RADARBEKASI.ID, BEKASI – Suatu hal yang menarik yang muncul akhir-akhir ini adalah polemik pengembalian uang sebanyak Rp 27 miliar yang diserahkan oleh Dr. Maqdir Ismail, SH., LL.M selaku pengacara terdakwa kasus korupsi Base Transceiver Station (BTS), Irwan Hermawan kepada Kejaksaan Agung (Kejagung).
Polemik tersebut patut mendapat perhatian secara analisis dan perlu pembahasan lebih mendalam. Analisa dan kajian pembahasan bukan saja ditujukan kepada pengembalian dan penerimaan pihak Kejagung yang masih mengevaluasi dan berusaha untuk mengembangkan data-data yang sudah dikumpulkan untuk menentukan langkah-langkah berikutnya terkait status uang dan urgensinya senilai Rp 27 miliar, tetapi lebih menyeluruh, karena polemik diduga akan muncul dalam bentuk Kejagung belum bisa memandang uang tersebut sebagai pengembalian.
Menurut Direktur Penyidikan Jampidsus Kejagung, Kuntadi, SH., MH, Kejagung harus mengetahui duduk masalah uang tersebut secara jelas dan tidak bisa langsung menjadikannya sebagai bahan pengembangan kasus. “Kalau ada kaitannya dengan kejahatannya atau uang hasil kejahatan, itu barang sitaan. Tidak diperhitungkan sebagai pengembalian.” (metrotvnews.com, 15 Juli 2023).
Adapun mekanisme pengembalian kerugian negara pada pidana korupsi adalah melalui proses penyitaan dan perampasan ditetapkan dalam putusan persidangan sebagaimana dijelaskan Pasal 17 UU 31/1999 jo. UU 20/2001 tentang Tindak pidana korupsi (UU Korupsi), selain dapat dijatuhi pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14 UU 31/1999 jo. UU 20/2001 UU Korupsi, terdakwa dapat dijatuhi pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 UU Korupsi.
Pengembalian kerugian keuangan negara diklasifikasikan dapat dijatuhkan pada pidana tambahan oleh Majelis Hakim disamping menjatuhkan pidana Pokok.
Sejalan dengan pengaturan dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tersebut, Purwaning M. Yanuar (2007) menjelaskan bahwa pengembalian kerugian keuangan negara dengan menggunakan instrumen pidana menurut UU 31/99 jo. UU 20/2001 dilakukan melalui proses penyitaan, perampasan, dan aturan pidana denda sebagai upaya preventif.
Upaya pengembalian sebagai pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 UU Korupsi, lalu muncul pertanyaanya, apa yang dimaksud pengembalian sebagai upaya preventif dihubungkan terhadap pengembalian uang sebanyak Rp. 27 miliar dari Terdakwa kasus korupsi Base Transceiver Station (BTS) Irwan Hermawan kepada Kejagung dalam status hukum dan asas kemanfaatan.
Penegasan upaya pengembalian kerugian keuangan negara akibat tindak pidana korupsi, merupakan upaya sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) mewajibkan negara melalui penegak hukum untuk bertanggung jawab mengembalikan kerugian ekonomi yang ditimbulkan akibat tindak pidana korupsi yang didasarkan pada keadilan sosial.
Teori dan tanggung jawab negara untuk mewujudkan keadilan sosial, memberikan justifikasi moral bagi negara untuk melakukan upaya-upaya pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi.
Teori keadilan sosial memberikan landasan moral bagi justifikasi pengembalian aset negara seperti yang dikemukakan oleh Michael Levi (2004), yaitu:
Pertama, alasan pencegahan (prophylactic), yaitu untuk mencegah pelaku tindak pidana memiliki kendali atas aset-aset yang diperoleh secara tidak sah untuk melakukan tindakan lain di masa yang akan datang.
Kedua, alasan kepatutan (propriety), yaitu pelaku tindak pidana tidak punya hak yang pantas atas aset aset yang diperoleh secara tidak sah tersebut.
Ketiga, alasan prioritas/mendahului, yaitu karena tindak pidana memberi prioritas kepada negara untuk menuntut aset yang diperoleh secara tidak sah daripada hak yang dimiliki oleh pelaku tindak pidana.
Keempat, alasan kepemilikan (proprietary), yaitu karena aset tersebut diperoleh secara tidak sah, maka negara memiliki kepentingan selaku pemilik aset tersebut.
Meskipun penyelamatan keuangan negara dinilai efektif dalam memulihkan keuangan negara, namun hal tersebut tidak sejalan dengan tujuan pemidanaan, yaitu salah satu dari tujuan pemidanaan adalah memberikan efek jera sebagai upaya preventif agar masyarakat tidak melakukan perbuatan yang sama.
Jadi, penyelamatan keuangan negara harus tetap disertai dengan terciptanya kemanfaatan yang lebih bagi masyarakat melalui pengusahaan yang sebesar-besarnya untuk menghukum terdakwa tindak pidana korupsi serta mengembalikan kerugian keuangan negara.
Menurut Jeremy Bentham (Philip Schofield, 2003), sebagai pelopor teori kemanfaatan menginginkan bahwa hukum dapat memberikan kemanfaatan (kebahagiaan) bagi setiap individu. Namun, jika kebahagiaan tersebut tidak mungkin tercapai, maka diupayakan dapat dinikmati oleh sebanyak-banyak mungkin individu dalam masyarakat (the greatest happiness for the greatest number of people).
Dalam penerapannya hakim telah mengusahakan terciptanya kemanfaatan yang lebih bagi masyarakat melalui pengusahaan yang sebesar-besarnya untuk menghukum terdakwa tindak pidana korupsi serta mengembalikan kerugian keuangan negara.
Dalam kaitannya, kemanfaatan yang lebih bagi masyarakat Mahkamah Agung telah menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 5 Tahun 2014 tentang Pidana Tambahan Uang Pengganti dalam Tindak Pidana Korupsi (Perma Uang Pengganti), pada prinsipnya menginginkan Terdakwa korupsi dapat dimintakan pertanggung-jawabannya untuk membayar pidana uang pengganti terhadap Tindak Pidana Korupsi yang telah dia lakukan.
Selain itu, melalui ketentuan perma tersebut, sebenarnya Mahkamah Agung memberikan kepastian kepada hakim untuk dapat dengan tenang membebankan Terdakwa yang tidak menikmati hasil tindak pidana korupsi karena telah dialihkan kepada pihak lain untuk membayar pidana uang pengganti.
Kemanfaatan terhadap pengembalian uang sebanyak Rp 27 miliar dari terdakwa kasus korupsi BTS, Irwan Hermawan kepada Kejagung, dalam hal ini masyarakat yang telah menggantungkan dirinya serta berharap perlindungan kepada negara, menurut teori John Locke (Barda Nawawi Arief, 2003), pastinya mengharapkan adanya suatu manfaat dari suatu penegakkan hukum tersebut, dalam hal ini pastinya menghilangkan hal yang dinamakan korupsi dari para oknum-oknum yang bertindak sewenang-wenang terhadap sesuatu yang bukan haknya.
Dan adanya unsur keadilan dalam penegakkan hukum, masyarakat tentunya sangat mengharapkan keadilan dari penegakkan hukum.
Mengenai hal ini, kembali kepada pemikiran Jeremy Bentham (Philip Schofield, 2003), memandang bahwa kepastian hukum tidak hanya berhenti pada penetapan suatu produk hukum, tetapi juga harus dievaluasi bagaimana kedayagunaannya di dalam masyarakat, sehingga dapat dijadikan sebagai acuan mengenai keberlanjutan dari produk hukum tersebut.
Hal ini berbeda dengan aliran positivisme hukum yang memandang bahwa kepastian hukum sudah tercapai apabila telah terjadi suatu penetapan dari produk hukum, maka pembahasan yang seharusnya dihantarkan oleh Jeremy Bentham adalah pada tataran pembentukan peraturan perundang-undangan, dengan menganalisis aspek-aspek empiris dari kebutuhan-kebutuhan masyarakat, yang nantinya akan diatur melalui peraturan perundang-undangan.
Namun sebaliknya, pengembalian uang sebanyak Rp 27 miliar dari terdakwa kasus korupsi BTS, Irwan Hermawan kepada Kejagung dalam status hukum dan asas kemanfaatan lebih mengarahkan untuk mengevaluasi produk peraturan perundang-undangan yang sudah ada tersebut.
Oleh karenanya, kemanfaatan merupakan bagian dari beberapa landasan dari suatu produk perundang-undangan, yang mana meskipun ternyata suatu produk perundang-undangan tidak membawa manfaat bagi sebagian besar masyarakat yang terikat dengan produk tersebut, hal demikian tidak mempengaruhi prinsip validity dari produk hukum tersebut.
Berdasarkan pembahasan di atas, maka Kejagung sepatutnya menetapkan upaya preventif dihubungkan terhadap pengembalian uang sebanyak Rp. 27 miliar dari terdakwa kasus korupsi BTS, Irwan Hermawan kepada Kejagung dalam status hukum dan asas kemanfaatan yang diterapkan bagi terdakwa korupsi kasus korupsi, harus lebih memperhatikan dasar pengenaan pidana uang pengganti dan mempedomani ketentuan dasar pengenaan pidana di samping memperhatikan fakta yang terungkap di persidangan adalah harus yang berorientasi pada kerugian ekonomi negara, yaitu:
Pertama, pengembalian kerugian keuangan negara dilakukan melalui proses penyerahan, penyitaan, perampasan, dan aturan pidana denda dengan menggunakan instrumen pidana menurut Pasal 18 UU 31/1999 jo. UU 20/2001 tentang Tindak pidana korupsi jo. Pasal 2, Pasal 4, Pasal 6 dan Pasal 9 Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 5 Tahun 2014 tentang Pidana Tambahan Uang Pengganti dalam Tindak Pidana Korupsi.
Kedua, diupayakan dapat dinikmati oleh sebanyak-banyak mungkin individu dalam masyarakat (the greatest happiness for the greatest number of people) yang akan terbukti dalam putusan hakim untuk mengusahakan terciptanya kemanfaatan yang lebih bagi masyarakat melalui pengusahaan yang sebesar-besarnya untuk menghukum terdakwa tindak pidana korupsi serta mengembalikan kerugian keuangan negara.
Ketiga, kepastian hukum tidak hanya berhenti pada penetapan suatu produk hukum pengembalian kerugian keuangan negara, tetapi juga harus dievaluasi bagaimana kemanfaatannya di dalam masyarakat dan harus berbeda dengan aliran positivisme hukum yang memandang bahwa kepastian hukum sudah tercapai apabila telah terjadi suatu penetapan dari produk hukum, sehingga dapat dijadikan sebagai acuan mengenai keberlanjutan dari produk hukum pengembalian kerugian keuangan negara tersebut.
Jenis status hukum dan kemanfaatannya semacam ini, akan lebih menghadirkan keadilan ekonomi dan kemanfaatan ekonomi bagi negara yang menderita kerugian materiil terhadap korupsi kasus korupsi BTS tidak tergolong kecil, yakni diatas Rp 27 miliar dari dugaan keseluruhan kerugian negara sebesar Rp 8 triliun, maka hal tersebut perlu dikaji lebih mendalam oleh Kejagung dengan prinsip validity dari produk hukum pengembalian kerugian keuangan negara.
Meskipun penyelamatan keuangan negara dinilai efektif dalam memulihkan keuangan negara, namun hal tersebut tidak sejalan dengan tujuan pemidanaan, yaitu salah satu dari tujuan pemidanaan adalah memberikan efek jera sebagai upaya preventif agar masyarakat tidak melakukan perbuatan korupsi yang sama.
Jadi, penyelamatan keuangan negara, harus tetap disertai dengan terciptanya kemanfaatan yang lebih bagi masyarakat melalui aspek-aspek empiris dari kebutuhan-kebutuhan masyarakat, yang sebesar-besarnya untuk menghukum terdakwa tindak pidana korupsi serta mengembalikan kerugian keuangan negara. (*) Direktur LBH FRAKSI ’98