Berita Bekasi Nomor Satu
Opini  

Senggol FIFA Berujung Nestapa

A.A. Ariwibowo

 

Oleh A.A. Ariwibowo (*)
POLEMIK soal keikutsertaan Israel dalam Piala Dunia U-20 yang akan digelar di Indonesia pada Mei 2023 mengundang beragam argumentasi sejarah yang menyenggol eksistensi FIFA sebagai federasi internasional sepakbola sejagat.

Federation Internationale de Football Association (FIFA) menguasai dan memiliki kedaulatan atas olahraga terpopuler di bawah kolong langit ini.

Saat merespons keikutsertaan Israel dalam Piala Dunia U-20, argumentasi sejarah dilontarkan para pejabat publik, elit politik, tokoh agama dan praktisi olahraga. Mereka berujar dan berkomentar di berbagai media sebagai manifestasi dari kebebasan dan kemerdekaan di ruang ruang publik.

BACA JUGA: FIFA Resmi Batalkan Drawing Piala Dunia U-20 di Bali

Argumentasi mendemonstrasikan bahwa sesuatu itu memang benar. Argumentasi bukan persuasi.

Persuasi merupakan upaya verbal atau nonverbal untuk mempengaruhi opini lewat kata-kata dan rentetan kalimat yang menyentuh rasa bersalah, bersetuju, bahkan berprasangka.

Contoh, di atas podium, sang pemodal berujar dengan lantang di hadapan anggota masyarakat yang menentang pembangunan real-estate, “Kalau Anda semua ingin kaya, maka terimalah dan bergabunglah bersama kami, memberi ijin pembangunan real-estate. Ini untuk kesejahteraan kita semua.”

BACA JUGA: Erick Thohir, Sepak Bola dan Politik

Persuasi membutuhkan teknik membujuk, mengandalkan trik bahasa, dan memerlukan “keberanian” berbohong. Seluruh teknik persuasi itu tidak dapat membuktikan apa-apa, alias jauh panggang dari api, atau pepesan kosong belaka.

Argumentasi sang pemodal bakal lurus, bila ia menyatakan pembangunan real-estate bakal menyediakan lapangan pekerjaan, mengatrol pendapatan warga masyarakat dan memperhatikan Analisis Dampak Lingkungan (AMDAL).

Persuasi bertambah nyaring manakala dibumbui dan dibelokkan argumentasi sejarah. Misalnya, pembangunan real estate merujuk kepada sederet peristiwa “tempo doeloe”.

BACA: Timnas Israel Dibolehkan Indonesia Tampil di Piala Dunia U-20, Begini Sikap Palestina

Persuasi – bukan argumentasi – terasa kental manakala para pejabat publik, elit politik, tokoh agama dan praktisi olahraga menyatakan penolakan terhadap Israel pernah dilakukan oleh Presiden pertama Indonesia, Soekarno saat gelaran Asian Games IV pada 24-31 Agustus 1962.

Pada 1957, Indonesia lolos dari babak pertama Kualifikasi Piala Dunia 1958 setelah Taiwan mengundurkan diri.

Kala itu Indonesia berada satu grup dengan China setelah Australia juga mundur. Indonesia menghadapi China. Alhasil, Indonesia meraih kemenangan dan berhak melaju ke babak playoff.

BACA JUGA: Membangunkan Raksasa Tidur

Kisruh dimulai, karena Indonesia ternyata harus melawan Israel di babak playoff. PSSI meminta laga lawan Israel digelar di tempat netral namun usulan itu ditolak FIFA. Indonesia pun akhirnya memutuskan mundur.

Penolakan Indonesia terhadap Israel kembali terjadi pada Asian Games 1962. Saat itu Indonesia mendapat kesempatan menjadi tuan rumah untuk pertama kali.

Pemerintah Indonesia memutuskan tidak memberi visa kepada atlet Israel yang saat itu masih berkompetisi di Asia.

BACA JUGA: Bekasi, Antara Harapan dan Kenyataan

Sebagai konsekuensi atas keputusan tersebut, Indonesia harus membayar denda kepada Komite Olimpiade Internasional (IOC).

Polemik soal keikutsertaan Israel dalam Piala Dunia U-20 pada Mei 2023 juga dikumandangkan, bahwa FIFA mencoret Rusia dari Piala Dunia Qatar 2022 karena negeri Beruang Merah itu menginvasi Ukraina.

Sederet argumentasi historis itu berhadapan dengan pertanyaan menggelitik, apakah sejarah tidak lain adalah puisi?

BACA JUGA: PSSI dan FIFA Bungkam Soal Pembatalan Undian Piala Dunia U-20

Jawabannya, sejarah tidak boleh dipahami secara sepotong-potong, malainkan dalam seluruh konteksnya yakni kehidupan masyarakat sejaman.

Mengutip filsuf dan esais Spanyol, Jose Ortega Y Gasset (1883-1955), masyarakat tempat manusia hidup sudah memiliki interpretasi yang dapat disebut sebagai “pikiran jaman’ (the thought of time), “semangat jaman” (spirit of time), atau “the world in force”.

Pikiran jaman menyelimuti, menyelubungi, meresapi dan membawa seseorang atau sekelompok warga masyarakat untuk mencari sendiri jawaban orisinal yang perlu memperhitungkan pengaruh dari semangat jaman. Ini terlihat pada bahasa yang digunakan.

BACA JUGA: Membaca Arah Angin Muhammadiyah

Bagi Ortega, ilmu sejarah selayaknya menelaah struktur atau plot drama yang dilakoni oleh manusia dan dunia. Masalah ilmu sejarah bukan lagi bagaimana manusia satu sama lain berbeda melainkan bagaimana struktur kehidupan itu bisa bermacam-macam.

Pertanyaan mendasar, bagaimana, kapan, dan mengapa ziarah kehidupan berubah dan bermacam-macam?

Berangkat dari pertanyaan mendasar itulah, sederet persuasi – bukan argumentasi – yang dilontarkan oleh para pejabat publik, elit politik, tokoh agama dan praktisi olahraga saat merespons soal polemik seputar keikutsertaan Israel dalam Piala Dunia U-20 pada Mei 2023, perlu menimbang dan memperhatikan pikiran jaman, semangat jaman, atau konteks sejaman.

BACA JUGA: Yourway Myway

Di mata Ortega, hidup disebut sebagai drama. Drama bukan sesuatu yang statis, melainkan dinamis. Tanpa hidup, tidak ada drama kehidupan. Aksi hakiki dalam drama adalah kehendak untuk terus hidup.

Nah, sederet argumentasi kehendak untuk terus hidup itu melandasi alasan untuk mendukung Piala Dunia U-20 2023 di Indonesia.

Tekad Indonesia untuk memperjuangkan tanah rakyat Palestina yang saat ini diduduki oleh Israel tidak seharusnya dihubungkan dengan ajang olahraga.

BACA JUGA: Jakob Oetama

“Apakah Indonesia dapat tetap menjadi tuan rumah dengan mensyaratkan ketidakhadiran Timnas U-20 Israel? Jawabannya adalah Tidak’,” kata Guru Besar Hukum Internasional UI, Hikmahanto Juwana.

Kehendak untuk terus hidup khas Ortega inilah yang melandasi lima fakta.

Pertama, FIFA memiliki sistem hukumnya sendiri dan berdaulat penuh. FIFA memproklamasikan diri sebagai institusi sepakbola mundial yang tidak boleh diintervensi oleh siapa pun, termasuk oleh negara, sebagaimana dinyatakan dalam Statuta FIFA.

BACA JUGA: Ulang Tahun

Kedua, FIFA berupaya menciptakan perdamaian dan ketertiban dunia melalui sepakbola dengan mengumandangkan slogan “For the Game For the World“.

FIFA memiliki dan melandaskan sikap dengan memproklamasikan bahwa “our core values of authenticity, unity, performance and integrity are the very heart of who we are“.

Ketiga, tidak ada pertandingan sepakbola jika tidak ada the Laws of the Game. Artinya, negara tidak mempunyai kewenangan dalam memastikan dan menjalankan the Laws of the Game, karena the Laws of the Game bukanlah sistem hukum yang diciptakan oleh negara, tulis Hinca IP Pandjaitan dalam buku Kedaulatan Negara vs Kedaulatan FIFA.

BACA JUGA: Piala Dunia U-20 di 6 Stadion Bakal Pakai VAR, Ketum PSSI Bilang Begini

Keempat, intervensi oleh negara terhadap otoritas dan kewenangan FIFA dalam pengelolaan, penyelenggaraan dan penyelesaian sengketa pertandingan sepakbola menimbulkan akibat hukum bagi asosiasi sepakbola negara itu.

Kelima, FIFA sama sekali tidak mengakui aktivitas asosiasi sepakbola negara yang melakukan intervensi, karenanya kesebelasan nasional atau klub sepakbola negara yang melakukan intervensi itu tidak diikutsertakan dalam laga sepakbola di bawah otoritas FIFA.

Nah, senggol FIFA, berujung nestapa. Senggol FIFA berarti siap dikucilkan dan dijauhi oleh 265 juta pemain bola baik pria maupun perempuan, ditambah lima juta wasit dan pelatih yang merupakan konstituen dari lembaga sepakbola sejagat yang berkantor pusat di Zurich, Switzerland itu.

BACA JUGA: Kasus Mario Dandy: Netizen Merujak dan Meradang

Polemik soal keikutsertaan Israel dalam Piala Dunia U-20 yang akan digelar di Indonesia pada Mei 2023 yang mengundang beragam argumentasi hendaknya tidak perlu dipandang sebagai kontroversi.

Polemik ini hendaknya dipandang sebagai upaya membangun dan menggerakkan sejarah.

BACA JUGA: Dubes Palestina Temui Presiden Jokowi di Tengah Ramai Penolakan Timnas U-20 Israel

Senggol FIFA berarti nestapa, mengingatkan kepada pepatah Latin klasik yang menyatakan “post factum nullum consilium”, yang artinya, setelah sebuah tindakan terlanjur dilakukan, maka sesungguhnya tidak perlu ada nasihat.

(*) Penulis merupakan wartawan LKBN Antara (1991-2021), Menulis dua buku berjudul “Maniak Bola” dan “Kerja, Kerja, Kerja”, Staf Pengajar dan Penguji UKW dari Lembaga Pers Dr. Soetomo (LPDS).


Solverwp- WordPress Theme and Plugin