Radarbekasi.id – CIKARANG PUSAT – Program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) yang digaungkan
presiden Joko Widodo, dimanfaatkan oleh sejumlah oknum kepala desa (kades) di Kabupaten Bekasi
untuk meraup keuntungan. Alih-alih untuk biaya administrasi, oknum kepala desa mematok biaya jutaan
rupiah kepada warga.
Hingga saat ini, sudah ada dua kepala Kades yang tersandung dugaan Korupsi PTSL di Kabupaten
Bekasi. Pada awal Agustus lalu, Kades Lambang Sari, Tambun Selatan Pipit Pipit Heryanti (PH)
ditangkap Kejaksaan negeri (Kejari) Kabupaten Bekasi dengan dugaan Pungutan Liar (Pungli) PTSL
senilai Rp466 juta. Sebulan kemudian, Kades Cibuntu kecamatan Cibitung Abdul Rohim (AR) dengan
kasus dan modus yang sama meraup uang hingga Rp1.813.200.000. Ya, warga Desa Cibuntu harus rela merogoh kocek hingga jutaan rupiah saat mengurus PTSL.
Padahal, berdasarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri, warga yang mengajukan
permohonan PTSL hanya dibebankan tarif sebesar Rp150 ribu untuk wilayah Jawa dan Bali. Namun,
Kades AR meminta dengan jumlah yang lebih banyak melalui aparatur desa seperti Kepala Dusun
(kadus).
“Tiap 100 meter, diminta uang Rp2,5 juta. Katanya sih untuk biaya administrasi,”kata salah seorang
warga Desa Cibuntu, Kecamatan Cibitung yang enggan namanya disebutkan di media.
Dia mengaku, sebenarnya masyarakat sudah mengetahui bahwa program PTSL itu gratis. Namun
demikian, masyarakat tidak tahu harus melapor kemana. “Kita tahu itu gratis, tapi bingung mau melapor
kemana,” ucapnya.
Setelah Kepala Desa Cibuntu, Abdul Rohim ditetapkan sebagai tersangka pungli PTSL Oleh Kejari
Kabupaten Bekasi, pihak kecamatan tidak ada yang mau berkomentar perihal tersebut. Bahkan, Camat
Cibitung, Encun Sunarto, enggan memberikan tanggapan kepada Radar Bekasi saat dimintai
keterangan.
Sementara itu, Ketua Komisi I DPRD Kabupaten Bekasi, Ani Rukmini menuturkan, program PTSL itu
itikad pemerintah untuk rakyat miskin yang mau mengurus sertifikat tanahnya. Tapi pada kenyataannya,
program tersebut disalahgunakan.
Politis Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini menegaskan, para penegak peraturan harus bekerja keras
memutus mata rantai praktik tersebut. “Ya itu menunjukan ternyata pungutan-pungutan itu sudah
berakar dan menjadi budaya. Sangat disayangkan, karena program PTSL itu itikad pemerintah untuk
membantu rakyat miskin,” ungkapnya.
Harusnya kata Ani, ada arahan yang jelas, bahwa ini program PTSL sudah dibiayai oleh pemerintah.
Apabila memang ada operasional lain yang dibebankan kepada masyarakat, harus jelas. Misalnya
materai maupun yang lainnya. Sebenarnya, fenomena pungutan liar seperti ini hampir dilakukan oleh
seluruh desa di Kabupaten Bekasi. Hal itu berdasarkan laporan yang masuk ke Komisi I, bahwa pihak
desa meminta pungutan PTSL.
“Sebetulnya hampir semua desa ada pungutan kalau buka-bukaan mah. Cuma ada yang apes saja.
Karena memang banyak laporan yang masuk ke Komisi I, bahwa minta pungutan PTSL,” bebernya.
Dirinya menyarankan, yang dibutuhkan sekarang ini adalah itikad baik dari jajaran desa sampai ke atas.
Pasalnya, sistem untuk memperkuat controlling, proses pengawasan aliran uang, penggunaan uang
negara, sudah cukup memadai. “Kalau sistem untuk memperkuat controlling, proses pengawasan aliran
uang, penggunaan uang negara, saya rasa sudah cukup. Tapi yang diperlukan, itikad para aparat dari
jajaran desa sampai ke atas. Menurut saya itu yang dibutuhkan,” sarannya.
Sekedar diketahui, Kejaksaan Negeri Kabupaten Bekasi kembali menangkap oknum Kepala Desa
Cibuntu berinisial AR atas dugaan melakukan praktik pungutan liar pada program PTSL dengan jumlah
pengajuan sebanyak 5.800 bidang tanah.
“Penyidik menetapkan tersangka, dilanjutkan dengan upaya penahanan terhadap AR dalam perkara
dugaan tindak pidana korupsi penyalahgunaan kekuasaan dengan meminta sejumlah uang dalam
penyelenggaraan program PTSL tahun 2021” kata Kepala Seksi Pidana Khusus Kejari Kabupaten
Bekasi Barkah Dwi Hatmoko di Cikarang, Senin.
Konstruksi kasus ini berawal pada September 2021, saat tersangka AR memfasilitasi kegiatan
sosialisasi oleh Kantor ATR/BPN Kabupaten Bekasi dengan mengundang para kepala dusun, perangkat
RT/RW, serta kepala urusan pembangunan dan pemerintahan, membahas alur pemberkasan program
PTSL.
Tersangka kemudian menginstruksikan para perangkat desa terkait memungut biaya sebesar Rp400 ribu
per bidang tanah untuk dasar alas atas nama pemohon.
Tersangka juga memerintahkan pemungutan sebesar Rp1,5 juta per 100 meter bidang tanah yang
belum atas nama pemohon ditambah Rp400 ribu sehingga total menjadi Rp1,9 juta setiap 100 meter
bidang tanah, kecuali bagi perangkat desa yang hanya dikenakan Rp1,4 juta.
Berdasarkan penetapan pungutan program PTSL di desa tersebut terkumpul uang sebesar
Rp1.813.200.000 dari pemohon yang tidak ada pergantian atau peralihan nama dengan perincian biaya
yang dikeluarkan Rp400 ribu tiap pemohon.
“Kalau yang balik nama PTSL sebesar Rp1,5 juta per 100 meter per sertifikat, nilai hasil pemungutannya
masih kami lakukan pendalaman. Total permohonan sertifikat ini seluas 972.930 meter,” katanya.
AR dikenai sangkaan Pasal 12 huruf e Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2001. Subsider Pasal 11 UU No. 31/1999 sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan UU
No. 20/2001.
Terpisah, Anggota Ombudsman Republik Indonesia (ORI), Dadan Suparjo Suharmawijaya mengatakan
bahwa selama ini Ombudsman ikut mengawasi, baik menerima laporan secara langsung maupun
investigasi.
“Kami di Ombudsman selama ini ya memonitor hal-hal seperti itu. Kita di satu sisi memang menerima
laporan masyarakat, di sisi lain kita melakukan investigasi atas prakarsa sendiri,” katanya, Senin (12/9).
Selama ini, masyarakat bisa melaporkan tindakan maladministrasi atau Pungli langsung kantor
Ombudsman, melalui alamat website ombudsman.go.id, atau melalui email pengaduan
@Ombudsman.go.id.
Sedianya program PTSL ini kata Dadan, memberikan dampak baik bagi masyarakat, menjamin legalitas
kepemilikan aset, hingga aspek permodalan. Namun, banyak hal yang harus diperbaiki pelaksanaannya
di lapangan.
Program ini gratis untuk masyarakat, dengan catatan masyarakat menyediakan patok atau pembatas
tanah secara mandiri. Potensi penyelewengan pertama adalah penyediaan patok, program PTSL yang
dikoordinir menafsirkan penyediaan patok secara mandiri berbeda-beda, menentukan tarif sendiri,
sehingga menjadi masalah.
Ia menegaskan bahwa PTSL merupakan program yang diakses oleh masyarakat kecil, kementerian
ATR/BPN hingga pemerintah daerah seharusnya membantu masyarakat, bukan memperalat masyarakat
untuk mendulang keuntungan.
Terutama bagi perangkat desa, Dadan mengingatkan bahwa mereka memiliki kewajiban untuk
membantu masyarakat, dengan bekal informasi yang cukup.”Kalau mereka sudah tahu, sudah dapat
informasi, jangan sampai ada niat culas, jangan memanfaatkan ketidaktahuan masyarakat,” ungkapnya.
Salah satu cara yang bisa dicontoh oleh daerah lain di Indonesia, Dadan menjelaskan hasil pemantauan
di salah satu daerah di Provinsi Jawa Timur, masyarakat tidak dibebani biaya apapun pada program
PTSL ini. Caranya, program ini dibarengi dengan program perbaikan Rumah Tidak Layak Huni
(Rutilahu), biaya yang seharusnya dikeluarkan secara mandiri oleh masyarakat dibebankan kepada
pemerintah daerah.
Hal serupa bisa dilakukan oleh pemerintah daerah di Indonesia, dengan berbagai cara, bersinergi
dengan program lain yang dimiliki oleh pemerintah daerah.”Saya kira hal seperti itu bisa dicontoh oleh
Pemda lain,” tambahnya.
Sampai dengan triwulan pertama tahun ini, Ombudsman telah menerima 2.706 laporan dari masyarakat.
Badan pertanahan nasional menjadi institusi yang dilaporkan terbanyak kedua, satu tingkat dibawah
pemerintah daerah. Berdasarkan substansi laporan, administrasi kependudukan sebanyak 631 laporan, agraria atau pertanahan di posisi kedua dengan 476 laporan. (pra/sur)