Berita Bekasi Nomor Satu

Petani Minta Pemkab Bekasi Normalisasi Saluran Sekunder

GAGAL PANEN: Petani mencabuti padi yang telah mengering di Desa Sukarahayu Kecamatan Tambelang Kabupaten Bekasi, Kamis (8/8). Gapoktan Desa Sukarahayu meminta Pemkab Bekasi untuk melakukan normalisasi saluran sekunder guna mengatasi kesulitan air yang menyebabkan kekeringan pada lahan sawah. ARIESANT/RADAR BEKASI

RADARBEKASI.ID, BEKASI – Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) Desa Sukarahayu meminta Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bekasi untuk melakukan normalisasi saluran sekunder guna mengatasi kesulitan air yang menyebabkan kekeringan pada lahan sawah.

Menurut data Gapoktan Sukarahayu, sekitar 1.500 hektar lahan sawah di Kecamatan Tambelang mengalami kekeringan. Jumlah ini berbeda jauh dengan data Dinas Pertanian yang hanya mencatat 20 hektar.

Kekeringan ini melanda Desa Sukamaju, Sukarapih, Sukaraja, Sukarahayu, dan Sukabakti. Berbagai usia padi, mulai dari 15 hari hingga dua bulan kekurangan air dan berpotensi besar untuk gagal panen.

BACA JUGA: 95 Hektar Sawah di Kabupaten Bekasi Kekeringan

Ketua Gapoktan Desa Sukarahayu, Risam (50), mengatakan sistem irigasi dari Saluran Sekunder Bulak Mangga menuju Kali Pisang Batu yang mengairi hamparan persawahan di wilayah Tambelang dan sekitarnya belum dinormalisasi selama bertahun-tahun. Akibatnya, setiap tahun para petani mengalami kesulitan air, baik saat menanam maupun saat padi mulai tumbuh.

“Walaupun mesin dibanyakin, karena sumber airnya enggak ada, kan gak bisa nyedot. Harapan kami, pemerintah bisa menjangkau SS Pisang Batu dan Bulak Mangga karena itu jalur kami di wilayah Desa Kertamukti, Sukaraja, Sukarapih, Sukamaju, Sukarahayu, dan lainnya. Kendalanya di jalur SS Pisang Batu sepanjang 3,5 kilometer belum dinormalisasi,” kata Risam, Kamis (8/8).

Di Kali Pisang Batu Desa Sukarahayu, irigasi mengalami pendangkalan dan dipenuhi sampah eceng gondok. Pada beberapa bagian, air hanya sebetis orang dewasa.

Petani yang sawahnya dekat dengan saluran irigasi bisa menggunakan pompa, namun petani yang sawahnya jauh hanya bisa menunggu hujan.

BACA JUGA: Petani Padi di Bojongmangu Hadapi Ancaman Gagal Panen

“Saat ini sudah ada yang nebar benih, udah ada yang tandur seperti ini keadaannya. Kami betul-betul mengharapkan pemerintah yang terkait masalah ini agar segera ditangani. Sehingga kami mendapat kehidupan layak untuk kebutuhan pendidikan, kesehatan juga hal lain untuk bersosial masyarakat agar lebih baik lagi,” tambahnya.

Menurutnya, sebagian besar masyarakat Tambelang bekerja sebagai petani padi. Kekeringan ini menyebabkan kerugian besar, mulai dari biaya traktor, benih padi, pupuk, dan lainnya. Untuk memenuhi kebutuhan hidup, sebagian petani terpaksa menjual ternak mereka.

“Kami misalnya memelihara ternak, ayam kambing untuk bisa menanggulangi kesusahan kami. Dan ada anak kami bisa bekerja itu bisa membantu kami agar bertahan,” kata Risam.

BACA JUGA: BPBD Kota Bekasi Data Wilayah Berisiko Kekeringan

Sementara, Warna (40), mengungkapkan bahwa setiap tahun kekeringan menjadi ujian hidup yang terus terulang. Ia menggarap sekitar lima hektar sawah. Jika ada air, dalam dua hektar sawah, Warna bisa menghasilkan sekitar 14 ton padi.

“Yang gagal panen tahun ini saya 5 hektar. Normalnya dua hektar itu bisa menghasilkan hampir 14 ton tapi sekarang cuma 4 kuintal. Sedangkan modal saya udah Rp20 juta,” kata Warna.

Dalam dua tahun terakhir, untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, ia menjual ternak. Biasanya, jika air di sawahnya stabil, hasil panen bisa dijual untuk modal dan kebutuhan sehari-hari. Namun, kekurangan air ini sangat mempengaruhi kualitas padinya. (ris)