Berita Bekasi Nomor Satu
Caping  

Belajar dari Rasya

Ketua DPRD Kota Bekasi H. M. Saifuddaulah, SH, MH, M.Pd.I

 

Oleh: H.M. Saifuddaulah, SH, MH, M.Pd.I (Ketua DPRD Kota Bekasi)

HARI Anak Nasional 23 Juli lalu benar-benar memberikan pengalaman sangat berharga terkait pemenuhan hak anak. Pasalnya, menjelang puncak acara, warga Kota Bekasi bahkan Indonesia dikejutkan dengan ditemukannya seorang anak yang melarikan diri dari rumah dengan kondisi kaki diborgol rantai dan kondisi fisiknya kurus tak terurus.

Rasya, anak itu diberi nama. Lahir dari keluarga broken home, dan ditinggal sang ibu dari sejak lahir hingga sekarang. Remaja berusia 15 tahun itu, harus mengalami kegetiran sejak dalam kandungan hingga terlahir.

Konon, cerita sang nenek. Rasya sejak di kandungan, sang ibu tidak pernah makan. Hanya makan obat untuk mengobati sakit parunya. Hingga terlahir, Rasya ditinggal sang ibu sendirian di rumah persalinan. Karena kurang biaya, sang ayah yang bekerja sebagai sopir harus pinjam sana sini. Dan mendapat bantuan dari rumah penampungan anak, dengan jaminan Rasya tinggal di panti tersebut.

Saat usia lima bulan, Rasya diambil sang ayah. Kemudian diasuh oleh ibu sambung baru, dari bayi hingga usia 2 tahun. Sejak itu, Rasya berganti-ganti pengasuhan. Ayahnya beberapa kali menikah lagi. Saat ditemukan warga pada Selasa 19 Juli lalu, Rasya dalam pengasuhan ibu sambungnya yang ketiga atau istri keempat ayahnya.

Saat menjenguk di RSUD CAM pada Senin 25 Juli, saya melihat anak ini memiliki bakat dan kecerdasa luar biasa. Sebenarnya daya ingatnya kuat. Meski keterbatasan bicara.

Rasya memberi pelajaran berharga bagi kami. Jika merunut dalam ajaran Islam dan pedagogik. Bahwa anak itu lahir dalam keadaan fitrah atau bagai tabularasa, kata John Locke.

Bagaimana orang tua, keluarga dan lingkungannya yang akan berpengaruh kelak. Sejak bayi, Rasya kurang mendapatkan perhatian itu.

Seperti halnya kasus yang diceritakan dalam buku The Girl With No Name, sebuah buku tentang perempuan Kolombia bernama Marina Chapman. Marina diculik pada tahun 1954 pada usia lima tahun dari sebuah desa terpencil di Amerika Selatan dan tinggalkan oleh penculiknya di hutan.

Ia hidup bersama keluarga monyet Capuchin selama lima tahun sebelum ditemukan oleh pemburu. Perilaku Marina pun seperti monyet, berjalan dengan kaki dan tangannya, serta makan bak monyet.

Rasya tidak mendapatkan pendidikan dari kampus utamanya, sang ibu sejak lahir hingga usia 15 tahun. Rasya anak malang di sebuah kota yang sedang menggeliat, Kota Bekasi. Tidak pernah diajari berbahasa, namun sering mendengar lagu dari suara bising tetangga. Sehingga dia sering berdengung seperti sedang bernyanyi.

Bahkan, si anak pun punya cita-cita jadi pengamen atau penyanyi karena pengalaman hidupnya saat kecil hidup di penampungan anak jalanan, sebelum diambil lagi sang ayah.

Rasya, memberi pelajaran agar kita punya rasa empati tinggi kepada kehidupan sekitar, terutama anak-anak. Yang akan menjadi penerus kita. Coba ada berapa banyak anak-anak yang seperti Rasya.

Ini pula salah satu yang mendorong kami, DPRD Kota Bekasi untuk membuat Perda Perlindungan Anak serta Perda Penanggulangan Masalah Sosial. Agar pemerintah dan masyarakat memiliki kepedulian dan rasa yang tinggi untuk memberikan pemenuhan hak anak-anak untuk mendapatkan pendidikan, tumbuh kembang dan kreatif sebagaimana layaknya dunia anak.

Rasya, membuka tabir kehidupan anak-anak, terutama dalam keluarga yang kurang mampu. Sehingga tugas pemerintah untuk membantu mereka, sebagaimana amanat UUD 1945, pasal 31 ayat 1 dan 2. (1) Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan. (2) Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.

Meski wajib belajar 12 tahun sudah ditetapkan sejak 2015. Ternyata, Rasya tidak mendapatkan itu. Dia tidak disekolahkan oleh orang tuanya.

Saya teringat, kawan yang tinggal di Inggris. Jika ada anak yang tidak bersekolah, maka sang orang tua dipanggil dan diberi ultimatum. Jika tidak, maka orang tuanya akan dipenjara. Begitu pula bagi anak-anak yang baru tinggal di Inggris yang ikut orang tuanya bekerja atau belajar. Mereka wajib sekolah, mendapatkan pendidikan.

Berdasarkan data DP3A, kasus kekerasan terhadap anak, mulai dari kekerasan fisik hingga eksploitasi pada tahun 2019 tercatat sebanyak 197 kasus, tahun 2020 (196 kasus), tahun 2021 (202 kasus). Tahun 2022 sejak Januari hingga Juni sudah tercatat 73 kasus.

Rasya memberi peringatan dini. Ternyata pendidikan dan pengasuhan anak adalah tanggung jawab semua pihak. Terutama orang tuanya.

Saya sangat memberi apresiasi kepada Kapolres, KPAID Kota Bekasi, Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A), Dinas Sosial serta RSUD Chasbullah Abdul Majid yang sigap memberi ruang kepada Rasya dan mengembalikan jati diri anak yang harus mendapat pemenuhan haknya.

Saya juga sangat berterima kasih kepada bunda Nyimas Sakuntala Dewi sang mamak, biasa disapa Rasya, sebagai ibu angkatnya yang totalitas menunggu Rasya saat dirawat hingga dipindah ke panti asuhan Pangudi Luhur.

Saya sampaikan kepada Rasya. Berkat anak malang ini, kami semakin melek untuk terus memantau, menggerakan dan melibatkan semua unsur dalam pemenuhan hak anak-anak.

Kita diingatkan agar pemenuhan hak anak dan perlindungan khusus mereka, harus menjadi prioritas. Di antaranya ialah hak untuk hidup, hak untuk tumbuh kembang, hak untuk mendapatkan perlindungan dari diskriminasi, dan hak untuk berpartisipasi. (***)