Berita Bekasi Nomor Satu

Lima Sifat Ulama Akhirat

Ulama memiliki kedudukan yang istimewa. Mereka dianggap sebagai sosok yang menguasai ilmu agama dan menjadi teladan. Kepada mereka umat bertanya dan berharap. Keistimewaan ulama tercermin dengan adanya kalimat yang populer. Bahwa ulama adalah Pewaris Nabi.

Apa dan bagaimana ulama yang layak mewarisi nabi dan menjadi panutan umat? Imam al-Ghazali di dalam kitab Ihya’ Ulumuddin memaparkan sifat-sifat ulama dimaksud. Beliau berkata:

“Ada lima akhlak termasuk tanda-tanda ulama akhirat. Lima akhlak ini dipahami dari lima ayat al-Quran, yaitu rasa takut, khusyu’, tawadhu’, berakhlak baik dan lebih mengutamakan akhirat dari pada dunia, yaitu zuhud”.

  1. Rasa Takut

“…Diantara hamba-hamba Allah yang takut kepada-Nya, hanyalah para ulama. Sungguh Allah Maha Perkasa, Maha Pengampun”. (Fathir: 28)

Seorang ulama akhirat pasti memiliki  rasa takut yang tinggi kepada Allah. Karena ia sangat mengenal Allah, baik melalui ayat-ayat qauliyah yang selalu dibacanya di dalam al-Quran atau melalui ayat-ayat kauniyah yang selalu diperhatikan dan direnungkannya. Karena itu, ia tidak berani menyimpang dari ayat-ayat-Nya. Ia tidak berani menyembunyikan ayat-ayat Allah dan tidak berani menjual ayat-ayat Allah demi mendapatkan reruntuhan dunia, sebagaimana karakter ulama Yahudi:

“Sungguh, orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah diturunkan Allah, yaitu kitab, dan menjualnya dengan harga murah, mereka hanya menelan api neraka ke dalam perutnya dan Allah tidak akan menyapa mereka pada hari Kiamat, dan tidak akan menyucikan mereka. Mereka akan mendapat azab yang sangat pedih.” (Al-Baqarah: 174)

Rasa takut yang kuat kepada Allah ini membuatnya memiliki karakter dan kepribadian yang kuat, tidak mudah memperturutkan hawa nafsu:

“Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari (keinginan) hawa nafsunya,” (An-Nazi’at: 40).

  1. Khusyu’

“…karena mereka berendah hati kepada Allah, mereka tidak memperjualbelikan ayat-ayat Allah dengan harga murah…”. (Ali ‘Imran: 199)

Ayat ini sangat menarik. Karena mengartikan khusyu’ tidak seperti yang dipahami kebanyakan orang selama ini. Khusyu’ dimaknai dengan “tidak memperjualbelikan ayat-ayat Allah dengan harga murah”.

Hati yang khusyu’ pasti tunduk kepada Allah, baik di dalam shalat atau pun di luar shalat. Baik di masjid atau pun di kantor, pasar, pabrik, kampus dan tempat-tempat lainnya. Sehingga tidak berani berbuat melanggar ayat-ayat Allah di mana pun berada, demi mendapatkan sesuatu yang tidak ada harganya bila dibandingkan dengan pahala komitmen dengan ayat-ayat Allah.

Ini sekaligus mengajarkan kepada kita, bahwa khusyu’ yang ada di hati itu harus membuahkan sikap dan perbuatan di dalam kehidupan sehari-hari. Tidak hanya terlihat di dalam ibadah shalat.

  1. Tawadhu’

“… dan berendah hatilah engkau terhadap orang-orang yang beriman.” (Al-Hijr: Ayat 88)

Seorang ulama akhirat selalu berendah hati kepada orang-orang beriman. Tidak menyakiti mereka, tetapi senantiasa mengayomi mereka. Mengajari mereka ilmu agama dengan tekun dan sabar. Membimbing mereka dan mengadvokasi hak-hak mereka. Membela mereka yang terzalimi karena kebodohan, bukan mengeksploitasi kebodohan mereka.

Di antara manifestasi tawadhu’ adalah  berkhidmat kepada masyarakat dan mudah diakses. Mudah ditemui, mudah dimintai pertolongan. Jika tidak punya harta untuk menolong, ia tetap mengupayakan bantuan dari pihak-pihak yang bisa diakses bantuannya.

Sebagaimana Nabi SAW mengupayakan bantuan dari orang-orang lain untuk membantu orang-orang fakir yang datang kepadanya, meminta bantuan tetapi Nabi SAW tidak memiliki sesuatu untuk diberikan.

  1. Berakhlak Baik

“Maka berkat rahmat Allah engkau (Muhammad) berlaku lemah lembut terhadap merereka..” (Ali ‘Imran: 159)

Akhlak adalah sesuatu yang pertama kali dilihat dan dirasakan oleh orang lain dari seorang ulama akhirat.

Seorang ulama akhirat pasti punya akhlak yang baik dan terpuji. Karena ia pasti mengamalkan ilmunya. Ia selalu menjadi teladan dalam mengamalkan apa yang disampaikan. Ia bukan tipe ulama Yahudi yang memiliki ilmu tetapi tidak diamalkan. Ia selalu takut kepada peringatan Allah:

“(Itu) sangatlah dibenci di sisi Allah jika kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.” (As-Saff: 3)

  1. Lebih Mengutamakan Akhirat daripada Dunia, yaitu Zuhud

“Tetapi orang-orang yang dianugerahi ilmu berkata, Celakalah kamu! Ketahuilah, pahala Allah lebih baik bagi orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan…” (Al-Qasas: 80)

Seorang ulama akhirat tidak mudah tertipu oleh dunia yang fana. Tidak mudah menggeser prinsip hanya karena iming-iming dunia. Tidak mudah tertipu oleh pencitraan yang semu. Tidak mudah silau oleh tampilan luar. Karena ia selalu melihat esensi dan hakikat. Karena hati dan pikirannya sudah tertambat dan tenggelam di dalam berbagai kesenangan dan kenikmatan yang ada di akhirat, sekalipun fisik dan raganya masih di dunia.

Dunia ini hanya ada di tangannya, tidak pernah masuk dan tertanam di hatinya. Dunia ini mudah datang dan pergi dalam hidupnya, karena tidak pernah menguasai hatinya. Hati dan pikirannya selalu tertambat pada ayat ini:

“Padahal kehidupan akhirat itu lebih baik dan lebih kekal.” (Al-A’la: 17)

“Apa yang ada di sisimu akan lenyap, dan apa yang ada di sisi Allah adalah kekal…” (An-Nahl: 96)

Lima sifat atau karakter ini semakin langka di zaman yang semakin mendekati akhir. Alih-alih kita mendapati ulama akhirat, justru yang sering kita lihat adalah sebaliknya.

Kondisi ini sudah pasti membuat umat kecewa dan gelisah. Mereka kian sulit mendapatkan sosok teladan. Karena itulah, kita berharap semoga ulama akhirat akan bertambah banyak. Sehingga umat bisa menjadikannya panutan dalam menjalani kehidupan. (*)