Berita Bekasi Nomor Satu
Opini  

Menelisik Skandal ”Running Text” di Bekasi

A.A. Ariwibowo

Oleh A.A. Ariwibowo (*)

Menggunakan tanda seru, dengan latar merah, terbaca lima kata sarat cibiran bahkan dekat-dekat dengan pesan bernada main kayu. Tudingan jelas-jelas mengarah kepada pribadi yang sekarang ini diberi mandat menjalankan roda pemerintahan kota Bekasi.

Terbaca dalam running text “Plt Wali Kota Bekasi Bobrok”. Terpampang di dua lokasi layanan masyarakat, yakni Asrama Haji Bekasi, dan RSUD Tipe D Bantargebang, Kota Bekasi pada Kamis (25/5/2023) malam.

Warganet sontak heboh. Aneka reaksi berhamburan memenuhi jagat media sosial, dari nada menyelidik sampai nada menaruh sak wasangka. Jari-jari warganet menari di perangkat gadget mengirim aneka tanggapan layaknya obrolan warung kopi di sejumlah kawasan di Bekasi.

BACA JUGA: Senggol FIFA Berujung Nestapa

Bagaimana tidak heboh? Kata “bobrok” dipilih kemudian disematkan pengirim pesan tentu bukan tanpa maksud. Bobrok bersinonim dengan aib, kebejatan, keburukan, kebusukan, kenistaan. Bobrok berkaitan dengan mutu perilaku seseorang atau kelompok, dan bersinggungan dengan kemerosotan, kemunduran, dan kerusakan adab.

Setelah membaca arti dan persamaan katanya, sontak warganet mengajukan pertanyaan, siapa pengirim pesan itu?  Tidak bisa dibiarkan itu terjadi, bahkan boleh dibilang kasus “running text” di Bekasi itu dapat saja disebut skandal.

Skandal, dalam bahasa Yunani: skandalon, artinya jerat, perangkap, perbuatan yang memalukan dan tersebar luas menjadi pembicaraan umum.

BACA JUGA: Kasus Mario Dandy: Netizen Merujak dan Meradang

Disebut skandal, karena isi “running text” itu terang benderang hendak mengirim pesan bahwa seakan-akan cibiran bobrok yang dilekatkan kepada Plt Wali Kota Bekasi, Tri Adhianto merupakan satu-satunya cara menyampaikan kritik di alam demokrasi yang menghormati perbedaan pendapat.

Menelisik pemilihan kata bobrok bisa saja menunjuk kepada mesin birokrasi yang sekarang dijalankan Plt Wali Kota Bekasi. Ini karena tersemat dan terpampang di Instansi Pemerintah di Kota Bekasi Merajalela, dan RSUD Bantargebang.

Lima kata itu dapat disebut sebagai pesan negatif. Sama dengan pernyataan, “Anda tidak lulus”, “Permohonan dana Anda untuk perbaikan rumah ditolak”, “Ternyata Anda Mengalami Covid-19”.

BACA JUGA: Erick Thohir, Sepak Bola dan Politik

Untuk pesan-pesan semacam itu, penggunaan bahasa kasar kerapkali merupakan pilihan yang dianggap terbaik. Pengirim pesan beranggapan bahwa mengirim pesan kasar dianggap cara terbaik dalam berkomunikasi. Mengapa?

Pengirim pesan itu beranggapan bahwa kodrat manusia dilahirkan dengan sifat tidak ramah. Boleh jadi dia mengatakan, tidak mungkin menghilangkan bahasa kasar dalam komunikasi pergaulan antar pribadi. Meniadakan penggunaan bahasa kasar sama saja dengan meniadakan kebutuhan manusia untuk makan dan minum.

Penggunaan bahasa kasar dapat menghalau bahkan menekan naluri berbuat tindak kekerasan. Ini ditulis oleh pengamat komunikasi Garry Spence dalam bukunya “How to Argue and Win Every Time (Kiat-kiat Berargumentasi dan Memenangkannya).

Ia menulis, manusia seseungguhnya spesies terbelakang. Dalam berbagai hal, manusia tetaplah bersikap kasar bahkan kejam. Saat dihadapkan kepada serangan, atau saat ingin memperoleh sesuatu, yang dilakukan manusia justru melakukan kekerasan (dengan menggunakan kata-kata).

Skandal “Running Text” di Bekasi merujuk kepada peretas atau pengirim pesan yang ingin memperoleh sesuatu. Latar belakangnya? Ia ingin menunjukkan keberadaan dirinya, eksistensi dirinya, meskipun menggunakan pilihan kata bobrok yang dialamatkan kepada Plt Wali Kota Bekasi.

Peretas dan pengirim pesan kasar, di mata psikolog Suzette Haden Elgin dalam buku berjudul How to Disagree Without Being Disagreeable (Menyatakan Perbedaan Pendapat Secara Elegan), dapat dikategorikan menjadi tiga tipe.

Tipe pertama, kelompok atau perorangan yang tidak menyadari, bahwa sebenarnya ada metode atau alternatif lain – selain bahasa kasar – untuk merespons atau menanggapi perbedaan pendapat.

Tipe kedua, kelompok atau perorangan yang mengganggap penggunaan bahasa kasar merupakan kebutuhan pribadi untuk menciptakan dan memperoleh rasa senang atau puas. Mereka ini tidak memahami cara lain yang dapat dipakai untuk memenuhi defisit dalam kebutuhan pribadinya itu.

Tipe ketiga, kelompok atau perorangan yang mengganggap penggunaan bahasa kasar merupakan kebutuhan pribadi untuk memperoleh perhatian dari orang lain. Mereka ini tidak memahami cara lain yang dapat diterapkan untuk mengisi dan memenuhi kebutuhan ini.

Boleh jadi pengirim pesan “running text” mengidap defisit penghargaan diri. Bicara penghargaan diri, psikolog Abraham Maslow berpendapat, penghargaan diri menghasilkan dampak psikologis berupa rasa percaya diri, bernilai di hadapan orang lain, dan menjadi orang yang berguna bagi sesamanya.

Orang yang memiliki penghargaan diri cenderung lebih optimistis, tidak suka mencibir dan melontarkan kata-kata kasar dalam pergaulan. Sebaliknya, tidak terpenuhinya kebutuhan penghargaan diri menghasilkan perasaan minder, putus asa, depresi, mudah tersulut amarah kemudian bersikap “lempar batu sembunyi tangan”.

Orang yang mengidap krisis penghargaan diri kerapkali menempuh jalan pintas dengan menutup dialog. Kata dialog dipilih lantaran pengirim pesan lebih menyandarkan diri kepada agresivitas ketimbang berpikir jernih.

Sikap agresif, baik dalam berperilaku maupun berkata-kata – merupakan reaksi terhadap frustrasi, atau ketidakmampuan memuaskan kebutuhan-kebutuhan psikologis dasar, bukan karena naluri.

Bukan tidak mungkin, pengirim “Running Text” di Bekasi, berciri pribadi yang mengalami minder, putus asa, depresi, mudah tersulut amarah kemudian bersikap “lempar batu sembunyi tangan”. Dia pribadi anti-dialog, karena dirinya frustrasi.

Post-Truth mendifinisikan hal itu sebagai fenomena yang berusaha mengeliminasi pertimbangan rasional kemudian menggantikannya dengan persepsi. Kredo Post-truth: Tidak ada fakta, yang ada (hanyalah) interpretasi. Seribu satu macam interpretasi boleh-boleh saja dilontarkan. Nilai kebenarannya tidak menyertakan verifikasi terhadap fakta.

Pengirim pesan yang menggunakan kata bobrok itu, menggusur pertimbangan rasional demi memenuhi luapan emosi, bahkan melakukan kebohongan (falsehood). Kebohongan dapat diartikan sebagai sesuatu yang tidak benar dikatakan demi menutupi kesalahan. Ketidaktahuan yang disengaja tetapi tetapi disebarkan.

Bagaimana menyikapi skandal Running Text di Bekasi itu? Sejarawan Yunani klasik Herodotus menulis, “…Histiaeus mengirim surat ke bebrapa warga Persia di Sardis. Namun (pembawa pesan) tidak memberikan suratnya kepada orang yang sebenarnya, tetapi justru kepada Artaphrenes.”

“Setelah mengetahui semuanya, Arthaphrenes memerintahkan (pembawa pesan) untuk mengambil surat itu dan mengirimkan sesuai dengan perintah Histiaeus.” Arti tulisan itu, bahwa waspadalah dengan segala bentuk kecerobohan pengiriman pesan, karena di dalamnya ada kawan serentak lawan.

Ini karena Histiaeus mengecewakan para penjaganya. Akibatnya, mereka berkhianat kemudian dengan sangaja menyasarkan pesannya itu ke gubernur Persia, Artaphrenes, orang yang ingin disingkirkan Histiaeus.

Pesan dari skandal skandal Running Text di Bekasi, bahwa dalam lingkungan yang sarat bermusuhan – menjelang tahun politik – pastikan bahwa segala pesan yang ingin Anda sampaikan benar-benar dikirim dan diterima oleh pihak yang Anda anggap layak.

Petuah Jawa berujar, Ngunduh wohing pakarti, yang artinya (orang) pada saatnya memetik hasil perbuatannya. (***)

 

(*) Wartawan LKBN Antara, 1991-2021

Staf pengajar Lembaga Pers Dr. Soetomo (LPDS)