RADARBEKASI.ID, JAKARTA – Bupati Kepulauan Meranti Muhammad Adil diduga menerima suap senilai Rp 26,1 miliar. Hal ini diketahui setelah Muhammad Adil menyandang status tersangka atas 3 perkara dugaan korupsi.
M. Adil terjerat praktik rasuah bersama-sama dengan dua pihak lainnya. Keduanya yakni Kepala BPKAD Pemkab Kepulauan Meranti, Fitria Ningsih dan Pemeriksa Muda BPK Perwakilan Riau M Fahmi Aress.
“Sebagai bukti awal dugaan korupsi yang dilakukan, MA menerima uang sejumlah sekitar Rp 26,1 miliar dari berbagai pihak,” kata Wakil Ketua KPK Alexander Marwata dalam konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Jalan Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Jumat (7/4/2023).
BACA JUGA: Petugas Damkar Kesulitan Padamkan Api di Gudang Limbah Plastik di Bantargebang, Ini Penyebabnya
Alex, sapaan Alexander Marwata memastikan pihaknya akan menindaklanjuti terkait penerimaan uang miliaran rupiah itu. Hal ini akan didalami dalam proses penyidikan KPK.
“Tentunya hal ini akan ditindaklanjuti dan didalami lebih detail oleh Tim Penyidik,” tegas Alex.
M. Adil menyandang status tersangka atas tiga kasus. Pertama, M. Adil diduga memalak sejumlah penyelenggara negara di lingkungan pemerintahannya, yang bersumber dari pemotongan uang persediaan (UP) dan ganti uang persediaan (GU). Permintaan itu dikondisikan seolah-olah utang.
BACA JUGA: Gudang Limbah Plastik Terbakar di Bantargebang, Korbannya Segini
“MA yang terpilih menjabat Bupati Kepulauan Meranti periode 2021 s/d sekarang, dalam memangku jabatannya diduga memerintahkan para Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) untuk melakukan setoran uang yang sumber anggarannya dari pemotongan uang persediaan (UP) dan ganti uang persediaan (GU) masing-masing SKPD yang kemudian dikondisikan seolah-olah adalah utang pada MA,” papar Alex.
Besaran pemotongan UP dan GU ditentukan MA dengan kisaran 5 sampai dengan 10 persen untuk setiap SKDP,” sambungnya.
Setelah uang yang terkumpul dari pungutan UP dan GU itu diserahkan kepada Fitria Ningsih yang merupakan orang kepercayaan M. Adil.
BACA JUGA: Mudik Gratis dari Bekasi, Catat Ini Jadwal dan Lokasi Pendaftarannya
Uang tersebut diduga akan digunakan untuk kepentingan M. Adil untuk maju sebagai Calon Gubernur Riau pada Pemilu 2024.
“Setelah terkumpul, uang-uang setoran tersebut kemudian digunakan untuk kepentingan MA, di antaranya sebagai dana operasional kegiatan safari politik rencana pencalonan MA untuk maju dalam Pemilihan Gubernur Riau di tahun 2024,” beber Alex.
Kasus kedua, M. Adil diduga menerima suap senilai Rp 1,4 miliar dari perusahaan travel umroh. Uang suap itu diterima M. Adil setelah membantu memenangkan proyek pemberangkatan umroh bagi para takmir masjid di Kabupaten Kepulauan Meranti.
“Sekitar bulan Desember 2022, MA menerima uang sejumlah sekitar Rp 1,4 miliar dari PT TM (Tanur Muthmainnah) melalui FN (Fitria Ningsih) yang bergerak dalam bidang jasa travel perjalanan umroh,” ungkap Alex.
KPK menduga, penerimaan suap itu karena M. Adil turut membantu memenangkan PT Tanur Muthmainnah dalam memenangkan proyek pemberangkatan umroh para takmir masjid.
“Karena memenangkan PT TM untuk proyek pemberangkatan umroh bagi para Takmir Masjid di Kabupaten Kepulauan Meranti,” papar Alex.
BACA JUGA: Ini Jadwal One Way, Contra Flow dan Ganjil Genap Serentak saat Musim Mudik Lebaran 2023
Kasus ketiga, M. Adil diduga memberikan uang suap senilai Rp 1,1 miliar untuk pengondisian pemeriksaan keuangan di Pemerintah Kabupaten Kepulauan Meranti. Uang suap itu diberikan agar daerah yang dipimpinnya meraih predikat wajar tanpa pengecualian (WTP).
Karena itu, Adil bersama orang kepercayaannya Kepala BPKAD Pemkab Kepulauan Meranti, Fitria Ningsih menyuap Fahmi Aressa untuk memuluskan keinginannya itu.
“Agar proses pemeriksaan keuangan Pemkab Kepulauan Meranti ditahun 2022 mendapatkan predikat baik sehingga nantinya memperoleh WTP, MA bersama-sama FN memberikan uang sejumlah sekitar Rp 1,1 miliar pada MFH selaku Ketua Tim Pemeriksa BPK Perwakilan Riau,” ujar Alex.
M. Adil sebagai tersangka penerima suap melanggar pasal 12 huruf f atau Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Sementara itu Fitria Ningsih sebagai pemberi melanggar Pasal 5 Ayat (1) huruf a atau Pasal 5 Ayat (1) huruf b atau Pasal 13 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
M Fahmi Aressa sebagai penerima melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 dan Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. (jpc)