Berita Bekasi Nomor Satu

Dampak Pandemi Covid-19 dan Data Desa Presisi

Ada tulisan menarik dari Muhammad Chatib Basri. Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia itu menulis tentang situasi ekonomi akibat pandemi Covid-19. Judulnya: Pemulihan Ekonomi: V, U atau W?

Menurutnya, kondisi saat ini akan berlangsung panjang. Dampak ekonomi wabah ini dirasakan oleh semua kalangan, terutama menengah ke bawah. Dan melihat situasi yang ada, cara yang paling tepat mengatasi soal ekonomi ini adalah dengan Bantuan Langsung Tunai (BLT).

Hanya saja, tulis Chatib Basri, ini perlu didukung oleh data yang akurat. Agar para penerima BLT betul-betul orang yang tepat dan berada di lokasi mana saja.

Tulisan ini berkelindan dengan apa yang ada di kepala saya. Agustus lalu, saya bertemu dengan Wakil Kepala Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat IPB, Dr. Sofyan Sjaf, di acara Badan Pengkajian MPR RI. Dr. Sofyan mengungkap soal akurasi data desa yang masih jauh dari fakta

Saya sangat tertarik dengan ini. Lalu saya  berinisiatif mempertemukan Dr. Sofyan dengan kepala desa di Kabupaten Bekasi, Karawang dan Purwakarta. Ini merupakan dapil saya. Tujuannya agar ada kesadaran banyak pihak untuk membangun desa berdasarkan data yang presisi.

Saya prihatin dengan data yang diungkap oleh Dr. Sofyan. Ada 57,7 persen data desa yang masih tidak akurat. Ini membuat banyak kesalahan dalam perencanaan program pembangunan di desa. Lebih jauh dari itu, kesalahan data semacam ini berpengaruh pada pembangunan nasional secara keseluruhan.

Mengapa data desa tidak akurat? Menurut Dr. Sofyan, pertama karena selama ini orang desa hanya ditempatkan sebagai “objek” dalam pengumpulan data. Pendekatan sensus, survei dan sejenisnya yang digunakan saat ini sarat dengan persoalan presisi.Meletakkan satu-satunya sumber data kepada responden (menjawab pertanyaan yang diberikan) dengan tidak mempertimbangkan sumber lain (keberagaman sumber data) menjadi persoalan tersendiri. Demikianlah dialami dengan data podes (potensi desa) yang mengandalkan sumber responden hanya dari kepala atau sekretaris desa.

Kedua, minimnya akses data desa berbasis spasial.Masih banyaknya desa-desa di Indonesia yang memajang sketsa desa (dianggap sebagai peta desa) di kantor desanya, menunjukkan data desa masih belum berbasis spasial. Jika pun ditemukan peta orthophoto desa, maka citra yang digunakan belum memiliki resolusi tinggi. Artinya desa belum memiliki kesadaran spasial yang memberikan gambaran utuh tentang ruang desanya.

Ketiga, kreativitas yang kurang dalam pendekatan pengumpulan data desa. Sejauh ini, sensus maupun survei desa merupakan satu-satunya pendekatan yang digunakan dalam penyusunan database desa.Pendekatan yang melibatkan partisipasi orang desa dalam pengumpulan data masih sangat minim. Apalagi kombinasi pengumpulan data desa yang menggunakan data spasial.

Keempat, data desa disusun secara manual.Tidak sedikit tampilan data desa dalam bentuk tulisan tangan atau ketikan masih ditemukan. Meski sudah terdapat sistem informasi desa atau sejenisnya, namun belum menggambarkan situasi dan kondisi desa yang seutuhnya.Data yang tersaji dalam sistem informasi masih sekedar memindahkan data desa yang manual ke dalam sistem.

Kelima, minimnya sumberdaya aparat desa. Pendidikan yang rendah, keterampilan yang minim, dan tingkat resiliensi yang rendah terhadap disrupsi yang dihadapi desa adalah deretan persoalan sumberdaya manusia dihadapi desa saat ini.

Saya berpendapat, di era 4.0 ini, kelima penyebab di atas seharusnya bisa diatasi. Teknologi yang kian canggih dan informasi yang semakin mudah, membuat peluang untuk mendapatkan data desa presisi jadi kian besar. Dan wabah Covid-19 serta dampak ekonominya harus dijadikan momentum yang tepat.

Sebab dengan data desa yang presisi, maka program BLT yang dilakukan untuk mengatasi dampak ekonomi wabah, bisa tepat sasaran dan bermanfaat optimal. Khususnya bagi masyarakat kelas menengah ke bawah.

Semoga. (*)