Penolakan terhadap Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) terus berlangsung. Marak di berbagai daerah. Di Jabodetabek, Bali, Samarinda hingga NTB.
Sejumlah Organisasi Masyarakat (Ormas) keagamaan juga sama. Mereka secara tegas menolak dan membuat penyataan bersama.
Ada Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), PersekutuanGereja-gereja Indonesia (PGI), Komisi HAK Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWI), Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI), Persatuan Umat Buddha Indonesia (Permabudhi), dan Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia (Matakin).
Mereka senada. RUU HIP bukan cuma ditunda. Tapi dihentikan.Pernyataan bersama yang disampaikan langsung oleh Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Abdul Mu’ti.
Sayang, aspirasi yang berkembang dan menguat dari berbagai lapisan masyarakat dan kelompok seperti tak dipedulikan.
Kamis (2/7), ada rapat penting di Senayan, Jakarta. Antara Badan Legislasi (Baleg) DPR RI dengan Kemenkumham dan Panitia Perancang Undang-Undang. Tapi sungguh disayangkan, hasilnya tak mencerminkan aspirasi umat, ulama dan rakyat kebanyakan.
Dalam rapat tersebut, para pihak sepakat untuk mencabut 16 Rancangan Undang-Undang (RUU) dari Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2020.
Dari ke-16 RUU tersebut, Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) yang selama ini menjadi kontroversi tidak ditarik.
Perwakilan Fraksi PKS di Baleg, Pak Mulyanto memprotes dan meminta untuk RUU HIP juga turut ditarik dari Prolegnas 2020.
“Dalam kesempatan ini kita duduk tripartit untuk mengevaluasi Prolegnas 2020. Tadi saya sampaikan untuk didrop RUU HIP. Bapak pimpinan baleg, mohon catatan kami ini jadikan catatan kesimpulan sehingga nanti kita proses ke tingkat lebih lanjut bahwa PKS minta RUU HIP ini didrop dalam Prolegnas Prioritas 2020,” katanya.
Tapi Ketua Baleg DPR RI, Supratman Andi Atgas justru mengatakan, bahwa pihaknya tidak berwenang untuk menarik RUU HIP dari Prolegnas Prioritas 2020. Sebab menurutnya, dalam tata tertib DPR telah diatur, pihak yang mendesak mencabut RUU HIP harus membuat surat terlebih dahulu ke pimpinan Badan Musyawarah (Bamus).
“Lain halnya kalau kemudian ada kesepakatan antara pemerintah dan DPR, itu lain lagi. Tapi ini minta ditarik, kita di Baleg tidak ada kewenangan. Masalahnya itu,” katanya.
Sikap PKS sendiri sejak awal sudah sangat jelas. Menolak RUU HIP ini dengan alasan yang bersifat filosofis, ideologis, sejarah dan konsepsional serta urgensitas.
Sikap tegas yang kemudian memunculkan fitnah dari mana-mana. Di antaranya pemalsuan tanda tangan dalam dokumen rapat.
Lolosnya RUU HIP dalam Prolegnas 2020 ini seakan membuat jarak antara Wakil Rakyat dengan rakyat yang diwakilinya jadi menjauh.
Umat, ulama dan komponen bangsa lain menyatakan penolakannya. Bahkan pekan silam, saya juga masih menerima aspirasi dari Forum Umat Islam Bersatu (FUIB) Bekasi yang menolak secara tegas. Namun, semua itu seperti tak didengar oleh mayoritas fraksi di DPR.
Saya berharap, semua pihak bisa berpikir jernih. Tidak semata-mata untuk kepentingan kelompok, golongan atau partainya saja. Jika memang RUU HIP ini berpotensi melahirkan masalah dan turbulensi sosial politik, sebaiknya tak perlu dimasukkan dalam Prolegnas 2020.
Wabah Corona belum usai. Bahkan jumlah kasus positif masih bertambah. Fokus kita saat ini justru bagaimana mencari solusi untuk mengatasi krisis kesehatan dan ekonomi serta ketahanan pangan.
Bukan mengutak-atik ideologi Pancasila yang sudah final. Dan jangan pula memberikan stigmatisasi kepada mereka yang menolak RUU HIP. Disebut Kadrun, ISIS, dan sejenisnya.
Wabah ini seharusnya membuat kita bersatu. Bergandengan tangan. Tak perlu menghadirkan isu atau RUU yang berpotensi membelah masyarakat. Merenggangkan kohesi bangsa. Jangan sampai kita jadi bangsa dan negara yang gagal karena tidak tepatnya kebijakan pemerintah. Dan adanya jarak antara Wakil Rakyat dengan rakyatnya sendiri. (*)