Berita Bekasi Nomor Satu

PBNU dan Muhammadiyah Kritik Rencana Penerapan PPN Pendidikan

Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir. (Hendra Eka/Jawa Pos)
Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir. (Hendra Eka/Jawa Pos)

RADARBEKASI.ID, JAKARTA-Gelombang penolakan terhadap rencana pemerintah memungut PPN untuk lembaga pendidikan terus mengalir. Kali ini disampaikan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dan Muhammadiyah. Dua ormas Islam tersebut memang sangat terkait dengan isu itu. Sebab, keduanya memiliki banyak lembaga pendidikan dan tersebar di seluruh Indonesia.

Suara dari PBNU disampaikan Ketua Lembaga Pendidikan (LP) Ma’arif PBNU Arifin Junaidi. LP Ma’arif menaungi lebih dari 21 ribu sekolah dan madrasah di Indonesia. Arifin menuturkan, penerapan PPN untuk lembaga pendidikan akan sangat berpengaruh terhadap biaya pendidikan.

Padahal, biaya pendidikan yang dipatok lembaga pendidikan di bawah naungan Ma’arif selama ini sangat terjangkau.

Namun, biaya tersebut hanya cukup untuk menggaji para guru dengan layak. ”Itu pun sudah cukup berat (bagi para wali murid, Red), apalagi kalau harus menghitung komponen margin dan pengembalian modal,” katanya.

Arifin tidak habis pikir dengan sikap pemerintah yang ingin memungut PPN untuk lembaga pendidikan. ”Mindset para pengambil kebijakan di negara ini apa sebenarnya,” ujarnya. Dia menyatakan, pemberlakuan pajak bagi lembaga pendidikan sangat bertentangan dengan upaya mencerdaskan kehidupan bangsa. Padahal, upaya mencerdaskan kehidupan bangsa sejatinya tugas pemerintah. Tetapi, pada kenyataannya, justru masyarakat yang berperan melalui sekolah-sekolah swasta.

Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir melontarkan pernyataan senada. Dia menegaskan, Muhammadiyah sangat berkeberatan atas rencana penerapan PPN itu. Seharusnya, kata dia, ormas-ormas keagamaan yang membantu meringankan beban pemerintah dengan mendirikan sekolah-sekolah swasta mendapat reward atau penghargaan. ”Bukan malah dibebani pajak yang pasti memberatkan,” ungkapnya.

Menurut dia, PPN bidang pendidikan jelas bertentangan dengan UUD 1945 pasal 31 tentang pendidikan dan kebudayaan. Haedar mengatakan, pemerintah seharusnya mendukung dan memberikan kemudahan bagi ormas yang menyelenggarakan pendidikan secara sukarela dan berdasar semangat pengabdian untuk mencerdaskan bangsa.

Pemerintah dan DPR seharusnya tidak memberatkan ormas penggerak pendidikan dan lembaga-lembaga pendidikan yang dikelola masyarakat dengan pajak. Sebab, hal tersebut berpotensi mematikan lembaga-lembaga pendidikan yang selama ini banyak membantu rakyat kecil.

Dihubungi terpisah, Plt Kepala Biro Kerja Sama dan Hubungan Masyarakat Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) Hendarman tidak banyak merespons. Dia hanya menyatakan masih menunggu koordinasi dengan Kemenkeu terkait dengan isu PPN pada sektor pendidikan. ”Kami menunggu pembicaraan lebih lanjut dari Kementerian Keuangan,” ujarnya singkat.

Anggota Komisi X DPR dari Partai Gerindra Himmatul Aliyah menuturkan, pihaknya menolak rencana pemberlakuan PPN pendidikan. Ada sejumlah alasan rencana itu harus ditolak. Salah satunya, pendidikan merupakan hak setiap warga yang harus dijamin negara. Pemerintah juga diamanatkan untuk membiayai pendidikan warganya. Hal itu jelas tertuang dalam pasal 31 UUD 1945.

Maka, rencana pemerintah mengenakan pajak di sektor pendidikan membuat masyarakat yang dijamin haknya justru terbebani. Pemerintah yang berkewajiban membiayai justru memungut biaya pendidikan dari rakyat. Itu tentu tidak etis sekaligus bertentangan dengan konstitusi. ”Jadi, jika rencana tersebut diberlakukan dan UU disahkan, akan rawan digugat di Mahkamah Konstitusi,” paparnya.

Penolakan juga disampaikan pengelola sekolah-sekolah swasta. Pendiri Ranu Harapan Islamic School (RHIS) Makassar Muhammad Ramli Rahim mengatakan, lembaga pendidikan di semua jenjang bukan sebuah entitas bisnis. Sebaliknya, lembaga pendidikan yang didirikan masyarakat merupakan upaya swadaya untuk membantu pemerintah. ”Selain itu, kondisi sekolah yang didirikan masyarakat atau sekolah swasta beragam,” ujar Ramli. Ada yang memang menarik biaya pendidikan tinggi. Tetapi, banyak juga sekolah swasta yang memberikan layanan pendidikan terjangkau, bahkan gratis, untuk masyarakat miskin.

Karena itu, menurut dia, pengenaan PPN pada layanan pendidikan tidak tepat. Sebab, ujungnya PPN tersebut akan dibebankan ke masyarakat. Akibatnya, biaya pendidikan yang ditanggung masyarakat turut meningkat.

Direktur dan Founder Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menambahkan, wacana kenaikan PPN biaya pendidikan semestinya distop. Bhima merujuk pada skor membaca Indonesia yang berada di peringkat ke-74 dari 79 negara pada 2018. ”Nah, kalau dikasih PPN, efeknya akan kepada kualitas pendidikan. Terutama di sekolah swasta dan PTN. Ini ibarat jatuh sudah tertimpa tangga. Sudah kena pandemi, lalu kebijakan pajaknya tidak akomodatif,” jelasnya kepada Jawa Pos.

Dia pun menyarankan agar pemerintah dan DPR menghentikan pembahasan wacana kebijakan tersebut. Menurut dia, rencana itu malah kontraproduktif dengan upaya untuk memulihkan ekonomi. Terlebih, kenaikan pajak itu dibarengi rencana pencabutan subsidi listrik, pengurangan bansos, dan lain-lain. ”Ini tidak hanya kontradiktif, tapi juga kontraproduktif dengan cita-cita pemulihan ekonomi nasional akibat pandemi,” jelasnya.

Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Nadia Fairuza menilai, rencana pengenaan pajak terhadap sektor pendidikan atau sekolah kontraproduktif dengan upaya memulihkan dampak pandemi pada sektor tersebut. Biaya pendidikan yang bakal semakin tinggi dapat mengancam upaya Indonesia untuk memajukan sumber daya manusia.

Menurut dia, di tengah persoalan akses maupun mutu pendidikan yang tidak merata, peningkatan dropout, dan penurunan kemampuan belajar, pengenaan pajak PPN itu akan semakin mempersempit akses kepada pendidikan, terutama bagi masyarakat miskin.

”Dampak pandemi pada sektor pendidikan seharusnya bisa menjadi pertimbangan sebelum pengenaan PPN ini benar-benar diberlakukan,” ungkapnya.

Belum lagi, kata dia, banyak sekolah, terutama sekolah swasta berbiaya rendah, yang sulit bertahan di tengah pandemi yang berkepanjangan. Hal itu disebabkan sekolah maupun gurunya sangat bergantung pada pendapatan orang tua murid yang kini terganggu karena pandemi.

”Pengenaan PPN pada sekolah mengancam upaya pemulihan pendidikan nasional,” tegasnya. Karena itu, RUU KUP perlu dikawal agar tidak merugikan kepentingan masyarakat luas. (jpc)


Solverwp- WordPress Theme and Plugin