RADARBEKASI.ID, BEKASI – Penyediaan alat kontrasepsi bagi kelompok usia sekolah dan remaja menuai kontroversi. Ketentuan dalam Pasal 103 Peraturan Pemerintah (PP) nomor 28 tahun 2024 ini diprotes oleh sejumlah pihak, termasuk di Bekasi. Akses siswa terhadap alat kontrasepsi hingga tafsir pemerintah seakan melegalkan perzinahan sangat dikhawatirkan.
Di dalam pasal tersebut, upaya kesehatan sistem reproduksi usia sekolah dan remaja paling sedikit berupa pemberian komunikasi, informasi, dan edukasi, serta pelayanan kesehatan reproduksi. Perhatian tertuju pada pasal 4, dimana pelayanan kesehatan reproduksi juga meliputi penyediaan alat kontrasepsi.
Aturan PP ini sangat disayangkan di tengah satuan pendidikan menengah berjibaku melawan tantangan kemajuan teknologi yang berpotensi merubah perilaku hingga moralitas pelajar. Klausul penyediaan alat kontrasepsi ini dinilai tidak tepat oleh penyelenggara sekolah swasta di Kota Bekasi. Salah satu tantangan berat saat ini adalah kebebasan akses internet. Justru, dunia pendidikan saat ini memerlukan peran pemerintah dalam mengatur akses internet bagi siswa.
“Apalagi sekarang ini kan seluruh sekolah atau lembaga pendidikan itu menyediakan akses internet gratis untuk menarik minat. Ini menjadi problem kita, bagaimana anak-anak kita mengenal dunia internasional, tapi di sisi lain kita belum menyiapkan filternya secara ketat,” ungkap Sekretaris Badan Musyawarah Perguruan Swasta (BMPS) Kota Bekasi, Ayung Sardi Dauly.
Pandemi Covid-19 beberapa tahun lalu membuat hampir semua siswa memiliki akses terhadap telepon pintar. Hal ini tidak diimbangi dengan pengawasan ketat dari orangtua.
“Jadi artinya yang harus diberikan pembelajaran itu bukan hanya anak, tapi orangtua juga perlu kita berikan pemahaman. Kalau terjadi kerusakan moral itu kan yang disalahkan sekolah, guru, sementara pendidikan itu bukan hanya di sekolah,” tambahnya.
BACA JUGA: Asosiasi Ibu Menyusui Indonesia Bekasi Sambut Hangat UU KIA
Salah satu kekhawatiran dari penyediaan alat kontrasepsi ini adalah penyimpangan perilaku siswa dan remaja. Pengamat Sosial dan Dosen Institut Bisnis Muhammadiyah (IBM), Hamludin menyampaikan bahwa aturan ini berpotensi dipahami oleh siswa sebagai dorongan untuk melakukan aktivitas seksual. Menurutnya, pemerintah sedianya sudah memahami potensi dampak yang ditimbulkan.
“Kecuali pemerintah mempunyai misi lain. Tantangan terbesar dunia pendidikan itu adalah membangun moralitas yang kuat, itu tantangan terbesar di era ini,” ungkapnya.
Tantangan tersebut adalah dampak dari perkembangan teknologi dan industri digital dalam mempengaruhi perilaku masyarakat. Hamludin mengaku lebih setuju dengan upaya preventif berupa pemberian informasi hingga edukasi dengan cara-cara efektif yang selama ini belum pernah dilakukan.
“Kekhawatiran kita yang paling utama itu adalah ketika diberikan stimulus alat kontrasepsi semacam itu dipahaminya ini adalah dorongan untuk melakukan perbuatan itu. Itu yang sebenarnya dihindari,” ucapnya.
Pemberian informasi dan edukasi selama ini belum berjalan efektif, pembahasan sistem reproduksi hingga edukasi seks masih tabu di tengah masyarakat. Pelibatan orang tua dalam memberikan informasi dan edukasi pun masih minim.
Tidak heran jika ketentuan tentang penyediaan alat kontrasepsi ini kontroversial, lantaran luput dari nilai ketimuran yang melekat pada masyarakat Indonesia. Bagai dua sisi mata uang, aturan ini membawa nilai positif, juga membawa kekhawatiran. Sisi positif yang bisa ditangkap adalah pemberian edukasi dan pemahaman tentang reproduksi, hingga bahaya-bahayanya.
BACA JUGA: Omnibus Kesehatan
Namun di sisi lain, penyediaan alat kontrasepsi ini seolah menjadi solusi kehamilan pada aktivitas sosial di luar pernikahan. Perilaku yang sangat dilarang oleh agama.
“Tapi yang menjadi persoalan bahwa itu seolah-olah melegalkan. Jadi seolah-olah persoalan pernikahan dini, pergaulan bebas itu ada solusi. Ini yang menjadi masalah sebenarnya,” papar Wakil Ketua Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Kota Bekasi, Jalu Dwi Putranto.
Hal itu membuat ketentuan tentang penyediaan alat kontrasepsi bertentangan dengan norma masyarakat Indonesia. Menurutnya ketentuan ini seolah menghadapkan masyarakat pada budaya Liberalisme, berpotensi mengikis norma ketimuran.
“Jadi saya dari sisi aktivis Ormas islam sebetulnya menolak itu, tentang pemberian alat kontrasepsi. Itu berbahaya bagi anak-anak,” ungkapnya.
Pemerintah harus hadir ditengah-tengah upaya yang dilakukan orangtua dalam menjaga anak mereka. Jalu juga mengingatkan bahwa pernikahan dini tidak hanya berkaitan dengan kesiapan mereka sebagai orang tua menjaga anaknya, tapi juga berkaitan dengan perekonomian keluarga yang masih sangat rapuh.
Sementara itu Wakil Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Bekasi, Sukandar Ghazali menyampaikan bahwa pemerintah perlu mengkaji ulang penyediaan alat kontrasepsi tersebut.
“Saya kira kesimpulan dari saya tolong yang buat aturan pemerintah itu dikaji ulang untuk menyelamatkan anak bangsa lima atau 10 tahun yang akan datang,” ungkapnya.
Sukandar menjelaskan bahwa segala bentuk alat kontrasepsi sejak zaman orde baru telah diputuskan haram hukumnya lewat fatwa MUI. Hukum dari penggunaan alat kontrasepsi ini diputuskan lewat kajian yang dilakukan, lebih banyak menimbulkan dampak negatif dibandingkan dampak positifnya di masyarakat.
Penyediaan alat kontrasepsi ini juga dikhawatirkan membuka kesempatan semakin menjamurnya perzinahan.”Kalau kita tidak kembalikan kepada agama sangat berbahaya itu,” tegasnya.
Sementara terkait dengan pemberian informasi dan edukasi bagi masyarakat, Sukandar menilai hal itu harus dilakukan. Selama ini pun kata dia, kantor urusan agama telah melakukan hal tersebut kepada setiap calon pengantin.
Menanggapi kontroversi ini Ketua Komisi IV Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Bekasi, Daradjat Kardono meyakini bahwa PP yang diterbitkan oleh pemerintah memiliki tujuan positif. Diantaranya memperbaiki dan meningkatkan kepedulian serta kesadaran masyarakat terhadap aspek kesehatan.
Secara umum, ia menilai pemerintah mengedepankan upaya preventif. Langkah ini dinilai lebih ekonomis dibandingkan dengan lebih mengutamakan upaya kuratif berupa pemberian obat hingga tindakan medis.
“Oleh karena itu pesannya kan sebenarnya secara umum adalah untuk mengedukasi, mencoba meningkatkan kepedulian masyarakat terhadap aspek kesehatan,” ungkapnya.
Hanya saja, pemerintah perlu memberikan penjelasan secara detail terkait dengan poin-poin yang berpotensi salah tafsir di tengah masyarakat.
Kesalahan tafsir yang terjadi dan menimbulkan kontroversi saat ini kata dia, memberikan peluang kepada pelajar untuk mengakses alat kontrasepsi. Daradjat meyakini setiap regulasi yang dibuat oleh pemerintah mengacu dan mempedomani aspek moralitas yang dijunjung tinggi oleh masyarakat Indonesia.
“Sehingga dalam hal ini kalimat tersebut harus ditafsirkan secara positif. Kalau nanti kemudian membuka peluang terjadinya multi tafsir tentu sebaiknya diperbaiki kalimat-kalimat tersebut kepada tafsir yang lebih jelas,” katanya. (sur)