RADARBEKASI.ID, BEKASI – Isu bocornya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang Pemilu dengan Proporsional tertutup, tak hanya mendapat reaksi dari para Politikus. Sejumlah masyarakat Bekasi juga menolak sistem Pemilu dengan mencoblos Partai. Pasalnya, dianggap sama dengan sistem Pemilu zaman Orde Baru (Orba).
Salah satunya adalah warga Jatiasih, Dwi Lindasari (46), tegas ia lebih setuju dengan sistem Pemilu saat ini, proporsional terbuka. Memilih wakil di lembaga legislatif sesuai dengan keinginan dan pengetahuan adalah alasan utamanya.
Latar Belakang dan kerja-kerja yang sudah dilakukan kandidat di tengah masyarakat menjadi pertimbangan sebagai pemilih.”Pemilu terbuka dong, karena tau kerjanya. Saya sebenarnya nggak tertarik dengan semua partai, tapi saya tertarik dengan orang-orang yang mempunyai jiwa seperti yang tadi saya sampaikan, tapi dia didorong oleh partai, gitu aja sih,” ungkapnya, Selasa (30/5).
Warga yang lain, Derry, juga ingin tetap dengan sistem proporsional terbuka. Warga Bekasi Barat ini khawatir, keputusannya memilih partai disalahgunakan.Pertimbangan pertama untuk menentukan pilihan adalah sosok, dibuktikan dengan latar belakang pendidikan, ditambah apa saja yang sudah dipersembahkan kepada rakyat bagi caleg incumbent. Baru, pertimbangan kemudian adalah partai.”Saya dulu (melihat) sosok, sekarang lihat partai juga. Partai mana yang selama ini benar-benar ke rakyat,” katanya.
Perbincangan sistem pemilu lebih hangat lagi di lingkungan Parpol. Beberapa politikus di Kota Bekasi mengaku masih sabar menunggu dan siap apapun keputusannya, ada yang berharap tetap dengan proporsional terbuka, ada juga yang menerima dengan alasan sesuai Undang-undang (UU) Pemilu.
Wakil Ketua Bidang Pemenangan Pemilu DPC PDI Perjuangan Kota Bekasi, Nicodemus Godjang mengatakan bahwa semua pihak harus menghargai dan menghormati apapun keputusan Mahkamah Konstitusi (MK).
Menurutnya, sesuai dengan UU nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, peserta Pemilu adalah partai politik, bukan perorangan atau masing-masing Caleg.”Artinya regulasi yang berbicara, bukan saya. Berbicara keuntungan dan kerugiannya itu kesampingkan, tetapi bicara aturan yang kita sepakati bersama,” katanya.
Proporsional tertutup pernah dilakukan pada era orde baru, berbagai kalangan menilai perubahan dari sistem proporsional terbuka menjadi tertutup adalah kemunduran.Terkait dengan hal ini, ia menyebut bahwa sistem pemilu tidak ada kaitannya dengan orde baru, tetapi sesuai dengan UU Pemilu. Namun nyatanya, tidak ada yang memprotes UU Pemilu.
Sesuai dengan bunyi UU Pemilu, maka otoritas tertinggi seharusnya dipegang oleh Parpol.”Tinggal rakyat menilai mana yang benar-benar layak untuk menjadi pemenang. Setiap aturan pasti ada positif dan negatifnya,” ungkapnya.
Ia juga tidak memungkiri ada kekhawatiran pada Bacaleg di tengah situasi menguatnya keputusan sistem proporsional tertutup. Namun, setiap Bacaleg harus memahami aturan UU Pemilu yang saat ini berlaku.
Terkait dengan PDI Perjuangan, disampaikan bahwa telah memiliki serangkaian proses pendidikan politik, baik saat menjadi anggota partai, maupun saat hendak menjadi anggota legislatif. Dengan manajemen internal partai semacam itu, ia meyakini partai telah memiliki penilaian terhadap kemampuan kader.
Terpisah, Wakil Ketua Bidang Pemenangan Pemilu DPD Partai Golkar Kota Bekasi, Dariyanto menyampaikan bahwa Partai Golkar masih menunggu keputusan resmi MK. Meskipun, partai Golkar tetap berharap pemilu dilaksanakan dengan sistem Proporsional terbuka.
“Kami dari partai Golkar tetap berharap Pemilu tetap dapat dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka, sehingga masyarakat dapat memilih secara langsung wakilnya,” ungkapnya.
Sistem pemilu saat ini menjadi pertanyaan Bacaleg yang telah mendaftarkan diri. Meskipun demikian, Daryanto meyakinkan bahwa isu ini tidak mengganggu kerja partai hingga proses pencalegan.
Sejauh ini, Bacaleg Partai Golkar Kota Bekasi kata dia, berkomitmen untuk berjuang bersama meskipun sistem Pemilu diputuskan proporsional tertutup.”Kalaupun nanti terbuka, artinya kompetisi yang dijalankan di internal partai pun harus dijalankan secara sehat,” tambahnya.
Pengamat Politik dan Pemerintahan Universitas Islam 45 (Unisma) Bekasi, Adi Susila menilai sistem proporsional terbuka dan tertutup memiliki sederet perbedaan. Pada sistem proporsional tertutup, masyarakat cukup memilih partai sehingga prosesnya lebih mudah. Namun disisi lain, kewenangan partai menjadi lebih kuat, kandidat yang akan duduk di kursi legislatif sangat bergantung pada nomor urut yang disusun oleh partai.
Sementara pada sistem proporsional terbuka, terdapat potensi persaingan tidak sehat di internal partai, antara Caleg yang satu dengan Caleg yang lain, figur dan sumberdaya yang dimiliki kandidat juga memegang peranan penting dalam menggaet suara pemilih. Tapi disisi lain, masing-masing Caleg di setiap nomor urut memiliki kesempatan yang sama, mereka terpilih dengan perolehan suara terbanyak.
Kedua sistem Pemilu tersebut tidak bisa begitu saja dinilai mengkhianati semangat demokrasi dan reformasi. Dua-duanya bisa saja dilakukan dengan catatan-catatan.
Pertama, dengan sistem proporsional tertutup, nomor urut tidak begitu saja ditentukan oleh partai politik. Melainkan lewat pemilihan di internal partai dengan tata cara yang demokratis, juga terbuka kepada publik.
“Sebenarnya bisa diatasi dengan tata cara yang demokratis juga, transparan, sistemnya jelas. Kalau di Amerika itu ada pemilihan pendahuluan ya, pemilihan di internal partai, itu macam-macam namanya, bisa konvensi dan lain-lain,” paparnya.
Mengatur dan mempersiapkan pemilihan internal secara demokratis bukan hal mudah, perlu waktu, sementara tahapan Pemilu terus berjalan mendekati waktu pemilihan.
Dengan alasan itu, ia menilai sistem proporsional tertutup tidak bisa diterapkan pada Pemilu 2024 mendatang.
Sistem proporsional terbuka bukan tanpa catatan, perbaikan pengaturan tata cara kampanye juga perlu dilakukan, dengan cara diatur oleh partai setelah KPU mengatur jadwal kampanye. Hal ini dapat meminimalisir persaingan tidak sehat yang justru terjadi di internal partai.
Dengan kebebasan yang dimiliki tiap kandidat seperti saat ini, Adi menilai kandidat dengan modal politik besar lebih diuntungkan dibanding kandidat lain dengan modal terbatas.”Karena nanti yang modalnya gede kan bisa pakai cara apa saja, yang penting dia mendapatkan suara terbanyak. Menurut saya itu yang harus ditata,” ungkapnya. (Sur)