Berita Bekasi Nomor Satu

Bawaslu Ajak Ciptakan Pemilu Sehat

Choirunissa Marzoeki

RADARBEKASI.ID, BEKASI – Pemilu 2024 mendatang, diyakini masih diwarnai dengan politik identitas dan ujaran kebencian, sama seperti pemilu 2019 lalu. Untuk itu, dibutuhkan kerja keras dalam menciptakan Pemilu yang sehat. Demikian ditegaskan Bawaslu Kota Bekasi, Choirunissa Marzoeki.

Menurutnya, dampak perasaan trauma antar generasi akibat ujaran kebencian dan hoax ini pun tentunya merusak prinsip-prinsip dari demokratis dan tak sehat. Oleh sebab itulah, pengalaman yang ada akan dijadikan sebuah tantangan, khususnya bagi jajaran Bawaslu dalam penyelenggaraan pesta demokrasi di Tanah Air pada Pemilu dan Pilkada serentak 2024.

“Jadi berangkat dari pengalaman itu menjadi tantangan Bawaslu dalam jalani tugas untuk mengatasi dampak yang terjadi, seperti soal pelanggaran pemilu, mulai kampanye hitam, dan hoaks. Dan tentunya, evaluasi yang tidak mendalam terhadap permasalahan yang ada sebelumnya dapat menjadi permasalahan di Pemilu mendatang,” kata Nisa, sapaan akrab Ketua Bawaslu Kota Bekasi.

Nisa menjelaskan, sesuai data Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) itu menyebutkan, pada Pemilu 2019 hoax dan ujaran kebencian beredar secara liar di tiap platform media sosial. Topik politik identitas dan agama selalu trending topic dan menjadi “top of mind”, mulai dari Twitter, Facebook, dan Instagram.

Dari data itu, dia pun meyakini, bahwa cara-cara ini berpotensi akan digunakan kembali oleh para politisi pada Pemilu 2024, karena telah terbukti mempengaruhi pemilih dalam menentukan pilihan. Konflik cebong versus kampret semakin menajam sebagai akibat akumulasi kebencian dari strategi kampanye yang dilakukan oleh dua kubu.

“Kita bisa lihat kampanye hitam, dan ujaran kebencian maupun hoaks ini dapat menjadi ancaman bagi pemilih pemula. Dan masalah ini telah menyebabkan trauma antar generasi di negeri ini, dan ini tidak bisa terus dibiarkan berlanjut karena akan membuat demokrasi terganggu dengan ada terulangnya peristiwa politik yang berujung dengan kejiwaan bagi masyarakat. Akibatnya kohesi sosial menjadi terganggu,” jelasnya.

Oleh sebab itu, Nisa mengaku telah memiliki dua cara untuk bisa ditempuh memotong dampak trauma antar-generasi tersebut. Pertama, membangun memori kolektif tentang ‘pemuda Indonesia’. Menurutnya, narasi terkait pemuda Indonesia di awal 1900-an memiliki perspektif visioner, bahkan memiliki wawasan yang melampaui pelajar Belanda.

Selain itu melalui dialog antar pihak. Keturunan dari korbannya dan keturunan pelaku, maupun pihak lainnya antara anak dengan orang tua yang pernah mengalami trauma. Dan pengalaman peserta yang bersedia membuka dialog ini pernah dilakukan para korban keturunan Holocaust di Jerman. Dengan lakukan hal itu, mereka pun mengalami perasaan pemulihan trauma antar-generasi, pengurangan prasangka dan peningkatan motivasi perilaku yang lebih prososial.

“Hal ini juga diamini oleh tokoh spiritual dan perdamaian Thich Nhat Hanh yang menyebut ‘Dalam dialog yang benar, kedua belah pihak bersedia untuk berubah’. Begitupun, dengan Pemilu 2024 diharapkan ada perubahan yaitu adalah berdemokrasi yang benar,” tandasnya. (mhf)


Solverwp- WordPress Theme and Plugin