Ibarat pepatah, bersakit-sakit dahulu bersenang-senang kemudian. Itulah gambaran untuk menikmati panorama alam bak “surga” di Piaynemo, Raja Ampat. Wisatawan dipaksa menapaki ratusan anak tangga untuk menuju puncaknya.
LAPORAN
ZAENAL ARIPIN
RAJA AMPAT, PAPUA BARAT
Demi mendapatkan spot foto-foto menarik nan eksotik di Raja Ampat, pengunjung harus berusaha ekstra untuk menjangkaunya.
Sedikitnya empat spot yang dapat dikunjungi wisatawan untuk menyaksikan panorama alam dan surga bawah laut di Raja Ampat. Di antaranya Geosite Piaynemo, Teluk Bintang, Snorkeling di Arborek dan menyaksikan Pasir Timbul di lepas pantainya.
Menelusuri empat spot tersebut, dapat dijangkau dalam tempo tujuh jam. Tapi ini belum termasuk perhitungan jarak tempuh dari dermaga penyebrangan di Kota Sorong. Sedikitnya membutuhkan waktu tiga jam untuk mencapai spot pertama di Raja Ampat. Ini hitungan wisata tanpa menginap, berangkat pagi dan kembali sore hari. Bila Anda memiliki cukup waktu, dapat menginap di sejumlah resort di sana.
Rombongan kami memilih wisata Raja Ampat tanpa menginap. Menumpang speedboat yang dinakhodai Rully, warga Sorong. Berangkat pukul 07.30 WIT dari pelabuhan perikanan Usahamina, Sorong. Tiba di spot pertama, Geosite Piaynemo pukul 10.30 WIT.
Untuk mendapatkan foto-foto cantik dan eksotik dengan latar belakang gugusan pulau-pulau dan batu karang, kami harus menapaki ratusan anak tangga. Tepatnya, sebanyak 289 anak tangga.
Pemandu kami, Xavi, warga asal NTT yang sudah 20 tahun menetap di Sorong, mewanti-wanti agar menapaki setiap anak tangga dengan santai dan menjaga kebersihan. “Ke puncak sana ada dua jalur tangga. Bebas pilih mana saja, mau dari kanan atau kiri, jumlahnya sekitar 300 anak tangga,” jelas Xavi.
Dipandu Xavi, kami memulai dari anak tangga di sebelah kiri. Kami menghitung satu persatu anak tangga. Dengan suara keras kami menghitungnya. Satu, dua, tiga, empat, lima, enam, dan seterusnya. Di hitungan anak tangga ke-50 kami beristirahat sejenak. Mengatur nafas, mengelap keringat di wajah, dan minum air mineral dari botol minuman yang kami bawa.
Istirahat pertama, kami bersenda gurau sambil menunggu kawan serombongan yang masih tertinggal di bawah. Lima menit sudah kami mengumpulkan tenaga kembali di sini.
“Tangga-tangga ini dibangun tahun 2017. Terbuat dari jenis kayu besi. Sebelumnya pengunjung harus merayap menapaki karang di sini. Jadi, ini masih lebih aman,” jelas Xavi saat beristirahat.
Setelah rombongan lengkap, kami melanjutkan pendakian ke atas. Ups, ternyata dua orang rombongan kami yang merupakan pasutri berusia 50-an tahun tak sanggup melanjutkan perjalanan ke puncak. Kelelahan dan sakit dengkul. Oke, mereka kembali turun ke bawah sedangkan kami berempat dan Xavi lanjut menuju puncak.
Hitungan anak tangga pun berlanjut. 51, 52, 53, 54, 55…dan seterusnya. Di anak tangga ke 125 kami beristirahat untuk kedua kalinya. Nafas semakin ngos-ngosan. Untuk mengurangi lelah, kami bersenda gurau. Senda guraunya semakin menjadi-jadi. Ada yang membayangkan es kelapa muda, es campur, es teler dan bakso.
“Sabar, sebentar lagi di sana ada es campur, es kelapa, es teler dan bakso. Ayo, semangat!” teriak Maskur Abdullah, anggota rombongan asal Medan usai menenggak air mineral saat istirahat di pos kedua. Kompak kami serempak tertawa terbahak-bahak.
Pendakian kembali berlanjut setelah istirahat hampir sepuluh menit. Menghitung anak tangga dimulai lagi. 126, 127, 128, 129, 130…..Di etape ketiga, jumlah anak tangga yang kami hitung semakin banyak. Tepatnya di hitungan ke-253, kaki semakin gemetar, nafas kian memburu, keringat deras mengucur dari kepala hingga ke anggota tubuh lainnya. Kami pun melepas lelah lagi di pos ketiga.