RADARBEKASI.ID, BEKASI – Pagar laut di perairan Tarumajaya Kabupaten Bekasi, untuk pembangunan alur pelabuhan telah merugikan nelayan. Proyek pemerintah untuk penataan dan pengembangan Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) menjadi Kawasan Pelabuhan Paljaya ini, membuat nelayan kesulitan dalam mencari ikan selama enam bulan terakhir.
Pagar laut sepanjang lima kilometer yang dibangun dari bambu menghalangi jalur normal nelayan, sehingga mereka harus melaut lebih jauh untuk mendapatkan tangkapan. Akibatnya, biaya melaut pun meningkat.
Tayum, nelayanan di Desa Segarajaya mengatakan bahwa kegiatan pembangunan di perairan Tarumajaya telah berlangsung selama lima hingga enam bulan.
Di awal, kata Tayum, sosialisasi menyebutkan bahwa akan dilakukan penataan ruang Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) Paljaya di atas lahan seluas 4,2 hektar. Penataan PPI ini disetujui oleh nelayan.
“Namanya PPI nya mau dibagusin, kita seneng lah nelayan,” katanya.
Pekerjaan pun dimulai. PPI dan bangunan tempat tinggal di sekitarnya dibongkar untuk ditata. Namun, hingga saat ini, PPI dan kantor koperasi milik Tayum belum juga dibangun, sementara pekerjaan di laut telah berjalan masif.
Nelayan telah memperingatkan agar tidak merusak laut. Hingga akhirnya, nelayan mendapati adanya pagar laut. Lambat laun, nelayan mulai merasakan dampaknya, dimulai dari menurunnya hasil tangkapan hingga akses yang semakin sulit.
“Semenjak ada proyek itu alhamdulillah meningkat, hancur habis semuanya. Kalau dihitung persenan nya sudah bingung,” ucapnya.
Setelah video pagar laut Tarumajaya viral dan mendapat perhatian publik, Tayum mengatakan bahwa nelayan mulai merasa was-was. Selama ini, mereka tidak setuju dengan segala aktivitas yang merusak laut.
“Tidak usah takut saya bilang. Kita bela laut, laut ini punya orang Bekasi,” tambahnya.
Nelayan lainnya, Rodin (40), mengeluhkan penurunan hasil laut selama proyek tersebut berjalan. Saat ini, nelayan harus pergi jauh ke tengah laut untuk mendapatkan hasil yang memuaskan.
“Kalau sebelum ada tanggul pendapatan lumayan, sehari bisa dapet 40 kg. Sekarang paling dapat 5 kg. Penghasilan kurang jauh dari sebelum ada ini,” ungkapnya.
Biasanya menghabiskan 2 liter bahan bakar minyak (BBM) untuk sekali melaut, kini nelayan bisa menghabiskan sampai 4 liter karena harus memutar.
“Bambunya juga nyangkut di perahu, jadinya bocor, jadi rugi juga nelayan. Banyak perahu rusak. Kalau melaut lewat celah kecil, karena kalau lurus terus itu harus muter, makan waktu dan bahan bakar,” ucapnya.
Komisi II DPRD Kabupaten Bekasi geram melihat pagar laut yang membentang dari wilayah Babelan hingga Tarumajaya. Pagar laut ini berdampak besar terhadap nelayan di pesisir Kabupaten Bekasi, karena mereka kesulitan mencari ikan.
Pasalnya, hingga sekarang, para wakil rakyat ini belum mendapatkan keterangan pasti mengenai pembuatan pagar laut tersebut, mengingat kewenangannya berada di provinsi dan pusat.
“Saya gemes, kesel, kok sampai wilayah laut sendiri harus dalam penguasaan seseorang, walaupun kita enggak tahu. Tapi aneh juga kalau itu seperti kecolongan, masa orang bisa seenaknya bangun pagar di laut,” ujar Ketua Komisi II DPRD Kabupaten Bekasi, Ani Rukmini, kepada Radar Bekasi, Selasa (14/1).
BACA JUGA: https://radarbekasi.id/2025/01/14/kkp-ungkap-pagar-laut-di-tarumajaya-bekasi-tak-punya-izin-kkprl/
Berdasarkan informasi yang dihimpunnya, kata Ani, para pejabat terkait di provinsi dan pusat belum mengetahui pembuatan pagar laut itu. Tentunya ini menjadi tanda tanya besar apabila pejabat di kementerian terkait tidak mengetahuinya.
“Kalau sampai pemerintah seolah-olah enggak tahu, ko bisa, itu aneh. Kalau sampai pejabat terkait dari kementerian yang berwenang enggak tahu, emang dikerjakan sembunyi-sembunyi. Apa simsalabim, tahu-tahu sudah ada tuh pagar di laut,” tukasnya.
“Negeri ini harus ditertibkan agar orang enggak semenah-menah karena kekuasaan, bisa karena jabatan atau harta, kemudian bisa seenaknya mengacak-ngacak. Jadi saya si gemesnya disitu, cuma salahnya kewenangan masalah laut enggak sepenuhnya kabupaten. Itu kewenangan provinsi dan pusat,” sambung politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini.
Secara aturan, dirinya menyampaikan, karena kewenangan laut ini ada di provinsi dan pusat, maka Kabupaten Bekasi tidak perlu menurunkan kewenangan perizinan dan sebagainya, sehingga tidak ada informasi atau pemberitahuan. Namun, yang merasakan dampaknya adalah masyarakat Kabupaten Bekasi yang berprofesi sebagai nelayan. Oleh karena itu, hal ini perlu dipertanyakan.
“Kita mempertanyakan itu apa, nelayan jadi terganggu, akhirnya enggak bisa nyari ikan. Ya itu harus dirapihin, apalagi sampai mengganggu hajat hidup masyarakat yang mengambil nafkah dari situ (nelayan). Yang jelas itu perilaku-perilaku orang maruk (rakus), merusak alam karena kerakusannya,” tukasnya.
Tidak dipungkiri, Ani menambahkan, secara teori 2/3 laut itu belum dieksplorasi. Namun, itu bukan berarti eksplorasi dilakukan secara sembarangan. Justru eksplorasi harus dilakukan untuk memastikan hasil laut melimpah, tidak ada limbah, dan tidak ada pihak yang menguasai secara sepihak. Sebab, laut adalah hamparan terbuka yang seharusnya memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi masyarakat.
“Semua kemungkinan-kemungkinan itu bertujuan untuk apa pasti ada. Mungkin buat nanti apakah ada teknologi ngeruk sumber daya minyak, atau mau direklamasi, itu bikin batas dulu. Tapi yang jelas ujung-ujungnya adalah duit,” tukasnya.
“Nanti kita mau bicarain dulu dengan teman-teman DPRD, sekarang biar dinas terkait juga koordinasi lah dulu. Kabarnya provinsi juga sudah turun, kita lihat hasil reportnya kaya apa. Nanti kita lihat perkembangannya,” sambung Anggota DPRD Kabupaten Bekasi dari arena tarung Dapil V ini. (pra/ris/sur)