Berita Bekasi Nomor Satu

Perokok Remaja Bekasi Meningkat

Pemerintah kembali menaikkan cukai tembakau sebesar 10 persen mulai Januari 2024. Foto ilustrasi.

RADARBEKASI.ID, BEKASI – Keberadaan remaja di luar rumah tahun ini akan lebih banyak dibandingkan dengan dua tahun lalu selama pandemi, situasi ini memicu angka perokok dibawah umur meningkat. Meskipun pemerintah telah memutuskan kenaikan Cukai Hasil Tembakau (CHT), cara dan besaran tarifnya dinilai tidak akan signifikan menekan proporsi perokok remaja.

Ada saja alternatif bagi perokok untuk tetap bisa merokok, meskipun harganya dalam beberapa tahun terakhir terus mengalami kenaikan, salah satunya lewat rokok ilegal tanpa cukai. Bagi perokok usia anak, cara untuk tetap bisa merokok pun ditempuh, salah satunya dilakukan secara diam-diam.

Salah satunya dilakukan oleh I (17) warga Bekasi Timur. Dia mengaku melakukan keduanya, membeli rokok tanpa cukai, lalu menikmatinya secara diam-diam. Meskipun mengetahui bahaya dari setiap batang rokok yang dikonsumsi, ia tetap merokok dengan alasan ‘iseng’.

Semua berawal pada saat ia berusia 11 tahun, saat itu duduk di kelas 5 Sekolah Dasar (SD). Dia menjelaskan bagaimana lingkungan memberikan pengaruh besar sehingga menjadi perokok aktif. Saat itu, I mengaku ditawari oleh seseorang yang usianya jauh diatasnya.

“Pertama merokok dapat tawaran dari teman, ditawari dan akhirnya saya hisap. Cuma awalnya saya tidak satu batang nggak sampai habis,” katanya, Minggu (6/11).

Bermula dari tawaran itu, ia mulai menghisap rokok, meskipun hanya sesekali dalam beberapa waktu, menjadi perokok aktif sejak ia menyelesaikan pendidikannya di tingkat menengah pertama (SMP).

Selama menjadi perokok aktif, ia menyebut kedua orang tuanya tidak tahu sama sekali. Ia memang sebisa mungkin menyembunyikan hal ini dari kedua orang tuanya, sesekali ia merokok di rumah saat tidak ada siapapun di rumah.

Untuk bisa tetap merokok dengan ya seadanya, tidak jarang ia membeli rokok ilegal, tanpa cukai, dengan alasan lebih murah dibandingkan dengan rokok bercukai. Selama mengkonsumsi rokok ilegal, ia mengaku tidak peduli dengan rasa dan konsekuensi kesehatannya, baginya yang terpenting tetap bisa merokok.

“Sesuai uang yang saya punya aja, yang penting berasap sih,” tambahnya.

Harga rokok ilegal ini menang jauh lebih murah dibandingkan dengan rokok bercukai, dengan tampilan hampir serupa. Harga yang paling murah ia dapatkan mulai dari Rp8 sampai Rp10 ribu, sementara paling mahal yang pernah ia belum berkisar Rp12 ribu per bungkus, berisi 20 batang rokok.

Tahun depan, masyarakat nampaknya harus merogoh kocek lebih dalam lagi untuk dapat membeli rokok legal, bercukai. Kenaikan rata-rata CHT berkisar 10 persen untuk tahun 2023 dan 2024.

Salah satu tujuan pemerintah menaikkan CHT ini adalah menurunkan proporsi jumlah perokok anak. Selain rokok, kenaikan tarif cukai juga berlaku untuk rokok elektrik dan Hasil Produksi Tembakau Lain (HPTL), masing-masing naik di angka rata-rata 15 dan 6 persen. Jenis tembakau ini akan naik setiap tahun dalam lima tahun ke depan.

“Kita akan menggunakan instrumen cukai dalam rangka mengendalikan konsumsi dari hasil tembakau, yaitu rokok, terutama untuk menangani prevalensi dari anak-anak usia 10 sampai 18 tahun yang merokok, yang dalam RPJMN harus turun 9,7 persen pada 2024,” terang Menteri Keuangan, Sri Mulyani dalam keterangan resmi belum lama ini.

Ia menyebut konsumsi rokok masyarakat miskin cenderung tinggi, berada di posisi kedua setelah beras. Konsumsi rokok di rumah tangga miskin perkotaan mencapai 12,21 persen, sedangkan di pedesaan persentasenya mencapai 11,36 persen.

Berdasarkan data kesejahteraan masyarakat Kota Bekasi tahun 2021, rata-rata pengeluaran perkapita perbulan masyarakat memang menjadi salah satu yang tertinggi setelah makanan dan minuman jadi, kemudian kelompok ikan/udang/cumi/kerang, serta sayur-sayuran. Total pengeluaran dalam sebulan untuk rokok dan tembakau ini mencapai Rp75.985, satu tingkat lebih tinggi dari padi-padian yakni Rp65.631.

Fakta lain mengenai jumlah perokok dan tingkat prevalensinya dapat dilihat dari hasil Global Adult Tobacco Survey (GATS) 2021, bertambah 8 juta perokok dalam setahun. Dalam hasil survei ini ditemukan 19,2 persen pelajar Indonesia adalah perokok.

Keputusan untuk menaikkan tarif CHT selama dua tahun ke depan diprediksi tidak signifikan menurunkan angka prevalensi perokok anak. Persentase kenaikan CHT yang diumumkan oleh menteri keuangan beberapa waktu lalu disebut cukup moderat, baik bagi industri, penerimaan pemerintah dari pajak CHT, serta upaya menekan prevalensi merokok.

“Tapi tidak bisa menekan terlalu tinggi dengan kenaikan 10 persen,” ungkap Direktur Institute for Development of Economics and Finance, Tauhid Ahmad.

Ia mengingatkan bahwa menaikkan cukai rokok hanya salah satu cara untuk menekan prevalensi perokok anak, edukasi adalah cara selanjutnya yang bisa dilakukan, tapi masih lemah. Sisi edukasi mengenai bahaya merokok dan lain sebagainya disebut masih lemah, terutama pada sasaran kelompok dibawah usia 18 tahun.

Pada saat pandemi Covid-19 kata Tauhid, angka prevalensi merokok usia anak turun, aktivitas anak lebih banyak di rumah disebut sebagai faktor yang dominan. Sementara pada saat pembelajaran tatap muka mulai kembali berjalan normal, pengawasan tidak ketat disebut menjadi faktor angka kembali naik.

“Pada waktu pandemi kemarin, karena jarang ketemu mereka di sekolah dan sebagainya, intensitas pergaulan kurang, pengawasan juga di rumah ketat, itu prevalensi turun loh,” tambahnya.

Dari sini regulasi, Tauhid menilai Indonesia membutuhkan regulasi yang mengatur iklan rokok di dunia digital, seperti yang telah diatur di televisi, papan reklame, dan media iklan lain. Iklan rokok di dunia digital kata Tauhid mengalir deras dan tidak bisa dibendung.

Hal serupa juga disampaikan oleh Komisioner Bidang Kesehatan, Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif Komisi Perlindungan Anak Daerah (KPAD) Kota Bekasi, Hadyan Rahmat. Pengawasan anak di luar rumah dan lingkungan sekolah menjadi catatan penting sebelum membicarakan aspek kesehatan.

“Kalau di sekolah ada guru, di rumah ada orang tua, selain dua itu ada siapa?, ini lah yang harus dilakukan. Maka, dibutuhkan kesadaran dan kepedulian lingkungan untuk mengatasi ini,” paparnya.

Peran lingkungan dimana anak-anak berada kata Hadyan merupakan tanggung jawab sosial. Meskipun tidak adanya pencegahan terhadap anak saat membeli rokok, sepenuhnya pedagang tidak bisa disalahkan lantaran terkadang orang tua atau orang dewasa lain meminta anak-anak membeli rokok.

Ada banyak tantangan yang harus dihadapi guna menekan prevalensi perokok anak ini, diantaranya peredaran rokok ilegal dan apatisme lingkungan.

“Semahal apapun harga rokok, selama masih dijual keteng dan kesadaran lingkungan itu lemah, itu akan tetap ada,” imbuhnya. (Sur)