Berita Bekasi Nomor Satu

Ketika Tapera Jadi Beban Baru Rakyat

Bagai petir di siang bolong. Begitulah kehadiran Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera). Tiba-tiba saja tersiar kabar,

Presiden Joko Widodo menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tapera. Seluruh pekerja baik di pemerintahan dan swasta diwajibkan mengikuti program Tapera.

Kita sangat terkejut, lazimnya mendengar suara gelegar petir. Di tengah pandemi Corona yang belum usai dan krisis ekonomi yang melanda, kehadiran Tapera sudah pasti jadi beban baru rakyat. Sudah jatuh, tertimpa tangga pula. Mungkin itu tamsil yang tepat soal ini.

PP yang ditandatangani Presiden Jokowi ini, secara otomatis merevisi keputusan tentang Tabungan Perumahan PNS yang ditandatangani oleh Presiden ke-2 RI Soeharto, pada 15 Februari 1993. Mari kita sedikit kuliti isi PP tersebut.

PP No.25 Tahun 2020 tentang Tapera ini merupakan amanah UU No.4 Tahun 2016 tentang Tabungan Perumahan Rakyat. UU tersebut dilahirkan untuk membantu pekerja/buruh dalam memenuhi kebutuhan papannya. Selama hampir empat tahun, amanah UU tersebut diabaikan (seharusnya paling lambat Maret 2018 PP sudah terbit). Namun, tiba-tiba muncul pada tahun 2020 pada saat terjadi pandemi corona.

Peserta BP Tapera adalah calon PNS, aparatur sipil negara (ASN), prajurit dan siswa Tentara Nasional Indonesia (TNI), Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri), pejabat negara, pekerja di Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), Badan Usaha Milik Desa, perusahaan swasta, dan pekerja apa pun yang menerima upah. Jumlah iuran simpanan peserta ditetapkan sebesar 3 persen dari gaji atau upah untuk peserta pekerja dan penghasilan untuk peserta pekerja mandiri. Demikian ” bunyi pasal 15 ayat 1 PP 25 Tahun 2020.

Skema Tapera mengambil iuran dari pekerja dan pemberi kerja. Pemberi kerja menanggung 0,5 persen sementara pekerja 2,5 persen dari total gaji pegawai. Iuran itu maksimal dibayar tanggal 10 setiap bulan. Kepesertaan Tapera berakhir jika pekerja memasuki masa pensiun; mencapai usia 58 tahun (syarat khusus bagi peserta mandiri); peserta meninggal dunia; atau peserta tidak memenuhi kriteria sebagai peserta 5 tahun berturut-turut.

Peserta yang sudah berakhir masa kepesertaannya dapat memperoleh pengembalian simpanannya serta hasil pemupukannya yang bisa berupa deposito perbankan, surat utang pemerintah pusat, surat utang pemerintah daerah, surat berharga di bidang perumahan, atau bentuk investasi lain yang aman. Simpanan dan hasil pemupukannya wajib diberikan paling lama tiga bulan setelah kepesertaannya dinyatakan berakhir.

Beban Baru Rakyat

Di tengah wabah Covid19, Bank Dunia memprediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini sebesar 0%. Perkiraan ini didasarkan atas dampak penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang telah berlangsung selama dua bulan dan masih berlanjut. Beberapa komponen pembentuk pertumbuhan ekonomi, seperti konsumsi rumah tangga yang merupakan komponen terbesar pertumbuhan ekonomi misalnya, diperkirakan melambat seiring adanya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).

Dengan kondisi perekonomian yang seperti sekarang ini, lalu konsumsi rumah tangga juga mengalami penurunan yang sangat signifikan, hadirnya PP Tapera jadi aneh. Niat dan tujuannya baik. Tapi waktunya sangat tidak tepat.

Ingat, iuran BPJS baru saja naik. Belakangan publik di media sosial juga mempertanyakan kenaikan tarif listrik. Lalu kini rakyat diwajibkan menyisihkan gajinya dengan besaran 2,5 persen. Tak terbayangkan betapa nestapanya hidup rakyat.

Dana Talangan?

Hadirnya PP Tapera ini juga memunculkan kecurigaan publik. Ada kesan, pemerintah berusaha mencari sumber dana talangan baru, di tengah sulitnya kondisi keuangan negara.

Ini bisa terlihat di Pasal 27 PP Tapera. Dijelaskan, dana iuran dapat diinvestasikan ke surat utang pemerintah. Ini artinya, pekerja diminta secara tidak langsung iuran untuk beli SBN. Banyak pihak kemudian menafsirkan, ini dilakukan karena pemerintah sedang cari sumber pembiayaan baru di tengah pelebaran defisit anggaran.

Kecurigaan itu semakin kuat, karena ada kebijakan pemerintah dalam penyediaan sumber pendanaan penanggulangan dampak Corona. Melalui penerbitan surat utang negara (SUN) seperti yang tertuang dalam Pasal 2 ayat (1) f Perppu 1/2020 yang sudah menjadi UU. Dan juga pada Pasal 2 ayat (1) e pada perppu yang sama, yang pada intinya mengatakan bahwa sumber-sumber dana abadi dapat digunakan untuk pendanaan stimulus pemulihan ekonomi usai pandemi Corona.

Berdasarkan simulasi perhitungan Real Estate Indonesia (REI), dengan membayar premi 3 persen dari penghasilan, akan terkumpul dana hingga Rp 134 triliun. Angka ini diperoleh dengan asumsi peserta Tapera diperkirakan mencapai 90 juta. Sedangkan hitungan pemerintah, dengan jumlah iuran sebesar 3 persen, maka dana Tapera yang dapat dikumpulkan per tahun mencapai angka Rp 71 triliun. Sebuah angka yang sangat besar.

Catatan Kritis

PP Tapera ini perlu dikritisi. Sebab itu, ada beberapa catatan kritis, agar kehadirannya tidak menambah beban baru rakyat.

  1. Peraturan ini sudah sekitar empat tahun terkesan diabaikan. Bukti pemerintah sebenarnya tidak serius membangun rumah untuk rakyat. Kesan untuk mendapatkan dana talangan justru terlihat jelas, akibat penerimaan pemerintah yang anjlok dan defisit APBN yang kian melebar.
  2. PP Tapera ini hadir pada saat yang tidak tepat. Fokus pemerintah harusnya pada pangan. Sebab, pandemi ini berpotensi melahirkan krisis ketahanan pangan.
  3. Potensi menurunkan pertumbuhan ekonomi karena akan mengurangi belanja masyarakat.
  4. Angka 3% yang dibebankan kepada pemberi kerja dan pekerja, tergolong besar. Untuk pekerja, besaran iuran harusnya tidak flat, tapi tergantung nominal gaji.

Semua catatan ini bukan berarti tidak setuju terhadap program rumah untuk rakyat karena sesuai data per Maret 2019, backlog kebutuhan perumahan masih sebesar 7,6 juta unit. Kebutuhan papan merupakan sesuatu yang sangat penting. Tapi melihat semua catatan di atas, pemerintah harus berhati-hati.

Hari ini, rakyat terhimpit kehidupannya. Cari makan kian susah. Gelombang PHK dimana-mana. Pengusaha juga banyak yang kesulitan dan bangkrut. Pemerintah harus sensitif dengan penderitaan rakyatnya sendiri. (*)