RADARBEKASI.ID, BEKASI – Proses pemeriksaan terhadap kasus dugaan malpraktik di RS Kartika Husada (KH) Jatiasih terus berlanjut. Hasil audit Kementerian kesehatan (kemenkes), ditemukan tidak adanya surat izin praktik salah satu dokter yang ikut menangani pasien hingga meninggal dunia.
Temuan tidak adanya surat izin praktik salah satu tenaga dokter ini juga disayangkan oleh Kemenkes. Catatan lainnya adalah kecepatan penindakan, serta perlunya pelatihan lebih banyak kepada sejumlah tenaga kesehatan di RS.
“Kalau malpraktik saya bisa bilang yang kita temukan adalah bahwa fasyankes sama RS-nya itu dokternya tidak punya izin praktek ya, itu yang sebenarnya kita sesalkan, tapi yang lain itu perlu kita lakukan pembinaan,” ungkap Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI Azhar Jaya.
Sementara terkait dengan Standar Operasional Prosedur (SOP), RS dipastikan telah melakukan tindakan sesuai SOP.
Keluarga pasien, Frans Sinaga mengaku terkejut dengan hasil audit Kemenkes tersebut. Hal ini seolah mempertegas adanya tindak pidana sebagaimana yang telah dilaporkan oleh keluarga pasien, tenaga dokter maupun RS dinilai layak diberikan sanksi tegas jika benar-benar terbukti.
“Apakah rumah sakitnya tertipu dengan dokternya, atau dia (RS) membiarkan dokter itu tidak berizin tapi tetap praktik,” ungkapnya, Rabu (18/10).
Terkait dengan SOP, ia menilai perlu dilakukan melihat proses yang terjadi sejak pasien tiba di RS sekira pukul 05:00 WIB pagi sampai dengan perawatan di ruang ICU. Beberapa hal yang menjadi catatan keluarga pasien diantaranya, pasien harus tiba di RS pada pukul 05:00 WIB, setelah itu menunggu masuk ke ruang rawat hingga sekira pukul 10:00 WIB.
Lebih lanjut, proses pemindahan pasien dari ruang rawat menuju ruang operasi tanpa sepengetahuan orang tua yang saat itu diketahui tengah berada di kamar mandi, siapapun boleh masuk ke ruang ICU pada saat pasien dirawat. Ia juga menyaksikan wadah infus dalam keadaan kosong, saat ditanyakan kepada perawat didapati jawaban belum dipesan.
“Kalau mereka berdalih nya SOP yang dari ruang operasi, ya berarti dari awal sebelum operasi juga harus ikut prosedur SOPnya. SOP mana yang kita mau jabarkan, dan kita menganggap itu benar SOP,” ucapnya.
Lebih lanjut terkait dengan kecepatan penanganan dan perlunya pelatihan lebih banyak pada sejumlah tenaga kesehatan sejalan dengan apa yang dirasakan oleh keluarga selama pasien berada di RS.
Pada saat pasien dalam keadaan kritis, terlihat kepanikan pada tenaga kesehatan di RS. Ia menilai ada ketidaksiapan dari sisi pengetahuan hingga peralatan yang minim.Harapan keluarga saat ini, semua pihak bisa berbenah. Keluarga tidak ingin ada kasus serupa terulang.
Proses hukum juga dipastikan terus berlanjut, orang tua telah memberikan keterangan kepada pihak kepolisian belum lama ini.”Sudah (memberikan keterangan), jadi mereka diperiksa dua kali, hari Rabu dan hari Jumat,” tambahnya.
Terpisah, Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Bekasi masih menunggu hasil audit dari Kemenkes. Namun, Dinkes sejauh ini telah berupaya agar kejadian serupa tidak berulang.
“Seperti tadi lah (kemarin), saya visitasi ke rumah sakit. Jadi sekarang itu ke rumah sakit terutama yang tidak terlewatkan itu kecepatan penanganan itu kan memang terkait dengan proses rujukan itu susah,” kata Kabid Pelayanan Kesehatan (Yankes) Fikri Firdaus.
Kecepatan penanganan pasien ini kata dia, erat kaitannya dengan sulitnya mendapatkan RS rujukan, terlebih RS tipe A. Menjelang akhir pekan kemarin, ia menyebut bahwa seluruh RS di Kota Bekasi telah berkomitmen mengenai proses rujukan.
Kalaupun tidak mendapatkan RS rujukan, atau pasien dalam kondisi non transportable, alternatif yang bisa dilakukan adalah dengan mendatangkan dokter spesialis ke RS tempat pasien di rawat. Hal ini di waktu dekat akan diatur dalam Perda yang tengah disusun oleh Pemkot Bekasi bersama dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).
Mengenai pelatihan kepada tenaga kesehatan, pada masa Pandemi Covid-19 tidak ada pelatihan bagi tenaga kesehatan seperti perawat. Sehingga, Dinkes memberi keleluasaan kepada RS untuk menggelar pelatihan internal. Sertifikasi tenaga kesehatan selama masa Pandemi Covid-19 akan terlihat pada saat kredensial tenaga kesehatan.
Belum lagi, selama kurun waktu 2020 hingga 2022 banyak tenaga kesehatan yang gugur, tenaga kesehatan di RS pun silih berganti.
“Jadi tenaga kesehatannya itu sudah siap, bukan hanya tenaga kesehatannya saja yang di kredensial, perawatnya juga di kredensial. Yang kita hilang pada saat Covid itu adalah proses kredensialnya sendiri untuk tenaga perawat, untuk dokternya masih,” ujarnya.
Terkait dengan tidak adanya SIP salah satu tenaga dokter di RS Kartika Husada Jatiasih, ia menyebut perlu dilakukan klasifikasi lebih lanjut. Pada poin ini, ia tidak banyak berkomentar, menyerahkan pada proses yang saat ini sedang berjalan.
Selagi proses audit berjalan, Dinkes menunggu rekomendasi dari Kemenkes terkait dengan sanksi kepada RS maupun tenaga dokter.”Kemenkes memberikan rekomendasinya ke Dinkes, Dinkes Provinsi, nanti kita yang mengeksekusi,” tambahnya.
Setelah peristiwa yang terjadi di RS Kartika Husada Jatiasih beberapa waktu lalu disebut memberikan pelajaran bagi dunia kesehatan di Kota Bekasi. Setiap aspek layanan kesehatan RS harus dilakukan pengawasan dengan baik, mulai IGD sampai ruang ICU, dari tenaga kesehatan sampai peralatan medisnya.
Seluruh direktur telah dikumpulkan, membuat komitmen agar peristiwa serupa tidak lagi terjadi di Kota Bekasi. Saat Raperda tentang standar minimal kesehatan disahkan menjadi Perda, pihaknya akan segera membuat nota kesepahaman bersama dengan organisasi profesi, asosiasi rumah sakit, dan seluruh RS.
Radar Bekasi telah berusaha untuk meminta jawaban dari RS Kartika Husada terkait dengan hal ini. Namun, pihak RS belum bersedia memberikan jawaban lantaran belum menerima hasil audit. (sur)