SAYA ingat, ketika belajar Bahasa Arab, guru menyebutkan harus lebih dulu menguasai ilmu Nahwu dan Shorof.
Ilmu dasar bahasa Arab ini koncian. Karena ini akan menjadi kunci benar tidaknya memahami bahasa, di sini bisa masuk dalam pemahaman beragama.
Saat ini terasa banget. Di saat dunia medsos kian mudah diakses, dan informasi kian cepat. Sehingga banyak yang menginginkan serba cepat, instan, kemudian men-judge kebenaran.
Lha iya, karena banyak informasi yang dianggap benar, namun sebenarnya berlandaskan ketidakbenaran.
Sampai di sini sudah jadi masalah. Akan menjadi lebih bermasalah kalau kemudian menyalahkan pendapat orang lain dan memaksakan pendapatnya.
Saya tidak pandai berdalil. Tetapi, saya bisa menyampaikan ilustrasi dasar.
Begini, kalau ada satu kalimat “جاء محمد وعمر ” (jaa Muhammadun wa Umarun). Telah datang Muhammad dan (atau kemudian) Umar. Apakah ini Muhammad dan Umar datang bersamaan? Bareng? Atau, keduanya datang berurutan? Muhammad dulu datang, kemudian baru Umar?
Kalimatnya sama. Tetapi pengertiannya bisa berbeda. Ini hanya gara-gara memaknai ‘wa’. Keduanya bisa benar, tetapi bisa juga tidak tepat. Jadi, tidak boleh kita menghakimi arti pertama salah, dan menyalahkan yang kedua. Atau sebaliknya.
Dan ini iranah para ulama, para ahli ilmu agama. Bukan kita. Karena makna wau, bisa bermakna tertib (berurutan) atau juga berkumpul (liljami’).
Lebih konkretnya begini. Dalam satu ayat, terkait tentang tata cara wudhu, disebutkan ‘basuhlah wajah dan kedua tanganmu’ (dalam QS. Almaidah:06). اغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ . Membasuh wajah dan tangan, apa membasuh bersamaan? atau boleh keduanya, mana aja yang lebih dulu boleh.
Ilmu dasar Nahwu ini kemudian sangat berperan para ulama fiqh dalam mengambil istimbath (kesimpulan). ‘Wau’ dalam ayat itu kembalinya ke mana? Itu yang menentukan. ‘Wau’ itu bermakna tertib atau liljami’.
Saya sebenarnya hanya ingin menyampaikan bagaimana cemen-nya kita dalam memahami agama. Ilmu kita sangat cetek. Nggak tahu apa-apa. Maka sangat tidak bijaksana kalau kemudian kita menyalahkan teman dengan dasar pemahaman kita. Apalagi kita menyalahkan imam Syafie, dan menjelekkan ulama yang tidak sefaham.
Maka, keep calm aja menanggapi perbedaan. Apalagi bagi kita yang bodoh ini. Ini renungan subuh saya yang tiba-tiba saja pingin menulisnya. Mumet? Ya, sama sama kita mumet bareng. (*)