RADARBEKASI.ID, BEKASI – Di Indonesia, masalah agama merupakan hal yang paling sensitif. Soliditas dan solidaritas atas nama agama seringkali melampaui ikatan-ikatan primordial lainnya. Dalam satu dekade terakhir, isu konflik keagamaan, intoleransi, dan radikalisme menjadi arus utama yang paling banyak di riset oleh sejumlah lembaga. Beragam metodologi dan perspektif telah ditawarkan untuk menganalisis fenomena tersebut. Dalam rentang waktu 1990-2008, dua pertiga konflik keagamaan yang terjadi di Indonesia mengambil bentuk aksi damai, dan hanya sepertiga yang terwujud dalam bentuk aksi kekerasan. Sebagian besar konflik keagamaan ini terkait dengan isu komunal keagamaan, misalnya Islam-Kristen dan penodaan agama.
Di sisi lain, awal tahun 2000 kita melihat kemunculan kelompok yang mempraktikkan ekstremisme beragama dalam bentuk bom bunuh diri. Ada pula kelompok yang dipandang terlalu mendewakan rasio dalam beragama. Kedua kelompok ini menjadi perbincangan hangat di ruang publik. Darlis menilai kedua kelompok ini berkontestasi karena perbedaan paham keagamaan dan cara pandang dalam beragama. Kedua kelompok tersebut dapat dipetakan menjadi kelompok liberal dan kelompok eksklusif yang mengusung isme masing-masing. Di mana eksklusivisme dapat dipahami sebagai paradigma berpikir yang cenderung tertutup terhadap keanekaragaman. Sementara liberalisme merupakan paham yang memperjuangkan kebebasan di semua aspek. Cara pandang kedua kelompok tersebut acap kali meresahkan masyarakat. Bahkan lebih jauh, menjadi ancaman serius bagi pranata sosial baik dalam konteks lokal, regional, nasional dan internasional. Dalam konteks lokal dan regional, kearifan lokal dapat digunakan untuk memoderasi dua kutub yang berbeda. Misalnya tradisi pela gandong yang menyatukan umat beragama di Maluku. Di tengah kondisi tersebut, moderasi beragama diharapkan dapat menjadi solusi.
Moderasi beragama ini dapat dimaknai sebagai sikap beragama yang seimbang antara pengamalan agama sendiri dan penghormatan kepada praktik agama lain. Jalan tengah inilah yang diyakini akan menghindarkan masyarakat dari sikap ekstrem dan eksklusif yang berlebihan. Moderasi beragama ini pada akhirnya terekspresikan dalam bentuk toleransi aktif yang sangat dibutuhkan dalam mewujudkan harmoni sosial.
Setidaknya ada tiga tantangan yang harus dihadapi dalam proses penguatan moderasi beragama berdasarkan pendapat Lukman Hakim Saifuddin. Pertama, berkembangnya pemahaman dan pengamalan keagamaan yang berlebihan, melampaui batas, dan ekstrim, sehingga malah bertolak belakang dengan esensi ajaran agama. Esensi ajaran agama adalah memanusiakan manusia. Pemahaman keagamaan disebut berlebihan dan ekstrem, jika justru mengingkari nilai kemanusiaan dengan mengatasnamakan agama. Kedua, munculnya klaim kebenaran atas tafsir agama. Ada sebagian orang yang merasa paham tafsir keagamaannya sajalah yang paling benar, lalu memaksa orang lain yang berbeda untuk mengikuti pahamnya, bahkan bila perlu dengan menggunakan cara paksaan dan kekerasan. “Ini yang disebut melampaui batas dan berlebihan dalam beragama. Jadi, klaim kebenaran sepihak lalu memaksakan kehendak,”. Ketiga, pemahaman yang justru merongrong atau mengancam, bahkan merusak ikatan kebangsaaan. Pemahaman orang yang atas nama agama lalu menyalahkan Pancasila, mengharamkan hormat bendera, mengkafirkan orang yang menyanyikan lagu Indonesia Raya, bahkan mengajarkan bahwa nasionalisme tidak penting karena tidak diajarkan agama. Ini adalah cara pandang, sikap, dan praktik beragama yang berlebihan dan melampaui batas dalam konteks keindonesiaan kita. Cara pandang ini harus dimoderasi. Jadi yang dimoderasi, diposisikan untuk berada di tengah, tidak ekstrem kanan dan kiri, itu adalah cara beragamanya, bukan agama itu sendiri.
Terkait tiga tantangan tersebut, sangat diperlukan suatu kebijakan penguatan moderasi beragama yang diarahkan pada upaya membentuk SDM Indonesia yang berpegang teguh dengan nilai dan esensi ajaran agama, berorientasi menciptakan kemaslahatan umum, dan menjunjung tinggi komitmen kebangsaan.
Permasalahan-permasalahan konflik antar umat beragama seharusnya mendapatkan perhatian yang lebih serius dari semua pihak, karena penyelesaian persoalan ini harus lebih bersifat komprehensif. Beberapa solusi tersebut antara lain, pertama: Lebih cepat dan tanggap dalam memperhatikan berbagai ketidakpuasan yang terjadi di masyarakat. Ketidakpuasan (subjective dissatisfaction) menjadi faktor utama munculnya gerakan sosial. Selama masih banyak persoalan tentang ketidakadilan, pengangguran dan tekanan ekonomi dikaitkan atau dijadikan dasar munculnya konflik antar umat beragama. Kedua: Perlu tindakan hukum yang lebih tegas dan transparan pada pemicu kerusuhan. Selama ini ada kesan pelaku kerusuhan tidak pernah mendapatkan law enforcement yang sepadan, karena adanya kendala bukti dan saksi yang tidak terpenuhi. Ketiga: Meningkatkan komunikasi di antara umat beragama untuk mengurangi prasangka serta mempererat kerukunan. Keempat: Kesadaran dari para pemuka agama untuk tidak menjadikan agama sebagai alat politik serta dapat menumbuhkan suasana yang sejuk serta tidak menguatkan klaim kebenaran yang mengarah pada fanatisme berlebihan yang keliru.
Dari berbagai model solusi di atas, sebenarnya penyelesaian yang terfokus pada peningkatan kesadaran kelompok keagamaan merupakan cara yang paling efektif dalam menurunkan konflik antar umat beragama.(*)