Hari ini, 75 tahun silam, suara kharismatik Soekarno seperti masih terdengar jelas. Membacakan sederet kalimat pernyataan kemerdekaan, didampingi Mohamad Hatta. Di sebuah rumah milik Faradj bin Said bin Awadh Martak, saudagar kaya raya asli Hadramaut, Yaman. Di Jalan Pengangsaan Timur No. 56, Jakarta Pusat.
Usia 75 tahun bukan rentang waktu yang singkat. Cukup panjang bagi sebuah bangsa dan negara. Selama rentang itu, kita sudah memiliki tujuh presiden. Bisa tambah satu, yakni Syafruddin Prawiranegara. Sejarah mencatat, ia memimpin Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) yang dibentuk di Sumatera Barat pada 22 Desember 1948.
PDRI muncul sebagai pembuktian bahwa negara Indonesia masih tegak berdiri. Saat itu, pemerintahan RI yang berpusat di Yogyakarta tidak berfungsi karena para pemimpinnya, termasuk Presiden Sukarno dan Wapres Mohammad Hatta serta beberapa menteri dan pejabat tinggi lainnya, ditawan kemudian diasingkan ke luar Jawa oleh Belanda.
Lalu apa yang sudah kita hasilkan dalam perjalanan panjang ini?
Dalam kehidupan tentu saja kita akan selalu dihadapkan dengan berbagai permasalahan atau persoalan. Ini merupakan batu ujian bagi kita manusia. Terkadang persoalan tidak berdiri sendiri tetapi saling berkelit berkelindan dengan persoalan lainnya. Di sinilah memerlukan kearifan kita dan disiplin berpikir secara sistemik. Begitu pula dalam konteks Negara. Apalagi untuk ukuran Indonesia yang memiliki wilayah teramat luas dan penduduk sekitar 250 juta jiwa.
Di rentang waktu 75 tahun, secara jernih kita dapat melihat adanya persoalan fundamental bangsa yang masih jadi pekerjaan rumah kita hingga kini. Akar masalah tersebut seakan mengepung kita, baik yang bersifat individual maupun kolektif, yang harus dihadapi, ditanggulangi dan dihilangkan.
Segala kompleksitas persoalan tersebut sudah pernah diingatkan Rasulullah SAW dalam untaian doanya.
“Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari rasa cemas dan putus asa, aku berlindung kepada-Mu dari sifat rendah diri dan malas, aku berlindung kepada-Mu dari jiwa pengecut dan kikir, aku berlindung kepada-Mu dari jerat hutang dan dominasi orang lain” (HR. Abu Dawud)
Pertama, masalah bersifat psikologis, yang biasanya menimpa pada remaja dan anak-anak muda yang sedang mencari identitas diri, yaitu cemas (anxiety) dan putus asa (despair). Masyarakat juga bisa mengalami kecemasan yang diawali dengan munculnya ketidakpuasan terhadap situasi dan kondisi yang ada serta kekhawatiran menyongsong masa depan yang serba tidak pasti.
Apalagi dampak wabah covid-19 berpengaruh bukan saja terhadap kondisi kesehatan masyarakat tetapi juga memunculkan masalah ekonomi, sosial, budaya bahkan keamanan. Krisis yang datang bertubi-tubi dan tekanan-tekanan yang datang silih berganti seringkali memburamkan pandangan dan mengubur harapan masa depan. Yang tersisa, hanyalah perasaan bersalah akan menyalahkan orang lain.
Kedua, Psikososial pada sebagian masyarakat. Biasanya melanda masyarakat yang kurang terdidik, yaitu rendah diri dan malas. Perasaan rendah diri biasanya muncul pada saat berhadapan dengan orang lain. Bahkan bisa juga memunculkan sikap mengucilkan diri sendiri dari pergaulan dengan orang lain, karena merasa kalah bersaing.
Sementara itu kemalasan akan membuat seseorang tidak melakukan sesuatu yang seharusnya ia lakukan. Malas belajar menuntut ilmu pengetahuan, malas bekerja dan berusaha, malas menyelesaikan problematika dan sebagainya. Padahal seharusnya kita bekerja keras dan berjuang untuk lepas dari berbagai persoalan untuk menjalani hidup yang lebih baik atau bahkan yang terbaik.
Ketiga, masalah elit. Permasalahan bisa juga menghinggapi kaum elite, mereka yang dalam kehidupan sudah lebih mapan, memiliki kedudukan dan kekayaan, yaitu pengecut dan kikir.
Orang yang pengecut tak akan mampu menetapi jalan perjuangan, yang terkadang tuntutannya berupa nyawa. Tidak ada lagi semangat juang dan jiwa kepahlawanan. Setiap perjuangan pasti menuntut pengorbanan. Jika jiwa berkorban sudah hilang pada diri seseorang, jangan harap meraih kemenangan dan kebahagiaan. Tinggal menunggu kehancuran.
Keempat, Puncak dari permasalahan adalah masalah ekonomi politis yaitu, masuk dalam jerat hutang dan dominasi kekuatan asing.
Individu atau bangsa yang selalu cemas terhadap masa depan dan putus asa dalam menyongsong harapan, serta malas berpikir dan bekerja, biasa cenderung mengambil jalan pintas. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya atau keberlangsungan pembangunan cenderung dilakukan dengan memperbanyak hutang. Jerat hutang (debt trap) inilah yang harus diwaspadai. Awalnya mungkin merasa nyaman karena tidak perlu bekerja keras, cukup mengandalkan kebaikan orang lain. Namun, lama kelamaan bisa jadi menimbulkan ketergantungan bahkan ketundukan pada keinginan si pemberi hutang.
Berbagai masalah tersebut tentu saja harus diurai dan dipecahkan bersama. Kita harus bersinergi menanam benih solusi. Di sinilah diperlukan edukasi. Edukasi akan memberikan kepada seseorang kekuatan rasa percaya diri untuk menghadapi tantangan dan permasalahan. Edukasi terhadap anak-anak muda dilakukan baik melalui pendidikan formal, pendidikan non formal maupun pendidikan informal. Sebaliknya, edukasi kepada masyarakat bisa dilakukan melalui tokoh agama, tokoh masyarakat maupun tokoh adat.
Hal yang lain yang perlu dilakukan adalah memberikan stimulus dan insentif kepada masyarakat yang akan memulai usaha atau sedang berusaha meningkatkan kualitas usahanya. Mereka ini biasanya masih berupa usaha mikro atau UMKM yang perlu perlindungan.
Membangun sebuah bangsa yang besar tidak terlepas dari peran seluruh elemen bangsa untuk memberikan kontribusi. Kemauan dan kemampuan untuk memberikan yang terbaik harus selalu dijaga dan dipupuk. Inilah jiwa pengorbanan untuk bangsa dan negara.
Bangsa yang dibangun dari kehidupan masyarakat dengan semangat pengorbanan dan gotong royong akan mampu menjadi bangsa yang mandiri, tidak selalu mengandalkan bantuan bangsa lain. Bangsa seperti ini akan menjadi bangsa yang merdeka dalam mengekspresikan berbagai keunggulannya. Inilah hakikat bangsa dan negara yang tangguh. Negara yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Semoga ini bisa kita wujudkan bersama-sama.
Agar pesan kemerdekaan Bung Karno bisa kita wujudkan:
“Tetapi kecuali daripada itu, maka peristiwa menjadi merdekanya sesuatu bangsa yang tadinya dijajah oleh imperialisme bangsa lain, merdeka, betul-betul merdeka dan bukan merdeka boneka.” (*)