RADARBEKASI.ID, BEKASI – Mantan Ketua Komisi II DPRD Kabupaten Bekasi periode 2014-2019, Mulyana Muhtar, buka-bukaan mengenai kekuatan wakil rakyat semasa dirinya menjabat.
Politikus Partai Demokrat ini menilai, wakil rakyat di Kabupaten Bekasi tidak punya kekuatan untuk memperjuangkan aspirasi masyarakat yang dititipkan saat melakukan reses. Pasalnya, aspirasi tersebut tidak pernah terakomodir oleh dinas walaupun sudah diusulkan.
Kepada Radar Bekasi, Mulyana mengaku, setelah mengemban jabatan sebagai wakil rakyat selama lima tahun, kini dirinya belum tertarik lagi untuk berkecimpung di dunia politik.
Saat ini, dirinya ingin merefleksi seperti apa politik yang sebenarnya. Sebab, ketika sudah masuk ke ranah politik semua menjadi tak jelas. Mana politik dan mana kepentingan masyarakat. Sedangkan, dirinya melenggang sebagai wakil rakyat berasal dari kekuatan masyarakat.
“Ternyata di atas nggak bisa berbuat banyak. Jadi nambah gelar, Pak Dewan sama Pak Pembohong. Jadi percuma, karena kita nggak bisa mengeksekusi keinginan rakyat,” ujarnya kepada Radar Bekasi, Minggu (25/6/2023).
BACA JUGA: Jelang Pemilu 2024, Ketua DPRD Kota Bekasi Antisipasi Kerawanan Keamanan
Dirinya mencontohkan, ketika reses banyak masyarakat yang mengusulkan aspirasinya. Mulai dari pembangunan fisik, non fisik, sosial, kesehatan, budaya, dan lain sebagainya, yang kemudian aspirasi tersebut dirangkum secara tertulis untuk diajukan ke Pemerintah Daerah (Pemda) melalui dinas-dinas terkait. Namun saat diusulkan ke Bappeda, itu tidak bisa diakomodir.
“Justru malah dikasih barang jadi. Artinya, memilih kegiatan-kegiatan yang sudah ada titik-titiknya. Sehingga kita nggak membawa arti apa-apa sebagai wakil rakyat. Karena usulan masyarakat tidak ada yang diakomodir. Kita sebagai kekuatan politik, tapi nyatanya kita nggak ada kekuatan,” tuturnya.
Selama lima tahun, dirinya berada di Komisi II sebagai ketua. Hanya saja, sebagai ketua dirinya pun tidak bisa berbuat banyak. Oleh karena itu, jabatan sebagai wakil rakyat mala menjadi bumerang buat diri sendiri. Hal itu mengingat, banyak masyarakat yang menaruh harapan kepada dirinya sebagai wakil rakyat. Tetapi pada kenyataannya, dirinya tidak bisa berbuat banyak.
“Itu menjadi bumerang buat kita, maka lebih baik saya merefleksi dulu, seperti apa sih kekuatan wakil rakyat. Sekarang saya sudah tidak lagi di dunia politik,” ungkapnya.
BACA JUGA: Ratusan Pelajar Duduki Ruang Paripurna DPRD
Sebagai wakil rakyat yang berasal dari Daerah Pemilihan (Dapil) I, yang meliputi Kecamatan Cikarang Selatan, Serang Baru, Cibarusah, Bojongmangu, dan Cikarang Pusat. Keputusan terjun ke dunia politik karena ingin menjadi jembatan dari berbagai elemen masyarakat yang ada di Dapilnya. Mulai dari buruh, pedagang, jasa, sampai pertanian.
“Saya ingin berjuang untuk itu semua. Paling tidak kita bisa bergeser taraf kehidupan mereka. Kita bisa jadi jembatan, tapi nyatanya kita nggak punya kekuatan apa-apa di parlemen, karena kita bukan eksekutor. Eksekutif manakala ada pembahasan anggaran, semua terbuka. Begitu disahkan, semua tertutup,” bebernya.
Menuru dia, pada esensinya Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) adalah kesejahteraan. Artinya, memicu atau mengurangi risiko pendapatan masyarakat. Contohnya sekolah dan kesehatan gratis. Sementara APBD digunakan cuma input, output. Sedangkan outcomenya tidak pernah diperiksa sama BPK.
“Input ngambil duit. output dibelanjakan. Outcomenya tidak pernah dinilai, dampaknya apa ke masyarakat? Memicu nggak dalam pendapatan. Pertimbangannya jadi dewan itu tanggung. Karena kita nggak punya eksekusi,” katanya. (pra)