Berita Bekasi Nomor Satu
Bekasi  

Ditolak Tujuh Rumah Sakit

ILUSTRASI : Petugas merapihkan tempat tidur untuk pasien Covid-19 berstatus orang tanpa gejala (OTG) di Rs Darurat Stadion Patriot Candrabhaga, Kota Bekasi, Jumat (15/1). Penuhnya ruang ICU di sejumlah RS, menyebabkan pasien covid kesulitan mendapatkan perawatan. RAIZA SEPTIANTO/RADAR BEKASI.
ILUSTRASI : Petugas merapihkan tempat tidur untuk pasien Covid-19 berstatus orang tanpa gejala (OTG) di Rs Darurat Stadion Patriot Candrabhaga, Kota Bekasi, Jumat (15/1). Penuhnya ruang ICU di sejumlah RS, menyebabkan pasien covid kesulitan mendapatkan perawatan. RAIZA SEPTIANTO/RADAR BEKASI.

RADARBEKASI.ID, BEKASI – “Saya nyari sampai ke lima rumah sakit, semua kosong, istri saya bawa,” kata Anjalin (40), mengawali perbincangan dengan Radar Bekasi. Warga Tambun Selatan ini mengisahkan sulitnya saat mencari Rumah Sakit (RS) untuk merawat istrinya. Kapasitas ruang rawat pasien Covid-19 yang semakin menipis juga berimbas pada pasien dengan keluhan penyakit lain.

Situasi ketersediaan tempat tidur di Kota dan Kabupaten Bekasi tidak jauh berbeda, pasien yang tinggal di Wilayah Kota Bekasi harus dirawat di RS yang berada di Kabupaten Bekasi, begitupun sebaliknya. Catatan Radar Bekasi, Pemerintah Kota Bekasi bersama dengan seluruh 42 RS swasta telah beberapa kali menambah kapasitas tampung pasien Covid-19, mulai dari 237 tempat tidur, saat ini sudah tersedia 1.613 tempat tidur di semua Fasilitas Kesehatan (Faskes).

Anjilin mengaku, awalnya sang istri menderita demam, akibatnya ia memutuskan untuk sang istri tidak beraktifitas di tempatnya bekerja. Bingung, itu yang dirasakan saat pertama kali mendapati istrinya demam.

Hari berlalu, demam mulai mereda. Namun, sore saat akan memulai kembali aktifitas di tempatnya bekerja, kesehatan sang istri kembali memburuk. Hinga ia memutuskan untuk membawa sang istri menggunakan kendaraan roda dua mengelilingi lima RS di Kota dan Kabupaten Bekasi, hasilnya pihak RS tidak bisa menerima dan merawat sang istri lantaran tempat tidur yang tersedia penuh.

Hingga akhirnya, ia berkonsultasi dengan salah satu klinik di kawasan Tambun, dokter menyarankan ia menyediakan oksigen untuk merawat sementara istrinya di rumah. Saat itu, keadaan mulai memburuk, kondisi kesehatan sang istri semakin melemah, bahkan untuk bangkit dari tempatnya berbaring pun tidak bisa dilakukan seorang diri, nafas mulai terasa sesak.

“Di klinik itu saya disuruh bawa oksigen yang ada di klinik, dokternya memang baik dengan saya. Saya bawa ke rumah, saya juga pinjam tabung oksigen punya tetangga, saya isiin untuk jaga-jaga kalau habis,” begitu ia bercerita setelah sang istri dipastikan mendapat tampat tidur perawatan di salah satu RS di Kecamatan Bekasi Timur, Kota Bekasi.

Sekira dua hari setelahnya, dibantu sanak saudara akhirnya sang istri dirawat bisa dirawat di RS. Seperti biasa pasien datang ke RS selama pandemi, sebelum dipastikan masuk ruang rawat, lebih dulu menjalani tes swab, menunggu hasil, tiga hari berada di ruang isolasi.

Hasil rontgen, ada perburukan pada paru-paru, ini membuat sang istri mengalami gejala sesak nafas. Hasil swab keluar, istrinya dinyatakan oleh hasil laboratorium negatif Covid-19. Beberapa hari berada di ruang rawat, tidak ada pasien lain selain sang istri di ruanga. Hasil rontgen berikutnya awal pekan ini, masih menunjukkan hasil yang sama, ada gangguan pada paru-paru yang membuat dokter RS berhati-hati dan diputuskan untuk kembali dilakukan tes swab, sang istri harus kembali menjalani isolasi.

“Kata dokter, kalau seandainya hasil swab positif, saya harus tes di Puskesmas. Tapi saya yakin tidak, karena sebelumnya negatif,” katanya saat dijumpai sepekan setelah sang istri menjalani perawatan di RS.

Kini, ia berpasrah pada penanganan medis rumah sakit. Baginya, yang terpenting istri tercinta mendapatkan penanganan di RS, hal ini sangat disyukuri setelah mengalami kesulitan dan ditolak oleh RS dengan alasan ruang rawat penuh. saat ini ia bergantian menjaga sang istri bersama dengan anak perempuannya, meskipun selama isolasi hanya bisa menunggu dari luar gedung RS, komunikasi selama ini menggunakan telepon genggam yang mereka miliki.

Tidak hanya oleh keluarga pasien, hal ini juga dirasakan oleh kelompok masyarakat yang memiliki kepedulian lebih terhadap kemanusiaan, mereka adalah relawan kesehatan. Selama masa pandemi ini, relawan yang biasa membantu pasien lebih dulu memastikan pasien sudah mendapat konfirmasi ketersediaan tempat tidur, setelah sebelumnya di tolak, dan berpindah-pindah RS.

Terakhir kali, situasi ini dirasakan pada akhir pekan lalu, tepat hari Sabtu (23/1). Meskipun belum dipastikan terkonfirmasi Covid-19, RS menolak pasien yang mereka bawa untuk ditolong oleh tujuh rumah sakit. Mulai dari RS di kawasan Kecamatan Bekasi Barat, Bekasi Timur, hingga akhirnya mendapatkan penanganan medis di salah satu RS di Kecamatan Medan Satria.

“Pada saat itu malam Minggu, kita mendapat informasi pasien, itu tujuh RS kita ditolak. Jadi (awalnya) pasien itu sudah demam, nafsu makan dan penciumannya masih aman,” terang salah satu relawan pengendara ambulance, Syafri Syafei (22).

Informasi yang ia dapat, tiga hari sebelumnya pasien demam, setelah demam mereda, kondisi kesehatan pasien memburuk, lemas, tidak bisa bangkit dari tempat nya berbaring. Saat Syafri dan rekannya dari Yayasan Foundation datang, pasien sudah menggunakan menggunakan alat bantu nafas.

Oktogen yang digunakan dengan tekanan 5 bar, pasien dibawa menuju RS yang diinginkan oleh keluarga. Nasib belum baik, tujuh RS yang dikunjungi penuh, dalam perjalanan mencari pertolongan medis tekanan oksigen naik sampai 9 bar, keadaan makin memburuk.”Dari habis isya, jam 8 kita sampai, masuk ruangan rawat setengah satu (dini hari),” tambahnya.

Dari pengalaman yang dewasa ini dirasakan di Kota Bekasi, ia tidak heran dengan nasib relawan lain di kawasan Jakarta Selatan, membawa dan merawat pasien selama dua hari di dalam ambulance selama pencarian ruang rawat di Jabodetabek. Ditolak, tidak selamanya berhasil mendapatkan penanganan di RS yang lain, terpaksa membawa kembali pasien pulang ke rumah pun pernah ia rasakan.

Hanya saja, bukan karena ruang rawat benar-benar penuh, namun lantaran RS menjaga ruang rawat yang masih tersisa untuk pasien lain dengan kondisi lebih darurat. Hal ini biasa terjadi saat pergantian jam kerja perawat dan dokter, antara satu dengan yang lain tidak terkoordinasi dengan baik.

“Kita pernah juga ditolak di RS, misalkan kadang sudah terkonfirmasi (tersedia ruang rawat), tapi dalam perjalanan tidak cepat, memang sih kita ambulance, tapi kita itu tidak seperti naik pesawat bisa melewati semua kendaraan yang lain. Jadi mungkin karena perawat di RS atau wisma itu aplusan, kadang ada yang tidak tahu,” ungkapnya.

Dengan sederet pengalamannya membantu pasien baik Covid-19 maupun non Covid-19, ia meminta kepada masyarakat untuk tetap mentaati protokol Kesehatan. Bukan menyerah, tapi situasi saat ini sudah diambang batas kemampuannya ia dan rekan-rekan relawan yang lain.

Selain itu, ia juga meminta masyarakat untuk tidak langsung menuju RS jika belum mendapati gejala Covid-19. Menurutnya,setelah hasil laboratorium dipastikan positif, masyarakat masih bisa menjalani isolasi mandiri di rumah masing-masing jika keadaan rumah memungkinkan.

Beberapa waktu yang lalu, Asosiasi Rumah Sakit Swasta (ARSSI) Kota Bekasi bersama dengan seluruh direktur Rumah Sakit telah sepakat untuk menambah kapasitas tempat tidur pasien Covid-19. Hal ini dilakukan sesuai dengan himbauan Menteri Kesehatan (Menkes) dan pertemuan bersama dengan Dinas kesehatan (Dinkes) Kota Bekasi.

Ketua ARSSI Kota Bekasi, Eko Nugroho menyebut fakta lain dibalik permasalahan kapasitas RS yang semakin menipis, dan keselamatan jiwa Tenaga Kesehatan. Penelitian terbaru dipaparkan resiko lain mengancam Nakes, yakni kesehatan mental yang berpotensi mempengaruhi kualitas hidup dan produktivitas pelayanan medis.”Memang sudah terjadi burn-out yg tidak disadari oleh Nakes,” katanya.

Hasil penelitian yang dilajukan oleh tim peneliti dari Program Magister Kedokteran Kerja Universitas Universitas Indonesia (MKK FKUI), 83 persen Nakes mengalami Burnout Syndrome. Seluruh Nakes mulai dari dokter umum, spesialis, hingga bidan beresiko dua kali lebih besar mengalami keletihan emosi selama masa pandemi.

“83% tenaga kesehatan mengalami burnout syndrome derajat sedang dan berat, 41% tenaga kesehatan mengalami keletihan emosi derajat sedang dan berat, 22% mengalami kehilangan empati derajat sedang dan berat, serta 52% mengalami kurang percaya diri derajat sedang dan berat,” paparnya.

Selama ini, Eko mewakili RS swasta di Kota Bekasi meminta dan mengingatkan masyarakat untuk tetap taat pada protokol kesehatan.”Ayo semuanya, mari kita jaga protocol kesehatan, karena saat kasus covid-19 di Kota Bekasi maupun nasional sedang tinggi. Virus ini bisa menyerang siapa saja,”tandasnya. (Sur)

Solverwp- WordPress Theme and Plugin