Berita Bekasi Nomor Satu
Opini  

Kasus Mario Dandy: Netizen Merujak dan Meradang

A.A. Ariwibowo

Oleh A.A. Ariwibowo (*)

Jagat media sosial sontak heboh lantaran terpicu kasus penganiayaan yang dilakukan Mario Dandy Satrio alias MDS. Netizen bermanuver sat-set dengan melontarkan aneka komentar, dari mencibir sampai mencerca.

Layaknya palu godam menghantam ubun-ubun bagian kepala. Dengan kata-kata beraneka nuansa, warganet meradang, netizen merujak.

Mengapa dipakai pilihan kata merujak? Ini toh, menyeret-nyeret rujak sebagai hidangan salad buah dan sayuran tradisional Jawa.

Tidak dirinci dan dijelaskan jenis rujak mana yang dimaksudkan, karena tersedia berbagai ragam rujak, salah satunya rujak buah yang merupakan campuran irisan buah dan sayuran disajikan dengan saus gula aren pedas. Rasanya: manis bercampur pedas.

BACA JUGA: Erick Thohir, Sepak Bola dan Politik

Netizen merujak – kata dasar rujak – dengan menggunakan kata-kata untuk merespons kasus penganiayaan yang dilakukan MDS. “Janganlah karena sibuk berbisnis membuat kita lupa mendidik anak menjadi manusia,” tulis warganet Adiwina*** yang dikutip dari ulasan foto Google Resto Bilik Kayu.

Kasus penganiayaan yang dilakukan MDS diprediksi berjilid-jilid layaknya cerita silat bersambung dengan adegan heroik. Salah satunya, restoran yang menyajikan aneka kuliner yang diduga milik ibu Mario Dandy bernama “Bilik Kayu” yang berlokasi di Kawasan Timoho, Kota Yogjakarta, pada pekan ini diserbu ulasan bernada manis pedas ala netizen.

Hidangan rujak kata-kata bertambah manis dan pedas dengan mengaitkan sanksi sosial. “Sanksi sosial emg mengerikan, maaf saya gak bisa kasih ikut2 bintang 1, semoga ini bisa jadi pembelajaran aja kalau di dunia jangan merasa paling kuat atau punya kekuatan, sejatinya kita makhluk yg akan berakhir di dalam tanah tanpa membawa apa2,” tulis akun Herman***.

“Deket rumah, baru mo mampir tapi ga jadi takut ditendang pala gw,” kata Heru Sular*** menambahkan. Komentar mengaitkan efek “ditendang kepala gw”. Dikesankan bahwa kepala nyut-nyutan lidah bergoyang setelah melahap rujak manis pedas.

Rujak merupakan simbol dari manusia yang memproduksi dan menggunakan bahasa untuk berkomunikasi. Lewat media sosial, netizen atau warganet mempersepsikan kenyataan bahwa terjadi penganiayaan yang dilakukan MDS.

Apa itu bahasa yang digunakan netizen untuk merujak MDS? Dalam khasanah filsafat bahasa, para filsuf berkutat dengan pendapat pro dan kontra. Mereka berdebat seputar hakekat dari bahasa. Hemat mereka, bahasa memiliki aspek rangkap dua yakni dipengaruhi dan mempengaruhi hidup manusia.

Bahasa merupakan alat berkomunikasi. Netizen bersekutu bahkan bersepakat dalam bahasa bahwa kasus penganiayaan yang dilakukan MDS layak dibuat manis pedas, atau layak diangkat sebagai ekspresi dari perasaan pedih lantaran menoreh rasa kemanusiaan.

Dengan meminjam kata rujak yang dipungut dari keragaman kuliner tradisional Indonesia, netizen mencetuskan buah pikiran dalam ekspresi dari kultur. Artinya, warganet memunculkan kepedihan dari korban penganiayaan yang dilakukan MDS lewat struktur bahasa via media sosial.

Lewat ekspresi di media sosial itulah warganet mengajak warga masyarakat bercermin serentak belajar berhikmat dengan rentetan pertanyaan mendasar: siapakah manusia sebenarnya? Dari mana manusia datang? Ke mana manusia pergi pada akhirnya? Untuk apa manusia ada di dunia ini?

Ekspresi warganet lewat media sosial mencerminkan manusia yang merasa heran kemudian mengajukan pertanyaan. Netizen diinspirasi bahkan “disihir” oleh tokoh filsafat Descartes atau Cartesius yang mengungkapkan “Cogito” (Aku berpikir). Netizen melontarkan kata merujak – merespons penganiayaan yang dilakukan MDS – karena mereka berpikir.

Berkaca dari kasus penganiayaan yang dilakukan MDS, warganet mengimbau kepada masyarakat agar memahami dan memandu dirinya dengan memegang kredo: aku berada di dunia bersama dengan sesama. Mengapa seseorang menganiaya sesamanya? Apakah pelaku penganiayaan memang lemah berpikir dan lemah kehendak?
Filsuf Yunani klasik, Platon berpendapat orang yang lemah kehendak cenderung terjatuh bahkan terjerumus dalam tindakan atau perilaku yang ia sendiri tahu tidak baik untuk dilakukan.

Menganiaya sesama itu sungguh perilaku tidak baik, tetapi pelaku seakan berkata dalam hati, “kehendakku memang lemah, karena meskipun aku tahu apa yang harus dibuat, aku malah melakukan sebaliknya”.
Artinya, orang merasa tidak berdaya bahkan pikirannya sendiri tidak berdaya untuk menjadi penguasa dalam diri sendiri, demikian tulis staf pengajar STF Driyarkara, Dr Setyo Wibowo dalam buku berjudul Xarmides – Platon, Keugaharian.

Apa gunanya tahu, kalau tidak berpengaruh apa-apa dalam kehidupan? Diperlukan kemampuan mengendalikan diri. Bila seseorang salah didik (bad breeding) dan bergaul secara keliru – sehingga rasio dikalahkan oleh nafsu – maka orang bisa jadi berperilaku sembarangan dan tidak mampu menguasai perilakunya. Mengapa?

Netizen merujak di media sosial. Artinya, media sosial yang merupakan anak kandung dari Teknologi Informasi menghadirkan berbagai pesan yang beragam dan lugas.

Di satu sisi, warganet dapat mengirim informasi atas nama siapa saja dan dari mana saja, tanpa memiliki posisi yang terang benderang, karena memang tujuannya sekadar berkomentar.

Di lain sisi, warganet yang bebas mengomentari apa saja di ruang medsos, bersiap-siap dituding sebagai kelompok yang tidak memiliki komitmen, karena sekedar ikut mencemplungkan diri atau sebatas mengomentari saja. Inilah sisi ambigu atau mendua dari media sosial.

Ujaran merujak untuk merespon kasus penganiayaan yang dilakukan MDS bisa tergulung dalam arus deras informasi di era media sosial yang gegap gempita. Perlu pengawalan ekstra dari seluruh penggawa yang aktif di medsos karena dunia informasi yang berlari tunggang langgang cenderung cepat lupa.

Jagat pembaca sekarang ini cepat beralih ke topik yang lebih seksi misalnya tiga S (Sex, Sun, Sport). Topik seks, seputar perselingkuhan sana-sini; topik Sun, mengulas pesona pariwisata; topik Sport, menyajikan aneka prestasi di gelanggang olah raga.

Ini berpadanan dengan jumlah, tabiat, dan dampak yang dirasakan pembaca di era medsos, yakni sekedar menonton sajian berbagai konten yang memicu rasa ingin tahu, mengabaikan kepekaan dari sentuhan rasa kemanusiaan.

Dampak kicauan warganet semakin menguat seiring tren pengguna internet yang setiap tahun terus meningkat di Indonesia.

Laporan We Are Social mencatat, jumlah pengguna internet di Indonesia mencapai 212 juta pada Januari 2023 atau sekitar 77 persen dari populasi penduduk Indonesia. Dibanding tahun 2022, peningkatan jumlah pengguna internet itu mencapai 3,85 persen.

Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) mengungkap bahwa kelompok usia produktif adalah mayoritas pengguna layanan ini. Kelompok tersebut terbagi menjadi usia 13-18 (99,16 persen) dan usia 19-34 (98,64 persen). Dari sebaran wilayah itu, hampir semua wilayah Indonesia merasakan konektivitas internet.

Data APJII mengungkap bahwa pengguna internet terbanyak masih didominasi oleh penduduk yang bermukim di Pulau Jawa. Artinya, seluruh informasi disediakan untuk dibagikan secara merata dan meluas di kelompok usia produktif. Mereka mengonsumsi ungkapan bahwa tidak ada takaran penting atau tidak penting karena kredo di medsos yakni tidak ada beda antara “yang penting” dengan “tidak penting”. Akibatnya, publik terlibat percakapan semu karena hanya meneruskan kata-kata atau komentar, asalkan bisa menjadi bukti bahwa dirinya menjadi bagian dari riuh percakapan di medsos, demikian tulis Karlina Supelli dalam artikel berjudul Ruang Publik Dunia Maya.

Aneka komentar yang merujak kasus penganiayaan yang dilakukan MDS bisa jatuh terjerambab dalam pemberdayaan semu bagi peningkatan gizi kecerdasan warga masyarakat, utamanya bagi kelompok usia 13-18, dan usia 19-34 (98,64 persen). Ini bisa terjadi bila orang mengira bahwa opini dan komentar yang mereka lontarkan dan sebarkan berdampak luas, padahal semuanya itu cuma mengambang di ruang maya.

Pemikir Austria, Gottlob Frege (1848-1925) mengatakan, “…dalam berpikir kita tidak menghasilkan makna, melainkan kita merengkuhnya. Sebab, apa yang aku sebut dengan makna sangat dekat dengan kebenaran…Apa itu fakta? Fakta adalah makna yang pada dirinya benar.”

Pepatah Latin klasik menyebutkan, “Verba docent, exempla trahunt”, yang artinya, kata-kata itu mengajarkan, teladanlah yang membimbing. (#)

(*) Penulis wartawan Kantor Berita Antara (1991-2021), staf pengajar Lembaga Pers Dr. Soetomo (LPDS) dan penulis dua buku “Maniak Bola” dan “Kerja, Kerja, Kerja”.


Solverwp- WordPress Theme and Plugin