RADARBEKASI.ID, BEKASI – SD Al Muslim berkomitmen untuk mewujudkan sekolah yang aman bagi peserta didik tanpa aktivitas bullying atau perundungan dengan berbagai upaya preventif. Antara lain melalui Penyuluhan dan Deklarasi Anti Bullying, serta membentuk Tim Disiplin Sekolah.
Pada Selasa (15/8), sejumlah orangtua siswa mengikuti kegiatan Penyuluhan Anti Bullying di Aula Kholid bin Walid. Penyuluhan tersebut juga diberikan kepada siswa di kelas.
Materi penyuluhan disampaikan oleh anggota Pusat Advokasi Hukum dan Hak Asasi Manusia (PAHAM) Indonesia Bekasi Raya, Maryanih; dan Akademisi Universitas Bhayangkara Jakarta Raya (Ubhara Jaya), Novrian. Dalam kesempatan itu, siswa dan ayah bunda melakukan penandatanganan Deklarasi Anti Perundungan.
“Penandatanganan Deklarasi Anti Perundungan dari siswa dan orangtua ini adalah komitmen SD Al Muslim untuk menjadikan sekolah yang aman tanpa perundungan. Ini tidak akan terwujud tanpa dukungan ayah bunda, bapak, ibu guru, dan semua warga sekolah,” ungkap Kepala SD Al Muslim, Sri Andriyani dalam sambutannya.
Selanjutnya, untuk mencapai sekolah yang aman untuk belajar tanpa perundungan, SD Al Muslim melantik 16 anak sebagai Tim Disiplin Sekolah yang diwakili oleh siswa kelas 3, 4, 5, dan 6. Siswa lainnya berkesempatan menjadi Tim Disiplin Sekolah karena setiap tiga bulan sekali bergantian.
“Setiap anak memiliki tanggung jawab untuk mendisiplinkan diri sendiri dan teman-temannya,” ucapnya.
BACA JUGA: Yayasan Pendidikan Al Muslim Gelar Wisuda Al-Qur’an bagi 483 Siswa
Pelaksana tugas (Plt) Kepala Bidang Pendidikan Yayasan Al Muslim, Sahid Hudri, mengungkapkan bahwa anak-anak sekarang yang hidup dalam era digital memiliki kesempatan untuk bersosialisasi baik di dunia nyata maupun di dunia maya. Tidak hanya terbatas pada Indonesia, mereka juga dapat berinteraksi dengan anak-anak dari luar negeri.
Generasi ini memiliki potensi luar biasa. Oleh karena itu, perlu untuk mendapatkan panduan agar mereka tidak terjerumus dalam lingkungan yang tidak sehat.
Dalam ranah media sosial, perlu diwaspadai potensi perilaku negatif seperti intimidasi dan penjelekan. Sementara itu, teknologi yang dimanfaatkan dengan bijak dapat memberikan dampak positif yang signifikan bagi perkembangan kompetensi dan pandangan global.
“Melalui kegiatan ini kita coba mengajak anak-anak kepada hal positif. Supaya mereka bisa mengenal perundungan atau bullying, memahami tanda-tandanya, serta belajar bagaimana cara mencegah dan menghadapi situasi tersebut,” tuturnya.
Dengan demikian, sekolah dapat menjadi tempat yang aman dan bebas dari perundungan. Sehingga bisa menciptakan siswa menjadi generasi yang berintegritas dan memberikan kontribusi positif kepada lingkungan dan negara, serta menunjukkan sikap dan akhlak yang mulia.
“Dengan penyuluhan ini, kami juga berharap orangtua lebih paham dalam mendidik anak di rumah maupun di sekolah,” ungkapnya.
BACA JUGA: Bunda PAUD Jabar Atalia Praratya Apresiasi Pendidikan di PG-TK Al Muslim
Dalam kesempatan itu, Maryanih menyampaikan Konvensi PBB tentang Hak Anak menyebutkan ada empat hak dasar anak yang harus dipenuhi. Yakni, Hak Kelangsungan Hidup, Hak Tumbuh Kembang, Hak Perlindungan, dan Hak Berpartisipasi.
Pada Hak Kelangsungan Hidup, selain berhak untuk hidup, setiap anak berhak untuk mempertahankan dan terpelihara hidupnya. Kemudian Hak Tumbuh Kembang, yakni hak setiap anak untuk mendapatkan pendidikan dan standar hidup yang layak.
Selanjutnya, Hak Perlindungan. yakni perlindungan dari diskriminasi, eksploitasi, kekerasan, dan keterlantaran. Setiap anak berhak untuk menyatakan pendapatnya dan didengarkan pendapatnya dalam hal-hal yang berkaitan dan memengaruhi hidupnya.
“Pada Hak Perlindungan, orangtua tidak boleh memarahi anak,” ucapnya.
Terakhir Hak Berpartisipasi. yakni setiap anak berhak untuk menyatakan pendapatnya dan didengarkan pendapatnya dalam hal-hal yang berkaitan dan memengaruhi hidupnya.
“Pada Hak Berpartisipasi, anak-anak minta didengar oleh orangtuanya,” ucapnya.
BACA JUGA: KPAD Kota Bekasi: Kekerasan Anak Naik Tiap Tahun
Maryanih juga menyampaikan mengenai bentuk kekerasan menurut Undang-Undang Perlindungan Anak. Yakni kekerasan fisik, psikis (emosional), kekerasan seksual, kekerasan dalam bentuk penelantaran, dan eksploitasi. Adapun tempat terjadi kekerasan berada di lingkungan keluarga, lingkungan pendidikan, dan lingkungan masyarakat. Kekerasan fisik dan psikis sering terjadi di lingkungan pendidikan atau sekolah.
Meskipun kegiatan siswa di sekolah diawasi oleh guru, terdapat celah adanya perundungan. “Terjadinya saat pergantian jam pelajaran maupun istirahat. Waktu-waktu ini kan tidak diawasi oleh guru,” ucapnya.
Ia mencontohkan perundungan yang kerap terjadi di sekolah. Seperti saling ejek maupun body shaming atau tindakan menghina bentuk atau ukuran tubuh orang lain.
“Perundungan ini ringan ini dicegah oleh orangtua dengan pembekalan di rumah. Karena madrasah pertama adalah orangtua,” ucapnya.
Bila terjadi perundungan di lingkungan sekolah, ia meminta siswa untuk segera melapor. Di SD Al Muslim misalnya, Tim Disiplin Sekolah bisa melaporkan ke guru bimbingan konseling (BK).
“Nanti guru BK yang menindaklanjutinya,” pungkasya.
BACA JUGA: KPAD Sisir Korban Asusila Oknum Guru SDN Jatirasa 3
Sementara, Novrian mengungkapkan, bahwa orangtua perlu memahami dengan mendalam pola asuh guna mencegah perundungan, baik di dalam maupun di luar lingkungan keluarga. Saat situasi perundungan muncul, peran serta serta kepedulian orangtua sangatlah penting.
Sistem pendidikan di sekolah dan peran orangtua sebaiknya berjalan sejalan untuk mengatasi permasalahan perundungan. Kolaborasi antara kedua belah pihak ini dapat memberikan hasil yang lebih efektif.
Penyelesaian permasalahan perundungan di lingkungan sekolah mengharuskan keterlibatan orangtua, guru, dan jika memungkinkan dapat melibatkan siswa dalam mencari solusi. Upaya ini bertujuan agar penyelesaian perundungan bukan hanya menjadi tanggung jawab pihak tertentu, melainkan dilakukan secara bersama-sama.
“Ajarkan anak menyelesaikan bareng-bareng. bukan hanya sekadar memaafkan,” ujar akademisi yang juga Wakil Ketua Perlindungan Anak Daerah (KPAD) Kota Bekasi ini.
Diperlukan pendekatan yang melibatkan semua pihak, sehingga masalah perundungan dapat diatasi secara komprehensif. Ini bukan hanya tentang memberikan nasihat, tetapi juga mengajarkan anak-anak untuk menyelesaikan masalah bersama dengan bimbingan.
Pentingnya membangun budaya pendidikan yang inklusif sehingga anak-anak dapat berbagi dan bersahabat. Konsep ini akan membuat perundungan menjadi hal yang terpinggirkan, karena semua pihak memiliki tujuan yang sama yaitu kemajuan bersama.
“Bullying akan hilang bila konsep sudah sama, kita punya kepentingan yang sama, kita bisa maju bersama. Budayanya kolaborasi, bukan lagi kompetisi,” ucapnya.
Beberapa kasus yang kerap dihadapi menunjukkan bahwa laporan orangtua kepada guru seringkali memicu konflik di antara orangtua sendiri, karena anak-anak mereka enggan mengakui kesalahan. Oleh karena itu, langkah-langkah yang lebih holistik perlu diambil.
Sekolah perlu melibatkan pihak ketiga sebagai mediator ketika perundungan terjadi, guna memastikan penanganannya berjalan adil dan objektif.
“Sekolah butuh pihak ketiga untuk menetralisir ketika bullying terjadi,” pungkasnya. (oke)