Seiring perkembangan zaman, perempuan bekerja sudah menjadi hal yang biasa. Ruang lingkupnya pun semakin luas. Hampir tidak ada profesi yang tidak bisa diperani oleh perempuan.
Namun demikian, kondisi ini tidak serta merta mencerminkan situasi yang setara bagi perempuan dalam peran-peran sosialnya. Pada praktik pembagian peran dalam kehidupan rumah tangga atau yang disebut ranah domestik, perempuan kerap terpaksa tunduk kepada kontruksi sosio kultural patriarki.
Pekerjaan kerumahtanggaan, termasuk pengasuhan anak, secara kultural dianggap sebagai bagian dari tanggungjawab perempuan. Tidak peduli apakah ia juga bekerja di luar rumah dan menghasilkan keuntungan ekonomi bagi keluarga atau tidak.
Berbeda dengan laki-laki yang bekerja, secara kultural dia tidak dibebani dengan urusan-urusan domestik. Kacamata patriarki memang membagi secara tegas peran gender berdasarkan pada jenis kelamin.
Semua hal yang terkait urusan di dalam rumah dilabeli sebagai ranah atau area domestik. Sedangkan semua hal yang dilakukan di luar rumah dalam peran sosial , termasuk untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga (bekerja) disebut area publik.
Ranah domestik dianggap sebagai bagian perempuan dan ranah publik dianggap sebagai wilayah laki-laki.
Peran ganda (dual role) dan beban ganda (double burden) dilekatkan pada perempuan bekerja, manakala keluarga dan lingkungan sosial belum memiliki kesadaran akan kesetaraan gender (gender equality).
Pada satu sisi, perempuan dituntut untuk menyelesaikan tugas dan tanggungjawabnya dalam pekerjaan di ranah publik, dan di sisi lain perempuan harus mampu menjamin bahwa urusan domestik yang dibebankan kepadanya juga terselesaikan dengan baik.
Tanggung jawab di ranah domestik yang sebenarnya bisa dipertukarkan, didistribusikan atau dibagi secara adil, seringkali dianggap hanya sebagai tanggungjawab perempuan dan hal itu diamini sebagai kewajaran kultural.
Bahkan banyak di antara perempuan bekerja, masih menganggap bahwa beban ganda adalah kewajiban yang natural untuk disandang. Padahal beban ganda adalah warisan kultur patriarki.
Dalam berbagai studi dan diskusi, mencuat fakta bahwa persoalan peran dan beban ganda perempuan semakin mengental di masa pandemi Covid-19. Kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di awal pandemi sampai dengan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Mikro yang masih berlangsung saat ini menambah beban perempuan.
Apakah bekerja dari kantor (work from office) atau bekerja dari rumah (work from home), perempuan dihadapkan pada beban pengasuhan anak, pendampingan belajar anak yang belajar di rumah dan tugas-tugas domestik lainnya.
Direktur Keluarga, Perempuan, Anak, Pemuda, dan Olahraga Kementerian PPN/Bappenas Woro Srihastuti menyatakan bahwa perempuan lebih rentan mengalami beban ganda pada masa pandemi Covid-19 jika dibandingkan dengan laki-laki.
Meskipun jumlah laki-laki yang meninggal karena Covid-19 lebih banyak dibandingkan perempuan, tetapi dampak kesehatan mental lebih besar dirasakan oleh perempuan, yaitu 57 persen dan laki-laki 48 persen.
Pendidikan jarak jauh juga meningkatkan intensitas kerja tak terbayar dan menurunkan partisipasi perempuan dalam pekerjaan berbayar. Sebanyak 39 persen dari perempuan yang bekerja memiliki setidaknya satu anak usia Sekolah Dasar.
Tak hanya dari sisi kesehatan dan mental, secara ekonomi perempuan juga lebih dirugikan dengan adanya pandemi Covid-19.
Menurut data Bappenas, perempuan mengalami penurunan pendapatan hingga 72 persen dibanding laki-laki yang hanya 56 persen.
Realita peran dan beban ganda perempuan yang semakin parah terjadi di masa pandemi Covid-19 ini tentunya membutuhkan tindakan afirmatif yang lebih serius dalam implementasinya.
Sejauh ini, bentuk intervensi pemerintah dalam mempercepat tercapainya kesetaraan dan keadilan gender (KKG) adalah dengan membentuk suatu kebijakan yang Strategi Pengarusutamaan Gender disingkat menjadi PUG (Gender Mainstreaming).
Pengarusutamaan Gender (PUG) adalah suatu strategi untuk mencapai keadilan dan kesetaraan gender (KKG). Melalui kebijakan dan program yang memperhatikan pengalaman, aspirasi, kebutuhan dan permasalahan perempuan dan laki-laki. Ke dalam perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi dari seluruh kebijakan dan program di berbagai bidang kehidupan dan pembangunan.
PUG tidak hanya mendorong kepemimpinan perempuan untuk lebih responsif gender, tetapi juga kepemimpinan laki-laki dalam memberdayakan perempuan dan meningkatkan kesetaraan gender.
Pemerintah menerbitkan Inpres No. 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan yang mewajibkan seluruh departemen maupun lembaga pemerintah non departemen di pusat dan di daerah untuk melakukan pengarusutamaan gender dalam kebijakan dan program yang berada di bawah tugas dan tanggung jawab masing-masing.
Pengarusutamaan gender dilakukan dalam seluruh rangkaian kegiatan pembangunan mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pemantuan, hingga evaluasi.
Alur Kerja Analisis Gender, dalam perencanaan yang responsif gender, terdapat tiga tahap utama, yaitu: 1) melakukan analisis kebijakan gender, 2) memformulasi kebijakan yang responsif gender, dan 3) menyusun rencana aksi kebijakan/program/proyek/kegiatan yang responsif gender.
Dengan massifnya penerapan PUG melalui instansi pemerintahan, diharapkan kondisi kesetaraan dan keadilan gender (KKG) dapat tercapai dan dengan sendirirnya problem beban dan peran ganda perempuan dapat teratasi.
Namun faktanya, PUG masih berada dalam taraf teori dan seremonial institusi belaka.
Memang selalu ada laporam dan evaluasi pelaksanaan PUG di setiap instansi pemerintah secara berkala, tetapi bila melihat realita yang berkembang di masayarakat, di mana perempuan masih mengalami kerentanan atas beban dan peran ganda, maka layak dinyatakan bahwa PUG belum optimal dilaksanakan dan belum membuahkan kondisi ideal seperti yang diharapkan.
Dalam buku Pembangunan Manusia Berbasis Gender tahun 2020 yang dipublikasikan oleh Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, terungkap bahwa masih ada kesenjangan yang cukup tajam antara Indeks Pembangunan Manusia (IPM) laki-laki dan IPM perempuan.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), di tahun 2019, IPM Indonesia telah mencapai nilai 71,92 atau kategori tinggi.
Capaian Indonesia pada IPM tahun 2019 ini mendudukkan Indonesia pada peringkat 107 dari 189 negara dan wilayah.
Di tingkat ASEAN, Indonesia masih berada pada peringkat ke-6 dari 10 negara di ASEAN. Jika dipilah berdasarkan jenis kelamin, nilai IPM ini masih menunjukkan kesenjangan pada perempuan, karena IPM perempuan masih tertinggal dibanding laki-laki.
Tahun 2019, IPM perempuan masih berstatus sedang dengan nilai IPM 69,18, tertinggal jauh dengan laki-laki yang telah mencapai nilai IPM 75,96.
Indeks Pembangunan Gender (IPG) merupakan indeks pencapaian pembangunan manusia yang menggunakan indikator yang sama dengan IPM, yaitu 1) umur panjang dan hidup sehat (a long and healthy life) 2) pengetahuan (knowledge); dan 3) standar hidup layak (decent standard of living).
Perbedaan antara IPM dan IPG merujuk pada upaya untuk melihat dan mengungkapkan ketimpangan gender dalam pembangunan. IPG menganalisis dengan menggunakan ratio IPM menurut jenis kelamin sehingga hasil IPG dapat digunakan untuk mengetahui kesenjangan pembangunan manusia antara laki-laki dan perempuan.
Nilai IPG berkisar antara 0-100 (Badan Pusat Statistik, 2020). dan menunjukkan ketimpangan pencapaian pembangunan antara perempuan dan laki-laki dengan interpretasi bahwa ketika angka IPG makin mendekati 100, maka ketimpangan pembangunan gender semakin rendah.
Pemaknaan sebaliknya dapat dilakukan dengan semakin menjauhnya nilai IPG dari angka 100, maka semakin lebar ketimpangan pembangunan gender menurut jenis kelamin.
Tahun 2019, IPG Indonesia telah mencapai angka 91,07 persen. Capaian ini meningkat sebanyak 0,08 poin dibandingkan tahun 2018. Hampir separuh provinsi di Indonesia IPG di bawah angka 90. Provinsi dengan capaian IPG terendah terjadi di Provinsi Papua 80,05 dan Papua Barat 82,74. Beberapa provinsi juga sudah mencapai IPG pada rentang nilai 85-90.
Untuk Gender Development Index (GDI), penghitungan dilakukan untuk 167 negara. Dalam laporan UNDP tahun 2020, capaian nilai GDI Indonesia adalah 0,940 yang diperoleh berdasarkan nilai Human Development Index (HDI) perempuan 0,694 dan HDI laki-laki 0,738.
Nilai GDI Indonesia masih berada di bawah rata-rata negara-negara di Asia Timur dan negara HDI yang berkatageri “tinggi” yang memiliki nilai rata-rata 0,961.
Capaian GDI Indonesia di tahun 2019 menempatkan Indonesia berada dalam kelompok GDI ketiga, setingkat dengan china yang memperoleh GDI 0,957. Meskipun China berada pada tingkat kelompok yang sama dengan Indonesia, namun HDI perempuan di China sudah berada di angka 0,744, sedangkan HDI perempuan Indonesia masih berada di angka 0,694.
Capaian HDI perempuan Indonesia berada paling rendah dibandingkan dengan sejumlah negara tetangga, yaitu Malaysia, Brunai Darussalam, Filipina, Singapura, dan Thailand.
HDI perempuan dari lima negara tetangga sudah mencapai angka di atas 0,700, bahkan Brunai Darussalam mencapai 0.830 dan Singapura mencapai 0,931.
Hal ini menunjukkan urgensi pembangunan perempuan di Indonesia tetap menjadi prioritas agar meningkatkan kualitas pembangunan perempuan dan daya saing diantara negara-negara tetangga.
Program PUG harus terus dilaksanakan secara lebih simultan dengan memaksimalkan keterlibatan elemen-elemen masyarakat sampai ke grass root.
Mengapa? Karena problem ketimpangan gender yang memicu terjadinya peran dan beban ganda perempuan, sesungguhnya adalah problem yang bersumber dari masalah kultural. Budaya patriarki yang sudah terlanjur berurat dan berakar di masyarakat sampai menjadi DNA masyarakat itu.
Dalam penelusuran Gerda Lerner (1986) peradaban sejarah manusia setidaknya bisa dilacak dari kehidupan pertanian zaman neolitikum di Mesir kuno, lembah-lembah sungai di Tiongkok kuno, kemudian di India dan Amerika Tengah, Eropa Utara bahkan hingga ke Malaysia.
Dalam temuan Lerner tersebut, adanya hierarki dan juga kelas pada lembaga-lembaga militer, perbudakan, kepala suku hingga pada produksi dan spesisalisasi kerja di mana jejak patriarki yaitu dominasi pria pada perempuan menguat.
Jejak sejarah yang panjang inilah yang kemudian dianggap seolah-olah pembagian peran antara laki-laki dan perempuan itu secara natural berbeda.
Mengubah budaya yang sudah berabad-abad mengakar secara global tentu bukan tanggung jawab mudah. Namun bila kita menginginkan relasi yang setara antara laki-laki dan perempuan di seluruh lini kehidupan dapat terwujud, maka menjadi sebuah tugas mulia untuk terus menguatkan pemahaman kolektif mengenai kesetaraan gender.
Baik laki-laki maupun perempuan harus sama-sama memahami dan menghayati bahwa hak serta tanggung jawab sebagai manusia tidak mutlak ditentukan oleh jenis kelamin biologis. Hak dan tanggung jawab dapat dipertukarkan dan dinegosiasikan berdasarkan potensi, kompetensi, situasi dan kondisi yang melingkupi dalam bentuk-bentuk relasi yang terjalin antara laki-laki dan perempuan itu sendiri. (*)