Berita Bekasi Nomor Satu
Disway  

Siapa Membunuh Putri (1)

Oleh: Dahlan Iskan

ANDA sudah kenal nama ini: Hasan Aspahani. Saya pernah menulis tentang ia di Disway ini. Saya puji habis di tulisan itu. Hasan-lah yang menulis buku tentang biografi penyair pujaan Anda: Chairil Anwar. Dengan sangat bagusnya. Penuh kejutan. Penuh roman. Penuh perjuangan. Penuh penderitaan.

Sampai sekarang setiap kali saya lewat Paron (Ngawi), saya selalu bercerita pada teman seperjalanan: Chairil Anwar pernah jatuh cinta berat dengan gadis Paron. Seminggu Chairil Anwar meninggalkan Jakarta. Tinggal di Paron. Agar bisa mengawini gadis itu.

Cintanya patah.

Ayah sang gadis menolak. Chairil tidak bisa apa-apa. Tidak punya pekerjaan pula. Seorang penyair, di mata orang Paron, bukanlah pekerjaan.

Hasan mampu menceritakan semua aspek hidup Chairil Anwar dengan penuh warna. Itulah buku terbaik dan terlengkap tentang Chairil ”Aku Binatang Jalang” Anwar. Yang juga Anda kenal sebagai Chairil ”Antara Karawang Bekasi” Anwar.

Hasan juga penyair.

Ia sastrawan terkemuka sekarang.

Ia sastrawan yang wartawan. Atau wartawan yang sastrawan. Ia selalu saya jadikan contoh sebagai wartawan yang tulisannya bergaya sastra.

Lihatlah tulisannya yang saya turunkan di Disway edisi sekarang ini. Sebagai wartawan Hasan menemukan fakta: ada polisi membunuh istrinya. Ia juga menemukan fakta bagaimana polisi itu menutupi perbuatannya.

Waktu itu Hasan baru belajar menjadi wartawan. Ia diberi tugas meliput peristiwa-peristiwa kriminal di kota itu.

Ia melihat langsung praktik wartawan senior di bidang kriminalitas: betapa sudah seperti polisi bayangan.

Bacalah tulisannya ini. Relevan dengan zaman Duren Tiga sekarang ini. Peristiwa itu juga besar di masanya. Kini ia tulis lagi dalam bentuk cerita bersambung. Hasan menyebut dirinya sebagai Dur di cerita ini. Bacalah mulai hari ini, sampai selesai entah kapan nanti. Saya pun belajar dari cara Hasan bertutur:

***

KOTA ini berkembang cepat sekali. Ekonominya selalu tumbuh di atas rata-rata nasional. Begitu juga angka kriminalitasnya. Ini kota yang tak siap berkembang secepat ini.

Kota ini memikat pendatang, menawarkan harapan hidup, menjanjikan masa depan, tapi sebenarnya juga mengancam dan menakutkan.

Mereka yang datang tanpa bekal cukup, yang tak kebagian kue pertumbuhan di sektor formal, bertahan dengan cara apa saja. Juga masuk ke dunia remang-remang. Terpikat dengan janji-janji seperti itu jugalah yang bikin saya sampai ke kota ini.

Saya pernah menulis berita hasil liputan seminar tentang kriminalitas di kota ini. Seorang ahli sosiologi dan ahli perkotaan mengatakan bahwa kota ini, kota pulau ini, hanya cukup untuk ditinggali satu juta penduduk. Nyamannya segitu.  Berdasarkan hitungan daya dukung wilayahnya, sumber air, tata kota, jejaring transportasi, dan lain-lainnya. Saat aku mulai tinggal di kota itu, angka penduduk yang tercatat resmi sudah 750 ribu. Yang tak resmi, menurut perkiraan Bang Jon sudah lebih dari satu juta.

Saya kira Bang Jon benar.

Kehidupan di kota ini selalu terasa tegang. Mudah sekali terjadi bentrok antarkelompok.

Bang Jon adalah wartawan senior di “Metro Kriminal”. Seusia Bang Eel. Ia wartawan yang bagiku aneh. Ke mana-mana pakai sepatu sandal, banyak pacarnya, saya tak tahu pasti di mana tempat tinggalnya.

Kayaknya ia bisa tidur di mana saja yang ia mau, di tempat-tempat hiburan, yang ia datang malamnya, dan ia tertidur di situ sampai pagi.

Sejak semula ia hanya mau jadi reporter. Lebih khusus lagi: wartawan kriminal. Berkali-kali diberi kesempatan jadi redpel, bahkan wapemred ia menolak. Ia ke mana-mana bermobil. Ganti-ganti mobilnya. Paling sering Toyota Storm. Pikap dengan ban besar yang kalau jalan kayak ngangkangi mobil-mobil lain. Gagah dan angkuh sekali.

Di hari-hari pertama saya bekerja di “Metro Kriminal” oleh Bang Eel saya ditandemkan dengan Bang Jon. Saya mula-mula senang saja. Pertama-tama, saya sama sekali buta tentang kota ini. Pada hari pertama Bang Jon ajak saya keliling kota, singgah di Polsek-Polsek dan Polresta. Ia perkenalkan aku sebagai “orangnya”.

“Bantu ya, ini orang kita,” kata Bang Jon memperkenalkan saya pada polisi-polisi patroli dan yang berjaga di pos.

“Siap, Ndan!” kata mereka. Heran saya dan lucu juga rasanya, kok polisi panggil wartawan komandan. Tapi, itulah Bang Jon.

Semua wartawan yang kami temui pada hari itu juga memanggilnya komandan.

Hari itu, saya juga diajak singgah ke kantor imigrasi. Dari situ saya tahu ia juga jual jasa urus paspor, jadi calolah pokoknya.

“Kamu sudah punya paspor, Dur?”

“Jangankan paspor, KTP aja belum punya, Bang,” kataku.

“Gampang itu…,” kata Bang Jon, dengan logat Jawa-Manadonya.

Dengar-dengar ia pernah lama tinggal di Surabaya, setelah meninggalkan Manado, kota asalnya. Ia agak tertutup soal kehidupan pribadinya. Kata orang, selentingan kabar yang saya dengar, Bang Jon dulu preman yang diburu polisi karena terlibat kasus pembunuhan, lalu lari ke Batam. Tak terlalu jelas juga.

Di kantor imigrasi itu, Bang Jon juga disapa dengan komandan.

Pada saat saya dites oleh Bang Eel, ia beri saya disket berisi satu teks berita. Dia suruh saya baca. Saya buka teks berita itu di program Wordstar 7 di komputer yang ada di ruangan itu.

Menurutku penulisannya agak kacau. Beritanya menarik, tentang dua waria yang berkelahi.

Seorang di antara mereka menyerang yang lain dengan membalurkan sambal cabai ke wajahnya. Bang Eel bertanya apa pendapat saya tentang berita itu.

“Lucu, menarik. Berita ringan. Tapi ditulis dengan kering. Harusnya gayanya seperti feature,” jawabku.

Mungkin pendapatku bisa dianggap sok tahu. Belum juga jadi wartawan sudah menilai teks berita orang lain. Tapi saya menjawab dengan jujur saja. Penilaian tentang berita itu saya dapat dari kegemaranku membaca rubrik Indonesiana di Majalah Tempo. Kisah-kisah ringan ditulis dengan segar.

“Bisa kamu edit jadi menarik seperti yang kamu bilang,” Bang Eel menantangku.

Aduh! Mampus saya! Ini rupanya jebakannya.

Saya mengelak. ”Wah, mosok saya yang ngedit, Bang….”

“Tak apa-apa, coba aja!”

Mengingat bahwa saya sedang diwawancarai untuk diterima atau tidak, saya berpikir positif saja. Saya anggap ini bagian dari tes yang menentukan nasib saya.

Ini pekerjaan redaktur sebenarnya, sedang saya melamar sebagai reporter. Mungkin saya sudah dianggap lulus dan diterima. Ini, tes menyunting berita ini, sebagai tes tambahan yang tak menentukan.

Saya pun menyunting berita itu.  Ada juga gunanya saya ikut pelatihan jurnalistik di kampus dulu.  Saya sunting saja berita itu sebisanya. Saya beri judul yang saya pikir menarik: Sambal Cabai di Muka Elsye untuk Menebus Harga Diri Mimi.

Bang Eel ambil alih posisi di depan komputer, membaca hasil editan saya.

“Kok jadi bagus gini? Kau kuterima. Kerja mulai besok bisa ya?” katanya.

“Siap, Bang!” kataku.

“Nah, sudah kayak polisi kau! Cocoklah di liputan kriminal. Kau nanti tandem dulu ya dengan Jon, nanti kukenalkan. Nanti kau pelajari betul ia itu ya, kau harus bisa masuk ke jaringannya, kau harus bisa jadi lebih hebat dari ia. Masak bertahun-tahun kita hanya mengandalkan ia,” kata Bang Eel.

Sejak hari tes wawancara itu saya sudah mencium bau rivalitas antar Bang Eel dan Bang Jon.  Tapi tak terlalu saya pikirkan, yang penting saya diterima dulu bekerja di “Metro Kriminal”.

Belakangan saya tahu berita yang saya edit itu beritanya Bang Jon. Tulisannya memang kacau.

Hari pertamaku meliput ngikut Bang Jon tak akan pernah kulupakan. Hari itu juga, dalam kepalaku, terbentuk sosok ia yang bagiku kayak monster yang sulit saya terima.  Malam itu ia tidur di Karaoke Abigail di kawasan kota ini yang terkenal sebagai kawasan hiburan malam. Ada pencurian di sana.  Motor pengunjung hilang, mobil pengunjung lain dibongkar.  Toke pemilik karaoke itu marah-marah ke Jon. Apalagi kejadian itu terjadi saat Jon berada di situ sampai pagi.

Tak sulit bagi Jon untuk mencari siapa pelakunya. Jaringan Jon, dari tukang parkir, tukang sapu, anak-anak penjaga toko, juga penadahnya, dengan mudah mengarahkan ke pelakunya.  Pemain baru dari geng Palembang, kata Bang Jon. Si pelaku ditangkap dan dibawa ke Polsek Kota. Saya diajak Jon ke sana.

“Mana itu pelaku curanmor di Abigail semalam?” tanya Jon kepada prajurit jaga.

“Siap, Ndan. Di sel, Ndan…” kata petugas jaga itu.

Bang Jon mengecek buku pemeriksaan. Ia suruh saya catat nama, dan identitas pelaku di buku itu. Jon minta dibukakan pintu sel. Ia masuk dan kudengar dia bilang, “o kamu ya?” kemudian suara orang mengaduh. Bang Jon menjotos si pelaku, sampai terampun-ampun.  Saya terkejut dan memandang si petugas dengan pandangan penuh tanya.

Ia nyengir saja. Katanya,  “Yah, tahulah Bang Jon itu Kapolres bayangan di kota ini…”

Bang Jon keluar dari sel sambil meringis dan mengusap-usap tangannya.

”Kekencengan, Rek…” katanya.

”Sudah kamu catat semua, Dur?” tanyanya padaku. Saya mengiyakan. “Nanti kamu tulis beritanya ya, pakai kode kita berdua. Bagian yang aku mukuli maling itu jangan kamu tulis…” katanya.

Di buku laporan itu saya sempat baca banyak catatan laporan kejadian lain yang buat saya sebagai wartawan sangat menarik. Ada pencurian di kompleks polisi, ada cewek karaoke yang lapor disiksa sama oknum polisi, ada perempuan yang laporkan penipuan oleh orang Singapura. Saya mencatat semuanya.

Saya bertanya pada Bang Jon, “kalau berita-berita yang lain itu mau saya tulis, kita konfirmasi dulu ke siapa ya, Bang?”.

Bang Jon malah melarang saya menulis berita itu. Dia bilang tulis yang maling motor di karaoke Abigail itu saja.

Tanda tanya di belakang kalimat siapa Jon ini makin besar di kepala saya.

Hari pertama yang tak pernah kulupakan. Tapi sejak itu, sosok Bang Jon di mataku mulai menjadi monster yang menakutkan. Dia lebih polisi ketimbang wartawan. Bahkan lebih polisi dari polisi (Dahlan Iskan & Hasan Aspahani – bersambung)