Berita Bekasi Nomor Satu

Peak Halimun

Screenshot

Oleh: Dahlan Iskan

Malam itu sudah 10 jam saya di dalam mobil. Di jalan yang nilainya lima. Sudah terlalu sore berangkat dari Bungku, ibu kota Morowali.

Begitu tiba di Tentena jam sudah menunjukkan pukul 10 malam. “Kita tidak jadi ke Poso. Kita tidur di Tentena saja,” kata saya pada suami Mega.

Belum pula makan malam.

Sambil cari-cari hotel kami makan malam. Ada resto ikan bakar yang terkenal: resto di atas air pinggiran Danau Poso. Tapi danaunya sudah gelap. Tidak bisa lihat keindahannya.

Sambil makan, kami menemukan hotel di pinggir danau. Kami tidak sempat melihat apa komentar netizen soal hotel itu. Yang penting: ambil kamar yang paling mahal di situ. Logikanya: mahal=baik.

Ternyata seharusnya kami pilih kamar yang harganya murah saja. Kamar yang mahal itu = jarang ada yang menempati. Jarang dibersihkan. Apek. Tidak terawat.

Apa boleh buat. Toh hanya untuk tidur. Hanya lima jam. Pukul lima pagi sudah harus berolahraga.

Sepagi itu ufuk timur Tentena sudah benderang. Kamar itu ternyata menghadap ke danau. Ke ”anak danau”. Danaunya yang luas sendiri di sebelah anak danau itu.

Ini kali kedua saya ke Danau Poso. Yang pertama dulu untuk melihat proyek pembangkit listrik tenaga air di situ: kenapa tidak kunjung selesai. Padahal terjadi kelangkaan listrik yang akut di Sulteng –dan seluruh Indonesia. Kami temukan akar masalah. Lalu selesai.

Tapi bermalam di Danau Poso baru sekali ini. Sayang hanya setengah malam. Selesai berolahraga kami harus naik mobil lagi: 10 jam lagi. Di jalan bernilai lima lagi.

Dari Tentena kami ke kota Poso: sarapan di situ. Coto Makassar. Anda sudah tahu apa beda soto dan coto: soto terbuat dari daging sapi, sedang coto terbuat dari daging capi.

Dari Poso kami terus menuju timur: Ampana. Anda sudah tahu: Ampana adalah ibu kota Kabupaten Tojo Una-Una.

Ampana itu penting kalau Anda akan ke surga bawah laut: di Pulau Togian. Di Teluk Tomini. Ampana juga penting kalau Anda akan berlayar ke kota Gorontalo di seberang laut sana.

Kami berhenti di Ampana: makan siang yang terlalu sore: 14.30. Ikan bakar lagi. Dabu-dabu lagi. Sayur kangkung lagi. Ini makan ikan bakar kelima secara beruntun dalam dua hari.

Pertama, ikan bakar di kawasan ini memang luar biasa enaknya. Kedua, tidak ada pilihan lain kecuali ikan bakar. Kalau tidak ikan bakar yang ada hanyalah bakar ikan.

Kami masih terus ke timur. Jalan raya sempit itu masih terus menyusuri pantai. Saya anggap ini sama dengan menyusuri jalan Pacific antara Los Angeles–San Francisco.

Pun ketika matahari sudah tenggelam kami terus ke timur. Hanya berhenti sebentar di dekat kota kecamatan Poh. Temannya teman saya sedang menyelesaikan proyek pabrik kelapa. Lengkap. Pabrik santan, tepung kelapa, pembekuan air kelapa, dan minyak kelapa. Sehari perlu 200.000 butir kelapa.

Sepanjang 10 jam perjalanan ini yang saya lihat memang hanya pohon kelapa. Di kanan-kiri jalan. Kadang pohonnya lebat. Kadang lebat sekali. Tengok ke kiri laut. Tengok kanan gunung. Antara laut dan gunung hanya ada lambaian pohon nyiur. Atau, yang terlihat adalah lubang-lubang di  jalan.

Pukul 21.00 barulah kami tiba di Luwuk. Ibu kota Kabupaten Banggai. Saya sudah ditunggu di situ: upacara adat perkawinan mantan anak buah di Luwuk. Acaranya sudah berlangsung satu jam sebelumnya. Saya telat. Tapi belum sangat telat.

Pengantin wanitanya: mantan wartawan Luwuk Post. Namanyi: Reski Sululing. Dipanggil Kiki. Dia alumnus Universitas Negeri Makassar jurusan sastra Inggris.

Kini Kiki bekerja di perusahaan LNG yang ada di Luwuk: Donggi Senoro. Memang, sekitar 15 tahun lalu, ditemukan sumber gas di laut Banggai. Dialirkan ke daratan terdekat: Luwuk. Sebagian untuk listrik PLN –lewat perjuangan yang berat. Sebagian besar lagi dijadikan LNG untuk diekspor ke Jepang.

Kota Luwuk berkembang pesat setelah cukup listrik dan ada proyek LNG. Bandara pun dibangun. Kini pesawat Boeing 737 sudah bisa mendarat di Luwuk. Dua kali sehari: dari dan ke Makassar

Perkawinan ini istimewa. Pengantin laki-lakinya bernama Ahmed Ipesa-Balogun. Kelahiran Nigeria. Dari keluarga elite di Nigeria.

Kiki-Ahmed bertemu kali pertama di Amerika. Yakni saat Kiki dapat program jurnalisme di Amerika. Ahmed sendiri pindah ke Amerika saat umur dua tahun. Dibawa ayah-ibunya. Kini Ahmed sudah warga negara Amerika.

Tahun lalu Ahmed terbang dari Amerika ke Luwuk. Betapa jauhnya. Ia menemui ayah Kiki: melamar. Ia cium tangan sang calon mertua. Langsung diterima.

Malam kemarin itu adalah upacara adat Bugis yang wajib dilakukan sehari sebelum pernikahan. Saya lupa nama upacaranya. Ibunda kiki adalah wanita Bugis. Sang ayah orang Banggai.

Pernikahannya sendiri berlangsung Sabtu pagi ini: di hotel Santika, Luwuk. Sedang upacara adat itu berlangsung di rumah Kiki yang amat sederhana di desa Bunga, di pinggiran kota Luwuk.

Ayah bunda Ahmed datang dari Amerika ke Luwuk. Pun keluarga besar Ahmed berdatangan dari Nigeria. Salah satunya menjabat penasihat presiden Nigeria. Mereka kelihatan tertarik pada upacara adat itu. Salah satu suami-istri dari Nigeria ikut jadi pelakunya.

Di acara itu, sembilan pasang suami istri bergantian memberi doa khusus: mengoleskan dua jenis ramuan ke telapak tangan pengantin wanita. Lalu mendoakannya.

Saya dijadwalkan menjadi salah satu yang ikut melakukannya. Batal. Itu karena saya datang tidak dengan istri. Padahal kalau terjadi, saya bisa jadi juara di antara sembilan pasang itu: hanya saya yang sudah merayakan 50 tahun perkawinan.

Sabtu pagi ini ”perkawinan” antar bangsa itu dirayakan di Luwuk. Saya lihat Luwuk jauh lebih maju dari yang saya lihat dulu. Inilah kota tercantik di seluruh Sulawesi –kalau sudah lebih maju kelak.

Kota ini berada di teluk yang permai. Bagian bawah, yang di dekat pantai, berkembang menjadi down town-nya. Pinggiran kotanya berbukitan yang berperan seperti backdrop-nya: Bukit Halimun.

Bukit Halimun kini berkembang menjadi kota baru. Dari sini bisa melihat down town di bawah sana: kalau malam indahnya cahaya seperti melihat Sentral Hong Kong dari arah The Peak di tahun 1930-an. (Dahlan Iskan)