Oleh: Dahlan Iskan
SAYA pun dipaksa kembali mengamati data Covid Tiongkok. Juga menghubungi sahabat Disway yang di sana: ternyata jumlah penderita baru Covid memang melonjak di sana.
Kekhawatiran baru pun meluas. Perburuan obat terjadi. Perburuan obat itu membuat kekhawatiran berubah jadi kepanikan.
Tapi sebenarnya korban baru Covid itu tidaklah sedramatis yang tergambar di media barat.
Memang selama ini di Tiongkok dikenal sebagai paling sedikit penderita Covid-nya. Ketika negara lain hancur-hancuran Tiongkok seperti berkibar sendirian.
Untuk meraih kobaran itu Tiongkok melakukan berbagai cara. Termasuk cara yang amat keras: lockdown total. Bisa langsung satu kota. Bisa juga satu provinsi. Tanpa pengecualian untuk siapa pun.
Ketika penderita baru di negara lain mencapai di atas 20.000/hari di Tiongkok sering hanya di bawah 10 orang. Itu pun ditemukannya di perbatasan. Seperti di bandara internasional atau di pelabuhan laut.
Bila ada penemuan penderita di dalam kota maka kota itu langsung ditutup. Penduduk tidak bisa keluar kota. Bahkan tidak bisa keluar dari apartemen. Sampai pun dilarang keluar dari rumah.
Langsung juga tiap hari dilakukan tes. Masal. Menyeluruh. Kalau 7 hari berturut tidak ditemukan kasus, barulah lockdown diperlonggar.
Anda sudah tahu: kota semetropolitan Shanghai pun di-lockdown secara keras. Apalagi di kota yang lebih kecil.
Kerasnya lockdown itu sampai pintu utama sebuah apartemen harus dikunci dari luar. Kalau di kompleks itu ada 9 apartemen pun masing-masing pintu utamanya dikunci dari luar. Lalu pintu keluar/masuk kompleks juga dikunci. Berlapis. Tidak ada yang bisa berkutik.
Saat dilakukan penguncian seperti itulah terjadi kebakaran di salah satu apartemen. Di Xinjiang. Banyak sekali penghuni meninggal. Bukan karena Covid. Tapi karena terjebak di dalam gedung apartemen yang terkunci. Tidak ada jalan keluar. Tragis sekali. Terpanggang dengan sadar. Heboh sekali. Pemerintah pun dikecam habis-habisan. Di seluruh negeri. Juga di seluruh dunia.
Itu terjadi awal November lalu. Justru ketika rakyat sudah tiga tahun jenuh dengan pengendalian Covid yang amat keras.
Mereka sudah tiga tahun penuh dikekang seperti itu. Mereka ingin ada pelonggaran. Apalagi mereka dengar di negara lain keharusan bermasker pun sudah berubah menjadi sukarela. Sistem karantina juga sudah dihapus.
Maka banyaknya korban kebakaran tersebut menjadi momentum untuk protes. Masal. Di banyak kota.
Meski Tiongkok negara komunis bukan berarti tidak ada protes. Protes sering terjadi di sana. Juga sering diperhatikan. Asal tidak masalah politik. Atau kekuasaan. Kalau protes itu menyangkut kesejahteraan rakyat, kesulitan hidup, ketidakadilan yang dilakukan aparat, pemerintah sangat peka. Protes itu sangat diperhatikan. Tidak jarang sampai jatuh sanksi bagi aparat kejam di satu tempat.
Pun protes soal masih ketatnya penanganan Covid. Pasca kebakaran maut itu. Pemerintah meresponsnya dengan cepat. Mulai 1 Desember 2022 pelonggaran-pelonggaran dilakukan. Secara nasional.
Ketika keputusan pelonggaran itu diambil ganti banyak orang yang khawatir: jangan-jangan akan terjadi ledakan jumlah penderita Covid yang tidak terkendali. Penduduk begitu besar: 1,3 miliar. Kepadatan begitu tinggi. Apalagi di sana belum banyak orang yang pernah kena Covid. Banyak yang belum punya kekebalan. Herd immunity belum terbentuk.
Beda dengan di Indonesia. Penduduk yang sudah punya kekebalan Covid mencapai 99 persen.
Pun soal vaksinasi. Di Tiongkok yang sudah mendapat vaksinasi belum sebanyak di Indonesia. Terutama di kalangan orang tua. Baru sekitar 55 persen. Lansia bukan prioritas. Yang sudah vaksinasi dua kali begitu kecil. Bahkan yang sudah booster lebih rendah lagi.
Itu karena prioritas vaksinasi di Tiongkok untuk kalangan muda. Yang lebih produktif. Kaitannya dengan ekonomi. Agar dalam pandemi pun ekonomi bisa bergerak.
Sahabat Disway di sana punya papa-mama berumur 53 tahun. Belum pernah kena Covid. Kini sahabat Disway tersebut sangat khawatir akan keselamatan orang tuanyi. Apalagi ketika setiap hari dilihat angka penderita baru sangat besar: sekitar 3.000/hari.
Sebenarnya angka itu kecil sekali. Terutama dibanding negara lain yang pernah mencapai 40.000/hari. Lebih lagi dibandingkan dengan jumlah penduduk Tiongkok yang 1,3 miliar jiwa. Hanya karena biasanya tidak sampai 10 orang maka angka 3.000/hari itu mengejutkan.
Padahal dari sekitar 3.000 itu yang mati tidak sampai 10 orang. Itu karena yang sedang mewabah di sana sudah varian Omicron. Bukan lagi varian Delta yang kejam itu.
Memang angka 3.000 itu meragukan. Itu kan hanya yang masuk rumah sakit. Yang tidak masuk RS pasti lebih banyak lagi. Apalagi ada seruan: penderita ringan tidak usah masuk RS. Cukup diatasi dengan obat di rumah masing-masing. Kita di Indonesia sudah menjalaninya.
Akibatnya sama: stok obat habis di mana-mana. Terjadi kepanikan. Banyak orang membeli obat berlebihan. Untuk jaga-jaga. “Kami pun mencari obat antipiretik ke mana-mana. Semua toko obat kehabisan antipiretik,” ujar sahabat Disway itu.
Ayah-ibunyi itu sebenarnya baik-baik saja. Tapi dia harus menyiapkan obat nyeri dan penurun panas tersebut. “Kalau saya sendiri tenang saja. Saya sudah pernah kena Covid,” kata wanita muda dengan 4i ini.
Meski angka Covid di Tiongkok naik drastis, tidak sampai ada tanda-tanda yang sudah longgar itu diketatkan lagi.
Kenyataannya, meski dunia menghebohkan Tiongkok, tetap saja angka Covidnya rendah sekali. Selama tiga tahun ini belum juga mencapai 400.000. Ranking dunianya masih 98. Indonesia di ranking 20. Dengan penderita 6,7 juta orang.
Tapi sekarang ini apalah artinya ranking itu. (Dahlan Iskan)