,” ujar Ika.
Selain itu, ia juga menambahkan bahwa anak muda di Indonesia itu mempunyai ruang publik maya nya sendiri.
“Untuk sekarang banyak topik yang disukai di platform instagram dan twitter, tetapi mungkin di facebook dia gak suka” tambah Ika
Narasumber yang terakhir, Ade Reza Hariyadi mengemukakan pendapatnya tentang media sosial yang bisa mengawasi berjalannya kebijakan publik yang telah disahkan para penguasa. Menurutnya, saat ini media menjadi wadah generasi muda untuk membangun kesadaran kritis baru yang berguna bagi masyarakat.
“Jadi media sosial itu dimanfaatkan oleh masyarakat untuk memprotes kebijakan-kebijakan yang tidak ada hasilnya. Kesadaran masyarakat itu tumbuh karena kesadaran kritis dari masyarakatnya juga,” ujar Ade.
Komunikasi politik pada dasarnya adalah bagaimana cara seorang individu mendapatkan sebuah kekuasaan. Secara harfiah, politik itu sendiri artinya tentang kekuasaaan, namun dalam artian yang lebih luas politik itu berarti bagaimana sebuah kekuasaan tersebut dapat berguna bagi lingkungan dan sekitarnya.
Di akhir acara, narasumber berharap acara dengan bentuk forum seperti ini dapat diperbanyak lagi, sehingga menjadi wadah untuk memperkaya ilmu pengetahuan di bidang politik. (bis)