RADARBEKASI.ID, JAKARTA – Kasus pembunuhan Vina Cirebon yang tak kunjung tuntas hingga delapan tahun dan personel Detasemen 88 (Densus 88) diduga memata-matai Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus) Kejaksaan Agung (Kejakgung) jadi sorotan akhir pekan ini.
Pakar psikolog forensik Reza Indragiri membandingkan kinerja Polri dalam dua kasus tersebut.
Reza menilai ada kemiripan antara kasus pembunuhan Vina Cirebon dengan anggota Densus 88 diduga memata-matai Jampidsus Kejakgung Febrie Adriansyah.
BACA JUGA: Setelah Delapan Tahun, Satu dari Tiga DPO Kasus Pembunuhan Vina Cirebon Ditangkap
Soal kasus Vina Cirebon, Reza menyampaikan berdasarkan pengakuan penasihat hukum, para tersangka ternyata ditangkap bukan oleh anggota Satreskrimum, melainkan Satresnarkoba Polresta Cirebon.
“Apakah itu dianggap wajar? Jika ya, maka kerja lintas pagar oleh sejumlah orang yang disebut-sebut sebagai anggota Densus 88 dengan menguntit Jampidsus serta-merta juga memiliki pembenarannya,” kata Reza seperti dikutip dari Jpnn.com, Sabtu (25/5/2024).
Dia mengatakan Densus 88 yang merupakan bagian dari Polri tentu harus dipertanyakan apakah operasi personelnya itu merupakan penugasan resmi atau bukan.
BACA JUGA: Penangkapan Perong Tak Sesuai Ciri-Ciri Info DPO Kasus Vina Cirebon, Polisi Bilang Begini
“Ataukah penugasan tidak resmi, bahkan mungkin ilegal oleh kelompok tertentu dalam institusi Polri? Atau sepenuhnya inisiatif pribadi sejumlah personel tanpa membawa-bawa lembaga? Kemungkinan ketiga itu analog dengan para pelaku penyiraman air keras ke Novel Baswedan sekian tahun silam,” terangnya.
Reza juga menyampaikan ada kemungkinan lain apakah Densus 88 sekarang menjalankan tugas mirip Satgas Merah Putih sebelum dibubarkan.
“Satgas itu menjalankan misi-misi khusus yang terlalu pelik dijangkau oleh satuan-satuan kerja resmi Polri. Jawaban atas pertanyaan di atas akan menentukan skala penyikapan oleh Polri,” tuturnya.
BACA JUGA: Suami Ditahan Kejagung, Sandra Dewi Curhat Begini
Dia juga menyebutkan jika isu ini sudah menjadi gesekan antarlembaga, langkah untuk menemukan kepastian atas segala kemungkinan tersebut patut dilakukan penyelidikan bersama antara Polri dan Kejagung.
“Sebagaimana TNI dan Polri melakukan investigasi bersama atas kasus-kasus tertentu. Format operasi bersama semakin dibutuhkan guna mengatasi kemungkinan adanya krisis kepercayaan, bahkan perluasan kemelut, antarlembaga negara sekaligus antarlembaga penegakan hukum,” tegasnya.
“Jika tidak teratasi, risiko menurunnya kualitas penegakan hukum dan pelayanan bagi masyarakat bisa menjadi masalah nyata yang akan masyarakan alami,” tutur Reza.
Tak hanya itu, Reza menilai kegiatan personel Densus 88 tersebut, ditambah konvoi sejumlah personel dan kendaraan Polri di sekitar gedung Kejagung bisa diartikan sebagai aktivitas kepolisian yang eksesif.
“Eksesif dalam pengertian tidak proporsional, tidak prosedural, dan tidak profesional. Pada tataran makro, aktivitas itu berpotensi menjadi gesekan seperti cicak vs buaya tempo dulu,” kata Reza.
Sebelumnya, Kejaksaan Agung (Kejakgung) merespons anggota Densus 88 diduga mata-matai Jampidsus Kejagung Febrie Adriansyah.
Kapuspenkum Kejakgung Ketut Sumedana mengaku belum mengetahui informasi tersebut. “Saya tidak mendapatkan informasi ini, justru saya tahu dari media,” kata Ketut Sumedana, Jumat (24/5/2024).
Dia enggan berkomentar lebih banyak, termasuk apakah Kejagung akan memastikan kebenaran kabar tersebut ke Jampidsus Febrie Adriansyah dan Densus 88 atau tidak.
“Saya belum bisa komentar apa pun, karena saya belum dapat info apa-apa,” lanjutnya.
Sementara itu, hingga berita ini dimuat, Karo Penmas Divisi Humas Polri Brigjen Trunoyudo Wisnu Andiko belum memberikan respons terkait hal tersebut. (rbs/jpnn)