Berita Bekasi Nomor Satu

Menemukan Peta Jalan di Tengah Pusaran Konflik Geopolitik (Habis)

M. Fikri Aziz
M. Fikri Aziz

Radarbekasi.id – Jadi, tantangan terbesar kelompok Islam dewasa ini bukanlah Komunisme tetapi modernitas.

Fenomena aktual tentang meningkatnya resistensi umat Islam terhadap “kebangkitan” Komunisme, berdasarkan fakta sejarah dan situasi global saat ini, cukup layak jika dise­but se­ba­gai korban konflik geopolitik.

Banyak umat Islam mengang­gap bahwa Komunisme me­mang sudah runtuh tetapi se­bagai ide Komunisme belum mati. Pertanyaannya, siapa yang bisa membunuh ide? Jangankan Komunisme, yang jauh lahir terlebih dulu dari Komunisme seperti Paganisme dan Zoroaster masih ada dan hidup diimani oleh sebagian kecil penduduk bumi.

Kalau muncul pertanyaan berikutnya, yang menyatakan bahwa kaum Pagan dan penganut Zoroaster tidak pernah memak­sa dan mewujud men­jadi suatu sistem politik, nampaknya memang titik masalah­nya ada pada kurangnya lite­ra­si sejarah.

Mungkin suatu kebetulan, ketika peristiwa 9/11 terjadi di tahun 2001. Dunia disibuk­kan oleh konflik diametral antara AS dan Islam (Invasi AS ke Afghanistan & Irak), Tiongkok di tahun itu secara resmi menjadi anggota WTO (World Trade Organization) yang langsung ditindak lanjuti dengan masuknya 900 juta tenaga kerja Tiongkok ke da­lam sistem ekonomi global.

Entah hal ini disadari atau tidak oleh AS dan Uni Eropa apa­lagi oleh Dunia Islam, yang jelas sejak saat itu Tiongkok tidak pernah berhenti bertumbuh.
Sekarang sebagai sebuah fakta, Tiongkok telah menjadi negara terbesar didunia dari sisi Pur­chasing Power Parity (PPP) dan negara terbesar kedua dari sisi ekonomi setelah AS. Namun banyak yang telah memprediksi akan menjadi nomer satu di­dunia ditahun 2035, dan di tahun 2045 akan menguasai dunia dari segala aspek.
Jelas akan terjadi konflik geopolitik yang panjang, bisa terjadi satu hingga dua dekade kedepan.

Pentingnya Peta Jalan
Konflik dua kekuatan besar ini sangat rentan untuk beru­bah menjadi konflik militer terbuka. Ditengah kegalauan ne­gara-ne­gara maju, efek dari krisis keuangan global di tahun 2008, menjelma menjadi ke­sen­­jangan ekonomi yang me­ra­jalela kemu­dian mempelo­pori kebangkitan kaum populis yang didukung oleh elit-elit nasionalis-chauvinis, terjadi secara merata di Eropa dan AS.

Baca juga : Menemukan Peta Jalan di Tengah Pusaran Konflik Geopolitik (1)

Tiba-tiba gugatan itu tertuju pada globalisasi dan derivasi­nya. O’ Sullivan memunculkan istilah “The Levelling” sebuah transisi yang sedang dialami dunia dari segala aspek. Bahwa du­nia akan “naik kelas” dari si­si kesejahteraan antara ne­ga­ra miskin dan kaya, dari sisi kekuatan negara-bangsa dan kawasan, dari sisi akunta­bilitas elit politik dan rakyat, kemu­dian dunia akan mengala­mi perubahan pada kekuatan institusi yang selama ini memi­liki fungsi penting seperti Bank Sentral serta institusi-institusi yang punya peran penting dalam pembangunan di abad 20 seperti WTO dan IMF.

Relevansi eksistensi negara-bangsa semakin pudar dan terus dipertanyakan. Globa­lisasi yang memiliki arti terhu­bungnya semua kepentingan negara-bangsa yang diterapkan dengan sejumlah aturan main yg disepakati secara interna­sional, hendak memilih untuk balik kebelakang atau terus melaju bahkan sampai tahap mendelegitimasi negara-bangsa itu sendiri.

Dan AS sepertinya (untuk se­mentara waktu), memilih untuk balik kebelakang.
Praktik hubungan interna­sional yang dibangun secara multilateral mendadak beru­bah menjadi unilateral seperti yang dilakukan AS dibawah kepemimpinan Donald Trump. Keluarnya AS dari kesepakatan Trans Pasific Partnership (TPP) yang digagas saat AS di pimpin Obama, justru men­jadi berkah geopolitik tersendiri bagi Tiongkok.

Bahkan, ancaman Trump kepada negara-negara yang selama ini jadi pendukung AS untuk tidak ikut serta dalam Belt & Road Initiatives tidak diindahkan oleh negara-negara tersebut. Dalam hal ini, mereka menganggap Tiongkok dapat menawarkan kesepakatan yang bagus untuk ekonomi melalui pengembangan infra­struk­tur yang selama ini ba­nyak diabaikan oleh AS.

Agar terhindar dari Perang Dunia, yang terbaik bagi AS adalah mengambil langkah untuk kembali masuk keda­lam pembi­caraan multilateral. Wa­lau­pun memang tantangan in­ternal AS sungguh demikian pelik. Trump dianggap tidak me­miliki kompe­tensi sebagai orang nomer satu di negara itu.

Karakternya yang dominan impulsif berakibat pada kepu­tusan-keputusan strategis yang membahayakan. Terma­suk ba­gaimana ia tidak mema­hami kompleksitas tema ten­tang defisit neraca perdagangan AS yang selalu ia keluhkan sebagai dasar dari deklarasi perang dagang dengan Tiongkok.

Namun, jika ia kalah dalam pilpres AS November nanti, apakah AS akan merubah ke­bijakan luar negerinya? Belum tentu bahkan mendekati tidak. Mengapa? Dari semua kebija­kan Trump yang tidak menda­pat dukungan dari Partai Demokrat AS, ada satu dimana Partai Demokrat melalui elit-elitnya termasuk Nancy Pelosi, Ketua DPR AS, mendukung kebijakan Trump, yaitu perang dagang melawan Tiongkok.

Lalu apa yang bisa dilakukan oleh Indonesia sebagai bangsa ditengah kontes geopolitik ini? Ironinya, jarang sekali elit-elit di negara ini terutama yang sedang berkuasa, mena­ruh perhatian serius terhadap isu strategis ini.

Terlihat dari kurangnya peta jalan untuk memposisikan Indonesia sebagai negara yang dapat berperan atau bahkan mengambil keuntungan dari kontes geopolitik ini.

Politik luar negeri bebas aktif harusnya bukan hanya diarti­kan tidak memihak salah satu diantara keduanya, namun harus dipandang secara pragmatis. Deng Xiao Ping ketika menetapkan peta jalan dalam menyongsong moderni­sasi Tiongkok, juga dijadikan tarik-menarik oleh AS & Rusia di tahun 70an, perlu diingat saat itu merupakan puncak dari perang dingin.

Tetapi ia berhasil membawa Tiongkok keluar dari jebakan dua kekuatan, dengan menjan­jikan kepada AS suatu saat Ti­ongkok akan menerapkan sistem demokrasi dalam politik dan pemerintahannya. Disisi lain, Tiongkok tetap memper­ta­hankan eksistensi Partai Ko­munis Cina karena mereka yakin hanya itu satu-satunya ja­lan untuk mewujudkan pe­me­­rintahan yang meritokratik.

Yang terjadi kemudian, Uni Soviet lebih dulu jatuh, dan AS sekarang mendapat tantangan serius dari Tiongkok.

Kuncinya ada di peta jalan dan kualitas elit yang lahir dari sistem meritokrasi. Bukan elit yang lahir dari proses demokrasi yang dikendalikan oleh kekuatan uang dan oligarki. Seperti demokrasi AS hari ini yang dibajak oleh kekuatan pemodal.

Khusus mengenai peta jalan, didalamnya tentu harus me­muat strategi jangka pan­jang. Tidak sadarnya AS atas ce­patnya pertumbuhan Tiong­kok, disamping soal arogansi karena merasa tidak akan ter­kalahkan, juga karena ku­rangnya strategi jangka pan­jang terhadap Tiongkok.

Tidak seperti waktu mereka menghadapi Uni Soviet. Diawali dari sebuah artikel yang ditulis oleh “Mr. X” yg be­lakangan te­rungkap bahwa yang dimak­sud adalah George Kennan, seorang ahli strategi kenamaan AS. Dia merumus­kan dengan detil dan lengkap tentang langkah dan strategi apa yang harus dijalan­kan oleh AS secara jangka panjang.

Hal itu juga sempat dising­gung oleh Henry Kissinger, legenda hidup ahli geopolitik AS dalam satu buku khusus yang dia tulis “On China”.

Alih-alih merumuskan strate­gi jangka panjang, masyarakat dan elit AS hari ini malah di­pe­nuhi oleh emosi. Meman­dang Tiongkok dengan nada merendahkan karena sentimen “yellow peril” menganggap orang-orang asia berkulit ku­ning yang patut diwaspadai.

Sikap rasis yang penuh emosi tersebut sama sekali tidak mem­bantu AS keluar dari masalah sebenarnya. Justru yang harus dilakukan adalah AS harus kembali logis dan rasional serta pragmatis seperti ketika mereka memulai mem­berikan solusi bagi negara-negara yang telah habis-habisan bertarung pada Perang Dunia II.

Bagi Indonesia tidak ada jalan lain selain melakukan adaptasi dan antisipasi. Kalau benar Tiongkok akan mengam­bil alih supremasi kepemim­pinan dunia dalam jangka waktu satu hingga dua dekade kedepan, Indonesia punya waktu yang cukup untuk me­man­faatkan transisi ini seefektif mungkin.

Secara geografis letak wilayah Indonesia berada dekat dengan Tiongkok. Dari sisi kawasan regional, Indonesia adalah yang terbesar di Asia Tenggara, kawa­san yang paling plural di dunia namun tetap damai.

Negara-negara dikawasan lain, tak bisa menandingi kebe­ragaman dan keharmonisan yang terjadi disini. Stabilitas adalah modal penting pertum­buhan ekonomi dimanapun.

Namun, jika AS ternyata mam­pu bertahan, tidak sulit bagi Indonesia karena memiliki sejarah panjang hubungan diantara keduanya sejak perang dingin hingga saat ini.

Walaupun yang seharusnya harus diwaspadai dengan perhatian penuh adalah bukan AS atau Tiongkok yang me­mim­pin, tapi transisi yang pan­jang ini mampu dilewati dengan selamat atau tidak.

Saat-saat seperti ini kalimat yang diutarakan oleh Gramsci layak untuk kita renungi “Krisis terjadi tepatnya karena yang lama sedang sekarat dan yang baru tidak dapat muncul, dalam peralihan ini berbagai gejala mengerikan muncul!”. (*)

Tokoh Pemuda Bekasi


Solverwp- WordPress Theme and Plugin