Gelombang protes terhadap Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) terus membesar. Datang dari berbagai kalangan. Tuntutan mereka jelas: menolak, bukan hanya menunda.
Wacana penundaan memang dihembuskan pemerintah. Diberitakan, pembahasan RUU HIP akan ditunda. Pemerintah juga meminta DPR menyerap aspirasi masyarakat terlebih dulu. Sehingga RUU HIP yang dihasilkan tidak menimbulkan pro kontra.
Namun, jika mau obyektif, RUU HIP ini sudah selayaknya bukan cuma ditunda. Tapi ditolak! Mengapa? Sudah sekitar 8 bulan saya menjadi anggota DPR RI. Dilantik pada 1 Oktober 2019 lalu. Bersumpah untuk setia kepada Pancasila sebagai ideologi bangsa dan negara.
Di samping sebagai anggota DPR RI, saya diamanahi juga menjadi anggota Badan Pengkajian Majelis Permusyawaratan Rakyat. Salah satu tugas konstitusionalnya adalah melakukan sosialisasi empat pilar MPR dan penyerapan aspirasi masyarakat.
Benerapa kali sudah saya lakukan kegiatan Sosialisasi 4 Pilar MPR yang meliputi Pancasila, UUD NRI 1945, NKRI dan Pancasila. Demikian juga dengan tugas penyerapan aspirasi masyarakat.
Tugas konstitusional ini saya lakukan di daerah pemilihan Jawa Barat VII yang meliputi Kabupaten Bekasi, Karawang dan Purwakarta. Bertemu dengan tokoh masyarakat dan warga dari berbagai kalangan; lurah, camat, tokoh masyarakat, pengemudi ojek online, petani, pedagang, buruh dan kalangan masyarakat lainnya.
Sampai dengan saat ini, tak ada satu pun pertanyaan tentang perlunya Pancasila dibuatkan undang-undang. Sejauh ini, tak ada satu pun aspirasi soal perlunya membuat RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP).
Saya buka catatan kembali untuk memastikan, dan betul-betul tidak ada sama sekali. Tak ada masyarakat yang meminta memeras Pancasila jadi Trisila, lalu Ekasila. Tak ada satu pun yang menyuarakan agar Komunisme, Marxisme dan Leninisme tidak dijadikan pertimbangan dalam membuat RUU HIP. Tak ada pula yang mengusulkan frasa: Ketuhanan Yang Berkebudayaan.
Parlemen adalah representasi rakyat. Tugasnya membuat undang-undang. Bertolak dari sini, artinya DPR harus membuat produk undang-undang yang menjadi kebutuhan rakyat. Kebutuhan dimaksud bisa kita ketahui dari aspirasi yang berkembang di tengah-tengah masyarakat.
Jika sampai detik ini, berdasarkan pengalaman saya menyerap aspirasi masyarakat, tak ada satu pun usulan soal perlunya RUU HIP, lalu darimana ide tersebut muncul? Di sisi lain, itu juga menunjukkan bahwa RUU HIP membuat jurang yang lebar antara wakil rakyat dan rakyat yang diwakilinya.
Betapa tidak, rakyat sama sekali tak mengajukan aspirasi soal RUU HIP, tapi mengapa wakil rakyatnya ngotot? Sejak awal, posisi Fraksi PKS sudah tegas dan jelas. Menolak RUU HIP.
Banyak hal yang menjadi alasan. Salah satunya tidak dimasukkannya TAP MPRS No XXV Tahun 1966 tentang Pelarangan Komunisme, Marxisme dan Leninisme sebagai konsideran.
Pemerintah memang sudah menyampaikan akan menunda RUU HIP ini . Tapi seharusnya tidak cukup hanya ditunda, bahkan wajib ditolak.
Pemerintah dan DPR sebaiknya fokus pada upaya membantu rakyat dalam menghadapi pandemi Corona. Bukan membuat RUU yang tak dibutuhkan rakyat.
Pancasila tak perlu ditafsirkan lagi. Juga tak perlu diperas jadi Trisila dan Ekasila. Posisi Pancasila sebagai ideologi bangsa sudah final.
Yang perlu kita lakukan terhadap Pancasila adalah mengamalkannya. Semoga pesan Bung Hatta berikut ini, bisa menjadi bahan renungan kita:
“Jika ingin Pancasila hidup sebagai perilaku masyarakat, maka pejabat pemerintah yang harus pertama-tama mencontohkan pengamalannya dalam tingkah laku, juga keputusan yang diambil.” (*)