Berita Bekasi Nomor Satu

Tarif KRL ‘Orang Kaya’ Naik

Penumpang KRL di Stasiun Bekasi sebelum stasiun direnovasi.

RADARBEKASI.ID, BEKASI – Tarif Kereta Rel Listrik (KRL) Commuter Line tahun 2023 nanti bakal dibedakan. Harga tiket KRL akan dinaikkan khusus untuk masyarakat yang ekonominya tergolong mampu alias ‘orang kaya’. Hal ini agar pemberian subsidi untuk tarif KRL bisa tepat sasaran.

Ya, selama ini tarif penumpang KRL masih disubsidi oleh pemerintah. PT Kereta Commuter Indonesia (KCI) atau KAI Commuter mencatat, pada 2021 realisasi subsidi tarif pengguna KRL dalam bentuk Public Service Obligation (PSO) mencapai Rp 2,14 triliun.

Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi mengatakan agar subsidi tepat sasaran, maka diperlukan skema yang tepat. Salah satu caranya, akan ada kartu baru yang diterbitkan untuk membedakan profil penumpang KRL. Sebab seharusnya, penumpang mampu tak ikut menikmati subsidi karena tarif asli KRL saat ini di atas Rp10.000.

“Kalau semua subsidi akhirnya didapat kepada masyarakat yang membutuhkan, contoh di Jakarta kita gunakan KRL hanya (sekitar) Rp 4.000, itu cost-nya mungkin Rp 10-15 ribu yang sebenarnya,” kata Budi Karya dalam konferensi pers di kantornya.

Perubahan tarif KRL nantinya lewat skema subsidi tepat guna via tiket kartu.” Kalau KRL nggak naik, Insya Allah 2023 tidak naik. Tapi, nanti pakai kartu, yang kemampuan finansialnya tinggi harus bayar lain. Average, sampai 2023 nggak naik,” ujar di Jakarta, Rabu (28/12/2022).

Direktur Jenderal Perkeretaapian Kemenhub Mohamad Risal Wasal menjelaskan, pembayaran tarif KRL via kartu ini nantinya akan diterapkan lewat skema subsidi terbatas. “Kalimatnya (tarif KRL) tidak naik, tapi subsidi tepat sasaran,” tegas dia.

Rencana perubahan tarif KRL ini juga dikritik oleh Ekonom Center of Economics and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira. Ia menilai pendataan pengguna KRL berdasarkan pendapatan akan bermasalah.

“Data pajak untuk mendorong kepatuhan orang kaya saja masih sulit, apalagi kategori pengguna KRL berdasarkan pendapatan, pasti bermasalah,” ungkapnya.

Lebih dari data, kebijakan ini juga dinilai tidak tepat ditengah kenaikan BBM dan komitmen pemerintah untuk transisi energi menuju ke kendaraan listrik yang lebih hemat emisi.

Seharusnya kata dia, subsidi sektor transportasi publik ditambah, bahkan pemerintah memberikan diskon kepada semua golongan masyarakat. Kebijakan ini telah dilakukan oleh banyak negara untuk menggiring masyarakat beralih ke transportasi publik.

“Sementara orang kaya di Urban, itu dikurangi subsidinya untuk naik KRL, itu yang akan jadi pertanyaan besar. Sebenarnya arah transportasi publik ini tidak jelas arahnya mau kemana,” tambahnya.

Sedangkan, pemerintah kata Bhima mensubsidi pembangunan kereta cepat Jakarta Bandung yang cenderung akan digunakan oleh golongan masyarakat menengah ke atas melalui APBN.

Belum lagi ancaman masyarakat berpindah dari transportasi publik ke kendaraan pribadi. Dengan kata lain, masyarakat mampu didorong untuk memiliki kendaraan pribadi sebanyak-banyaknya, menjadi penyebab utama kemacetan.

Salah satu pengguna Commuter Line (KRL), Ria (24) meminta, jika tarif tiket dibedakan maka data dapat dipastikan akurat, serta sistem untuk menjalankan kebijakan ini sudah matang saat diberlakukan. Dia khawatir akan membingungkan pengguna KRL jika sistem belum benar-benar siap.

Menurutnya, tarif yang berlaku selama ini dinilai sudah pas untuk semua lapisan masyarakat. Jika tarif dinaikkan dan terpaut jauh hingga dua kali lipat, warga dengan kategori mampu dikhawatirkan berpindah menggunakan kendaraan pribadi.”Mungkin dari segi harganya, kalau perbedaannya nggak terlalu jauh sih kayaknya nggak ada masalah,” tambahnya.

Tak hanya tarif KRL, kebijakan serupa juga akan diterapkan di sejumlah bidang di tahun 2023 nanti. Seperti pembatasan pembelian Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi, LPG bersubsidi hingga jaminan kesehatan (BPJS).

Kabar terbaru pembatasan pembelian BBM jenis Pertalite dan Solar masih menunggu revisi Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 191 tahun 2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian dan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak (BBM) diterbitkan. Pembatasan ini ditujukan agar BBM bersubsidi tepat sasaran, konsumen yang dapat membelinya pun akan diatur secara spesifik.

Sementara terkait dengan jaminan kesehatan BPJS untuk ‘orang kaya’, jaminan kesehatan negara ini akan bekerjasama dengan jaminan kesehatan swasta lewat skema public private partnership. Menteri Kesehatan (Menkes), Budi Gunadi Sadikin dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) di Komisi IX DPR RI beberapa waktu lalu mengatakan, hal ini dilakukan supaya pembayaran BPJS Kesehatan bisa diprioritaskan kepada masyarakat tidak mampu.

Terkait dengan data masyarakat miskin, data yang digunakan sebagai dasar selama ini oleh pemerintah adalah Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS), dan database Per sasaran Percepatan Penghapusan Kemiskinan Ekstrem (P3KE).

Dalam praktiknya di Kota Bekasi, terdapat permasalahan yang harus diselesaikan oleh pemerintah. Terkini, DTKS digunakan sebagai dasar dalam pembagian Bantuan Langsung Tunai yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).

Di lapangan, data ini mendapat kritik dari anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), ditemukan data KPM yang sudah meninggal dunia, pindah tempat tinggal, hingga masyarakat yang tingkat ekonominya mampu. Pemerintah Kota Bekasi didorong untuk melakukan perbaikan DTKS.

“Harus bisa terkoreksi tuh, kalau datanya itu terkoreksi dengan baik, apapun nanti program terkait dengan BLT, pasti akan tepat sasaran,” kata Anggota Komisi IV DPRD Kota Bekasi, Latu Har Hary belum lama ini.

Sementara itu, respon masyarakat Kota Bekasi terhadap rencana pengetatan distribusi barang bersubsidi juga meminta data dapat dipastikan akurat. Salah satunya disampaikan oleh Ketua UMKM Cluster Makan dan Minum (Mamin) Kota Bekasi, Afif Ridwan saat merespon rencana pembatasan pembelian LPG 3 KG.

Afif meminta pelaku UMKM, terutama mikro, dapat dipastikan masuk dalam daftar konsumen LPG 3 kg. Beban ekonomi yang semakin berat, hingga nyaris tidak ada bantuan subsidi yang diterima oleh pelaku usaha mikro menjadi alasan kuat.

“Jadi jangan juga dijadikan dalih bahwa pengusaha mikro itu orang yang diatas garis kemiskinan. Mereka kan nyaris tidak pernah dapat subsidi apapun dari pemerintah untuk kegiatan mereka,” ungkapnya.(sur/net)


Solverwp- WordPress Theme and Plugin