Sejak lama saya ingin bertemu Prof. Yudian Wahyudi. Tapi tidak pernah ada kesempatan. Tapi keinginan itu meningkat bulan lalu. Saya pun mengirim e-mail kepada beliau.
Tidak terjawab.
Mungkin alamat e-mail yang saya dapat salah. Atau sudah ganti. Saya hanya mendapatkannya dari internet. Tapi saya tidak terlalu ngotot harus segera bertemu. Saya yakin suatu saat pasti bisa bertemu beliau.
Kalau saja e-mail itu terjawab saya akan menemui beliau. Yang akan banyak saya tanyakan adalah soal tasawuf. Yakni filsafat tarekat yang diajarkan beliau: Tarekat Sunan Anbiya.
Di akhir e-mail itu saya menyertakan nomor ponsel saya. Siapa tahu hendak dijawab via WA.
Saya tertarik dengan aliran tarekat yang beliau ajarkan itu. Kok saya belum pernah mendengarnya. Saya lihat di daftar aliran tarekat muktabarah: tidak tercatat di situ.
Berarti pengetahuan saya tentang aliran-aliran tarekat masih sangat terbatas. Karena itu saya ingin tahu banyak tentang aliran itu.
Terutama tentang misi aliran ini: ingin mempersatukan hati umat Islam. Kata ‘Sunan’ adalah bentuk jamak dari ‘sunnah’. Kata ‘Anbiya’ berarti para nabi.
Aliran Sunan Anbiya ingin mengajarkan ajaran para nabi –bukan hanya Muhammad. Dengan demikian dunia bisa lebih damai. “Saya ingin menghadirkan surga di dunia ini sebelum surga di akhirat nanti,” ujar Prof. Yudian suatu saat.
Ingatan saya akan Prof. Yudian memang timbul tenggelam. Terutama tenggelam oleh kesibukan –yang kadang-kadang sia-sia.
Ingatan itu muncul lagi ketika seorang teman mengirimkan kepada saya video pidato beliau. Yang lagi viral saat itu. Yakni pidato yang ‘ngrasani’ Mendiknas yang baru: Nadiem Makarim.
Gaya bicara beliau seperti bukan orang Jawa: tunjuk langsung. Terasa juga nada ‘saya ini profesor lho’. Bahkan profesor yang sudah melanglang buana. Termasuk pernah diminta mengajar di Harvard University, Boston.
Nadiem? Itu anak kemarin sore. Yang harus lebih banyak belajar tata krama. Terutama karena Nadiem adalah menteri pendidikan.
Yang beliau persoalkan adalah penampilan Nadiem yang seperti mahasiswa di Amerika yang lagi berangkat kuliah: baju-celana santai dengan memanggul ransel di pundak.
Padahal, acara hari itu dirancang sangat formal: pelantikan rektor Universitas Indonesia (UI) yang biasanya sangat anggun.
Memang terlihat di video itu: mereka yang sudah hadir di aula banyak mengenakan jas dan dasi. Maka saat Nadiem masuk dengan penampilan seperti itu terasa sekali urakannya.
Saya hampir memberanikan diri kirim WA ke Nadiem. Saya ingin mengatakan padanya: daripada heboh-heboh seperti itu lebih baik tidak usah ada pelantikan rektor. Kenapa harus ada pelantikan?
Waktu saya menjadi sesuatu dulu, saya hapus kebiasaan acara pelantikan dirut BUMN. Buang-buang waktu. Yang penting kan surat pengangkatannya. Dengan surat pengangkatan itu seorang direksi sudah bisa bekerja. Toh, di situ sudah disebutkan tanggal berapa harus mulai bertugas.
Maka selama tiga tahun itu tidak pernah ada acara pelantikan direksi BUMN.
Tapi saya urungkan rencana kirim WA ke Nadiem itu. Pekerjaan menteri itu –apalagi Mendiknas– luar biasa banyak. Saya tidak mau menambah pekerjaan itu. Saya khawatir Nadiem langsung memikirkannya dan menit itu juga membalas WA saya –seperti yang ia lakukan sebelumnya.
Biarlah Nadiem memikirkannya sendiri. Lalu mengambil langkah tentang penampilan barunya. Ia sudah dewasa. Cerdas pula. Ia tahu apa yang harus ia lakukan.
Ketika suatu saat saya melihat video Nadiem dengan pakaian yang necis –saat me-launching program Kampus Merdeka– saya tidak menyesal mengurungkan mengirim WA dulu itu.
Setelah melihat video Prof. Yudian soal Nadiem itu, saya menjadi tidak mudah terkejut. Terutama ketika medsos heboh lagi soal ucapan beliau mengenai agama dan Pancasila.
Saat itu saya baru tahu bahwa beliau sudah punya jabatan baru: Kepala BPIP. Saya selalu lupa apa kepanjangan singkatan itu –tapi saya tahu pokoknya itu tentang Pancasila. Yakni lembaga yang paling tahu dan paling harus menegakkan Pancasila sebagai ideologi negara.
Beliau memang kelihatan harus mati-matikan di jabatannya itu. Para koleganya di dunia pendidikan tahu: beliau begitu ingin menjadi menteri agama. Beliau sangat siap untuk itu.
Apalagi teman-temannya juga tahu beliau sangat dekat dengan Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri. Beliau juga pernah hadir dan memberi ceramah di forum kongres partai itu. Yang isi ceramahnya juga soal Pancasila –menurut jalan pikiran beliau. Orang seperti Megawati sangat tertarik dengan jalan pikiran Prof. Yudian.
Entah bagaimana Prof Yudian tidak jadi diangkat jadi menteri agama. Tapi belakangan beliau tampak bahagia dengan jabatan baru itu –yang derajatnya sudah setingkat menteri.
Akhirnya beliau menjadi agak menteri juga.
Beliau memang pede di segala hal. Termasuk dalam memasuki wilayah sensitif: agama. Khususnya dalam menghadapi reaksi keras dari kalangan tertentu dalam Islam.
Mungkin karena beliau merasa lebih ahli dari umumnya yang bereaksi itu. Beliau adalah profesor bidang kajian Islam. Juga rektor universitas Islam terkemuka: UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta. Yang pernah melahirkan pemikir Islam sekelas Prof. Dr. Mukti Ali –menteri agama zaman awal Presiden Soeharto. Yang kalau pidato –di pembukaan Musabaqah Tilawatil Quran sekali pun– tidak mengawalinya dengan ‘Assalamualaikum’.
Sunan Kalijaga juga melahirkan seniman teater sekelas Su’bah Asa –senior saya di TEMPO dulu. Dan terakhir Sunan Kalijaga heboh soal disertasi doktor Abdul Aziz tahun lalu. Yang berisi bahwa hubungan seks di luar nikah itu tidak melanggar syariat –yang penjelasan detailnya tidak sesederhana itu.
Sebenarnya apa yang diucapkan Prof. Yudian soal agama dan Pancasila itu biasa saja –kalau beliau bukan Kepala BPIP. Ilmuwan Islam sudah biasa memasuki bagian-bagian sensitif dalam agama. Terutama di forum-forum terbatas. Atau di forum ngobrol santai.
Misalnya saat Rabu kemarin saya diundang ke Universitas Islam Negeri Sultan Maulana Hasanuddin di Serang, Banten. Saya diminta ceramah di depan mahasantri Ma’had di universitas itu.
Usai acara saya berbincang santai dengan rektornya: Prof Dr. Fauzul Iman. Kami pun membicarakan ucapan Prof. Yudian –yang bagi Prof Fauzul juga tidak aneh. Ia sudah biasa mendengarkan celetukan Prof. Yudian yang sering mengejutkan. Para guru besar UIN semua tahu tentang kebiasaan kolega mereka itu.
Misalnya, suatu saat Prof. Yudian bikin pernyataan bahwa ia tidak takut pada Tuhan.
Tentu nada ucapan seperti itu terasa amat sombong. Tapi kalau kita renungkan dalam-dalam bisa saja manusia tidak perlu takut Tuhan. Kenapa? Karena kita mencintai Tuhan. Hubungan dengan Tuhan bisa lebih didasari rasa cinta dari pada rasa takut.
Atau ucapan seperti ini: saya itu mencintai fitnah. Tentu aneh dan gempar. Ujung-ujungnya adalah ayat Quran yang mengatakan bahwa anak-istri itu bisa menjadi fitnah.
Ia cinta fitnah karena mencintai anak dan istri.
Di forum UIN Banten itu saya juga keceplosan. Dalam praktek manajemen sehari-hari terlalu banyak bawahan yang mengeluhkan atasan. Lalu menjadi tidak produktif.
Kondisi yang seperti itu harus diatasi. Bawahan harus menemukan cara untuk bisa membuat atasan mengikuti keinginan bawahan. Kalau keinginan itu baik.
Yang perlu ditemukan adalah ‘caranya seperti apa’. Cara itu pasti bisa ditemukan –asal bawahan mengetahui kepribadian atasan.
“Kita itu lho bisa memerintah Tuhan. Mengapa tidak berhasil memerintah atasan. Memangnya atasan itu melebihi Tuhan,” kata saya.
Tentu mahasantri di situ kaget: masak manusia bisa memerintah Tuhan.
Maka saya pun minta mereka memeriksa semua kalimat dalam sebuah do’a. “Semua kalimat dalam do’a itu bentuknya pasti fi’il amr, kata perintah,” kata saya.
Misalnya: Ya Tuhan, berilah saya rezeki. Kata ‘berilah’ adalah tergolong ‘kata perintah’.
Berarti kita itu tiap hari memerintah Tuhan. Hanya bentuk perintah itu dikemas dalam kemasan do’a.
Maka semua itu soal kemasan. Untuk bisa memerintah atasan temukanlah kemasan seperti apa yang cocok.
Ini soal cara.
Adakah Prof. Yudian sudah tidak bisa lagi menemukan cara lain dalam membela Pancasila? Seperti juga Nadiem yang mungkin tidak menemukan cara selain urakan untuk mengubah kemerdekaan dalam kampus? (dahlan iskan)