RADARBEKASI.ID,BEKASI-Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) terkait kemasan rokok polos mendapatkan perhatian dan penolakan dari berbagai pihak. Pakar Desain Komunikasi Visual Dr Listia Natadjaja menilai penggunaan kemasan rokok polos bisa berdampak terhadap penjualan rokok di masyarakat. Mereka akan kesulitan membedakan rokok legal dan ilegal, jika semua kemasan diseragamkan.
“Kemasan yang seragam akan sulit dibedakan karena tidak ada lagi identitas visual yang bisa digunakan konsuman mengenali merek dan kualitas produk,” ujar Listia tertulis, Rabu (25/9).
Dosen sekaligus Ketua Prodi Desain Komunikasi Visual (DKV) Petra Christian University itu menyebut dari sudut pandang desain, kemasan rokok memiliki peran penting memberikan informasi dan identitas produk. Menurutnya, desain dalam kemasan produk sangat berpengaruh dalam keputusan konsumen membeli produk, khususnya yang baru masuk pasar. Desain kemasan yang baik dan menarik bisa menarik minat beli konsumen.
BACA JUGA:Ini 5 Alasan Pemerintah Larang Penjualan Rokok Ketengan
“Kalau semua kemasan seragam maka nilai kompetitif di pasar akan hilang dan ini akan merugikan perusahaan rokok legal karena mereka sudah mendaftarkan merek dan HAKI untuk desain kemasan,” ucapnya.
Di sisi lain, asosiasi rokok juga menolak keras rencana penerapan kemasan polos. Forum Masyarakat Industri Rokok Seluruh Indonesia (Formasi) mencurigai adanya pembunuhan sistematik terhadap industri mereka, jika RPMK terkait kemasan rokok polos diberlakukan. Wakil Sekjen Formasi Abdul Gafur menyatakan penerapan RPMK yang menjadi turunan dari Peraturan Pemerintah (PP) No 28/2024 tentang Pelaksanaan UU No 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan akan berdampak sangat buruk bagi industri rokok skala kecil dan menengah.
“Kami tidak bisa membayangkan dampaknya. Peredaran rokok ilegal pasti makin marak, daya beli menurun, dan ujung-ujungnya terjadi PHK besar-besaran. Negara juga akan kehilangan pemasukan ratusan triliun,” ujar Abdul, Senin (23/9).
BACA JUGA:Bakal Sulit Awasi Larangan Jual Rokok Ketengan dan Dekat Sekolah
Menurutnya, kebijakan penyeragaman kemasan rokok akan merugikan pengusaha kecil karena konsumen tidak bisa membedakan merek rokok yang mereka beli. Semua produk akan tampak sama, hanya dibedakan gambar dan warna seragam. Dia juga menyoroti potensi peningkatan rokok ilegal. Saat ini peredarannya mencapai sepuluh miliar batang per tahun, sedangkan produksi rokok oleh pengusaha skala menengan hanya tiga miliar batang per tahun. Ini menunjukkan tingginya risiko yang dihadapi industri rokok legal, jika RPMK diberlakukan.
“Biaya produksi rokok ilegal tanpa cukai hanya Rp5.000 per 20 batang, sementara rokok legal mencapai Rp22.000 per 20 batang. Dari harga rokok legal, 70 persen masuk ke kas negara melalui cukai, dan kami hanya mendapat 30 persen yang harus mencakup biaya produksi. Dengan aturan baru ini, margin keuntungan makin kecil,” katanya.
Sekjen Formasi JP Suhardjo mengaku asosiasi tak pernah dilibatkan dalam proses penyusunan RPMK ini. Pihaknya merasa pelaku industri rokok selalu disudutkan dengan narasi dampak negatif rokok terhadap kesehatan, seperti serangan jantung dan kanker. Dia berharap Kementerian Kesehatan bisa bijaksana membuat kebijakan terkait rokok, mengingat dampaknya tidak hanya pada kesehatan, tetapi menyangkut mata pencaharian banyak orang dari petani tembakau, buruh pabrik, hingga pedagang kecil.
“Kami seharusnya dilibatkan dalam diskusi soal kebijakan ini. Rokok selalu dianggap penyebab utama berbagai penyakit, tetapi mengapa produk lain seperti gula, yang juga bisa menyebabkan kematian, tidak dikenakan cukai,” ucapnya.
“Industri rokok bukan hanya soal kesehatan, tetapi menyangkut hajat hidup orang banyak, jika aturan ini diterapkan, itu sama saja dengan pembunuhan sistematis terhadap industri kami,” pungkasnya. (ce1)