Berita Bekasi Nomor Satu

Upaya Kriminalisasi Advokat ”Catatan dari Perspektif Kebebasan Advokat”

Oleh: Naupal Al Rasyid, SH., MH

RADARBEKASI.ID, BEKASI – Suatu studi yang dilakukan oleh Daniel S. Lev (2001) tentang kebebasan dari advokat, disimpulkan ada tiga prinsip universal yang dinyatakan: Pertama, Basic Principles on the Role of Lawyer, yang merekomendasikan kepada negara-negara anggota PBB untuk memberikan perlindungan terhadap advokat-advokat dari hambatan-hambatan dan tekanan dalam melaksanakan fungsinya.

Kedua, dalam IBA standard (butir ke-8) disebutkan, seorang advokat tidak boleh dihukum atau diancam hukuman, baik itu hukum pidana, perdata, administratif, ekonomi, maupun sanksi atau intimidasi lainnya dalam pekerjaan membela dan memberi nasehat kepada kliennya secara sah.

Ketiga, deklarasi dari ”the World Conference on the Independence of Justice” yang mendorong kebebasan advokat dalam menjalankan fungsinya, dengan menyatakan bahwa harus ada sistem yang adil dalam peradilan administrasi yang menjamin independensi advokat untuk melaksanakan tugas profesionalnya tanpa adanya hambatan, pengaruh, pemaksaan, tekanan, ancaman dan intervensi.

Sebagai negara hukum, Indonesia telah melahirkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, norma yang memberikan legitimasi bagi advokat dalam menjalankan profesinya sekaligus menjadikan profesi advokat sejajar dengan penegak hukum lain, dan ini sejalan dengan usaha mewujudkan prinsip negara hukum Advokat secara historis, termasuk salah satu profesi yang tertua, dalam perjalanannya profesi advokat dinamai sebagai officium Nobile, jabatan mulia.

Penamaan itu terjadi, karena aspek “kepercayaan” dari pemberi kuasa klien. (Luhut M.P.Pangaribuan, 1996).

Meskipun dalam Undang-Undang Advokat diatur berbagai prinsip-prinsip dasar dalam penyelenggaraan tugas profesi advokat, khususnya dalam peranannya dalam menegakkan keadilan serta terwujudnya prinsip-prinsip negara hukum pada umumnya.

Berdasarkan ketentuan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 menyatakan bahwa : “Advokat bebas dalam menjalankan tugas profesinya untuk membela perkara yang menjadi tanggung jawabnya dengan tetap berpegang pada kode etik profesi dan peraturan perundang undangan”.

Kemudian Pasal 16 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 menyatakan bahwa : “Advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan itikad baik untuk kepentingan pembelaan klien dalam sidang pengadilan“.

Untuk melindungi (to protect) adapun maksud dengan “itikad baik” adalah, menjalankan tugas profesi demi tegaknya keadilan berdasarkan hukum untuk membela kepentingan kliennya.

Kemudian menghormati (to respect) untuk yang dimaksud dengan “sidang pengadilan” adalah sidang pengadilan dalam setiap tingkat pengadilan di semua lingkungan peradilan.

Namun apabila melihat kenyataan saat ini, banyak sekali advokat yang dilaporkan ke pihak yang berwajib, atas adanya dugaan kelalaian ataupun kesalahannya dalam menjalankan tugas profesinya.

Salah satunya advokat senior Sugeng Teguh Santoso yang pada saat ini sebagai Ketua Indonesia Police Watch (IPW), dilaporkan ke polisi, sebagaimana yang telah diberitakan (rmol.id/6/6/ 2023), “Ketua IPW Banyak Dilaporkan ke Polisi, TPDI: Ini Kriminalisasi terhadap Demokrasi dan Kedaulatan Rakyat”.

Kebijakan hukum (legal policy) menjamin tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesi advokat sesuai ketentuan Pasal 16 di atas.

Aturan tersebut lebih menguatkan profesi dan tanggung jawab advokat dengan memberikan kekebalan advokat (advocacy immunity) untuk tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana di dalam sidang pengadilan untuk membela kepentingan klien dalam mencari keadilan.

Terlepas telah terjadi suatu kriminalisasi atau penetapan penguasa mengenai perbuatan-perbuatan tertentu, yang oleh masyarakat atau golongan-golongan masyarakat dianggap sebagai perbuatan yang dapat dipidana menjadi perbuatan pidana, termasuk juga terhadap seseorang yang berprofesi sebagai advokat.

Walaupun pelaporan tersebut dilatarbelakangi oleh berbagai faktor, yang mengakibatkan seorang yang berprofesi sebagai advokat dapat terjerat hukum dalam menjalankan profesinya. Hal tersebut sangatlah bertentangan dengan ketentuan Pasal 16 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 yang menyatakan bahwa seorang advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun secara pidana dalam menjalankan tugas profesinya.

Problematika dominasi penegak hukum polisi, jaksa dan hakim dalam peradilan pidana, menjadikan adanya fenomena kriminalisasi kesewenang-wenangan, arogansi yang kerap dilakukan oleh para penguasa dan penegak hukum, pada umumnya mengenai advokat selalu ada semacam ambivalensi terhadap profesi tersebut.

Disatu pihak, advokat dianggap sebagai profesi yang senang mempermainkan hukum dan bikin perkara. Disisi lain, siapa lagi yang dapat menolong orang yang sedang berperkara dalam persidangan kalau bukan advokat. (Khadafi, Bin Zain (Ed.), 2001).

Hal ini lah, kemudian yang mau tidak mau membuat kepercayaan masyarakat kepada peran advokat sebagai penegak hukum secara baik dapat diukur dari dua faktor: Pertama, orang dikatakan makin memiliki integritas, dia makin memperhatikan kompetensinya juga, dan sebaliknya, orang makin memiliki kompetensi yang baik, dia juga memperhatikan integritasnya.

Kedua, orang yang memiliki kompetensi baik namun tidak punya integritas, maka kemampuan (kompetisi) yang baik itu bisa tidak menghasilkan kinerja atau hasil yang baik. Demikian juga sebaliknya, orang yang memiliki integritas yang baik, namun tidak memiliki kompetensi yang baik, juga tidak bisa diharapkan menghasilkan kinerja yang baik pula. (Gea, 2014).

Untuk memecahkan berbagai problematika adanya fenomena kriminalisasi dan kesewenang-wenangan terhadap advokat, Negara telah mengeluarkan Undang-Undang Advokat sebagai instrumen menjalankan tugas profesinya dalam hal membela kepentingan klien, maka advokat diberikan kebebasan oleh undang-undang.

Pengertian bebas adalah tanpa tekanan, ancaman, hambatan, rasa takut atau perlakuan yang merendahkan martabat, dan kebebasan itu harus tetap dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan kode etik profesi.

Dari pengaturan tersebut, terlihat bahwa asas kebebasan diberikan kepada advokat, yang berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaannya, sehingga advokat tidak dapat dituntut dan dihukum dalam melaksanakan tugasnya, maka terdapat satu hal yang perlu digaris bawahi dalam hal mana adanya rekognisi terhadap advokat sebagai penegak hukum.

Rekognisi advokat sebagai penegak hukum tersebut, tentunya dijamin hak imunitas dan kebebasan advokat oleh hukum dan peraturan perundang-undangan.

Adapun yang dimaksud status advokat sebagai penegak hukum, adalah sebagai salah satu perangkat dalam proses peradilan yang mempunyai kedudukan yang setara atau sama dengan penegak hukum lainnya, seperti halnya polisi, jaksa dan hakim, dalam penegakan hukum dan keadilan.

Pengaturan tentang hak imunitas dan kebebasan advokat dapat disimak dan dipahami dengan lebih mendalam dari pasal 14 hingga pasal 19 Undang-Undang No.18 Tahun 2003, tepatnya bab IV tentang hak dan kewajiban.

Secara umum, bisa dikatakan bahwa hak imunitas muncul dari hak (right) dan kewajiban (duty) advokat dalam melakukan tugas-tugasnya yang secara tegas menyatakan, bahwa advokat bebas untuk mengeluarkan pendapat atau pernyataan dalam membela perkara yang menjadi tanggung jawabnya di dalam sidang pengadilan.

Maksud dari kata bebas dalam hal ini, adalah tanpa adanya tekanan, ancaman, hambatan, tanpa adanya rasa takut, atau perlakuan yang merendahkan harkat dan martabat profesi advokat. Selain itu, advokat bebas dalam menjalankan tugas profesinya untuk membela perkara yang menjadi tanggung jawabnya, dengan tetap berpegang pada Kode Etik Profesi dan Peraturan Perundang-Undangan. (Zulkifli,dkk, 2006).

Persoalannya adalah, mengapa masih terjadi, dalam praktik banyak sekali advokat yang dilaporkan ke pihak yang berwajib, atas adanya dugaan kelalaian ataupun kesalahannya dalam menjalankan tugas profesinya, atau problematika adanya fenomena kriminalisasi advokat.

Untuk kasus yang aktual, advokat senior Sugeng Teguh Santoso yang pada saat ini sebagai Ketua Indonesia Police Watch (IPW) dilaporkan ke polisi. Apakah hal ini benar disebabkan kriminalisasi atau ada kelemahan peraturan perundang-undangan dalam implementasinya?

Dalam pandangan V.Harlen Sinaga (1960), yang dimaksud dengan hak imunitas adalah kebebasan dari advokat untuk melakukan atau tidak melakukan setiap tindakan dan mengeluarkan atau tidak mengeluarkan pendapat, keterangan atau dokumen kepada siapapun dalam menjalankan tugas profesinya.

Oleh karena itu, seorang advokat tidak dapat dikriminalisasikan atau dengan kata lain, tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya yang didasarkan pada itikad baik untuk kepentingan pembelaan kliennya.

Maksud itikad baik disini, adalah menjalankan tugas profesi demi tegaknya keadilan berdasarkan hukum untuk membela kepentingan kliennya dalam setiap tingkat peradilan di semua lingkungan peradilan. Sehingga dia tidak dapat dihukum sebagai konsekuensi dari pelaksanaan tugas profesinya.

Dengan demikian, masalahnya problematika adanya fenomena kriminalisasi advokat bukanlah masalah hukum semata-mata yang dapat diselesaikan melalui jalur hukum, namun harus merumuskan Kode Etik Profesi dan Peraturan Perundang-Undangan dan berbagai instrumen sosial lainnya, bahkan dalam hal ini kehadiran negara sering dirasakan “absen”, dari desain konstitusional rekognisi terhadap advokat sebagai penegak hukum.

Indonesia telah meratifikasi Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil Dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights/ICCPR) melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005.

Maka dari itu, Indonesia sebagai negara anggota di dalamnya telah terikat dengan berbagai kewajiban, diantaranya wajib untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi hak asasi manusia yang berada di wilayah yurisdiksinya, termasuk pula kewajiban untuk melakukan pemenuhan hak pada Pasal 14 ICCPR,untuk menjamin pelaksanaan peradilan yang layak.

Prinsip negara hukum tersebut telah menimbulkan suatu konsekuensi berupa tuntutan adanya jaminan persamaan bagi setiap orang dihadapan hukum (equality before the law). Oleh karena itu, maka Undang-Undang Dasar (UUD) 45 juga telah menentukan bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta adanya perlakuan yang sama dihadapan hukum.

Dalam usaha untuk mewujudkan prinsip-prinsip negara hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, khususnya berkaitan dengan implementasi hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta adanya perlakuan yang sama dihadapan hukum, maka peran dan fungsi advokat sebagai profesi yang bebas, mandiri dan bertanggung jawab, merupakan hal yang sangat penting selain peran dan fungsi lembaga peradilan dan instansi penegak hukum lainnya seperti kepolisian dan kejaksaan.

Problematika adanya fenomena kriminalisasi dan kesewenang-wenangan terhadap advokat, lebih berada pada tataran implementasi dari pada masalah hukum semata-mata atau Kode Etik Profesi dan Peraturan Perundang-Undangan, maka kehadiran negara dan ketegasan aparat penegak hukum sangat diperlukan.

Dihubungkan terhadap kebebasan advokat pada pasal 14 hingga pasal 19 Undang-Undang No.18 Tahun 2003, tepatnya bab IV tentang Hak dan Kewajiban. Secara umum, dapat dikatakan bahwa hak imunitas muncul dari hak (right) dan kewajiban (duty) advokat dalam melakukan tugas-tugasnya, yang secara tegas menyatakan, bahwa advokat bebas untuk mengeluarkan pendapat atau pernyataan dalam membela perkara yang menjadi tanggung jawabnya,.

Seorang advokat tidak dapat dikriminalisasikan, atau dengan kata lain tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya, yang didasarkan pada itikad baik untuk kepentingan pembelaan kliennya, dan secara ontologis instrumen sosial dalam hal ini kehadiran negara harus dirasakan sebagai deskripsi rekognisi dan kebebasan advokat. (*) Direktur LBH FRAKSI ’98


Solverwp- WordPress Theme and Plugin