DUA hari lalu, baru saja kita memperingati hari Pahlawan. Tepatnya, Rabu 10 November 2021.
Kalau ada pertanyaan, sudah berapa banyak jumlah pahlawan sebagai Pahlawan Nasional, tentu jumlahnya tercatat secara administratif oleh pemerintah.
Di luar itu, tentu saja setiap orang dari kita memiliki pahlawan-pahlawannya sendiri, versinya masing-masing.
Di antara nilai-nilai kepahlawanan, yaitu rela berkorban, tidak mengutamakan kepentingan pribadi maupun kroni dan golongan, bersikap jujur, tulus, serta menjadi teladan hidup (uswatun hasanah).
Di era digital dan medsos, nilai-nilai kepahlawanan di atas sangat mungkin mudah dimanipulasi, dipoles demi pencitraan. Bahkan, dapat diorder menjadi barang komoditi politik tertentu.
Lewat medsos yang berseliweran di jagat digital, Anda dapat bebas memilih para “pahlawan”. Nilai-nilai kepahlawanan dapat disetting sedemikian rupa. Ingin yang tampak “rela berkorban”, tidak mengutamakan kepentingan pribadi dan golongan, atau….sebut saja pahlawan versi Anda.
Jagat medsos juga bukan hanya membuat yang “bopeng – bopeng” tampak lebih klimis. “Pahlawan” bahkan dapat diciptakan. Dan memaksa semua orang mengakui kepahlawanannya.
Karena itu, semakin sulit kita mencari mana pahlawan sejati. Yang bertebaran, bisa jadi pahlawan kesiangan, kesorean, kemalaman. Mungkin juga ada pahlawan kepagian. (*)