Banyak orang berpikir komunisme telah mati. Seiring berakhirnya Perang Dingin, runtuhnya Tembok Berlin, dan bubarnya Uni Soviet. Ditambah Mikail Gorbachev menggaungkan glasnost (keterbukaan politik) dan perestroika (restrukturisasi ekonomi), di negeri asal komunisme.
Hingga kini, masih banyak yang berpendapat demikian. Nafas komunisme telah berakhir. Jasadnya terkubur dalam-dalam di liang lahat peradaban dunia.
Di Indonesia, mereka yang berpikiran seperti itu juga ada. Bahkan banyak. Mereka menyebut, komunis adalah ideologi yang sudah bangkrut dan sudah mati di seluruh dunia. Di Republik Rakyat Cina sekalipun, ideologi komunis hanya tinggal di atas kertas. Namun di Indonesia masih banyak yang termakan isu soal kebangkitan komunis.
Benarkah komunisme sebagai ideologi sudah mati?
Sosiolog Inggris, Anthony Giddens, menyatakan bahwa komunisme dan sosialisme merupakan sebuah hantu yang terus membuntuti eksistensi paham liberalisme dan kapitalisme. Komunisme nyatanya cenderung bermetamorfosis menjadi sebuah pergerakan modern yang justru lebih masif dan mengerikan.
Dewasa ini, mencermati dinamika yang ada, pemikiran bahwa komunisme sudah mati bisa terbantahkan. Kita ingat dengan usulan permintaan maaf kepada PKI dan rekonsiliasi? Kita ingat dengan keberanian seorang tokoh yang menyatakan “Saya bangga jadi anak PKI?”. Kita ingat dengan usaha memutarbalik sejarah kelam pengkhianatan PKI? Mereka dipropagandakan sebagai korban, orang-orang yang terzalimi.
Belakangan ini, jika kita betul-betul meneropong kondisi bangsa dan negara, situasinya mirip dengan kondisi jelang 30 September 1965. Setidaknya itu yang diungkapkan Sastrawan Taufik Ismail. Dia menilai kondisi Indonesia seperti situasi kebangkitan Partai Komunis Indonesia. “Situasi minggu-minggu dan bulan-bulan terakhir ini, mirip situasi pada tahun 62, 63, 64, dan 65,” ungkapnya dalam sambutannya dalam deklarasi Alumni Universitas Indonesia Bangkit untuk Keadilan di Perpustakaan UI, Jumat, 27 Januari 2017.
Akhir-akhir ini kita memang patut prihatin. Seperti ada anasir-anasir dari pihak tertentu yang ingin memecah belah bangsa. Ada upaya adu domba. Menjelekkan agama, menghujat dan menghina tokoh agama. Dan seterusnya.
Terkini, kita terkejut dengan adanya Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP). RUU yang termasuk dalam program legislasi nasional (prolegnas) 2020-2024 ini menuai kritik lantaran tak memasukkan TAP MPRS soal larangan ajaran komunisme/marxisme-leninisme.
Jika merujuk draf RUU HIP, ada 58 pasal dan delapan peraturan yang dijadikan konsideran. Anehnya, peraturan yang dijadikan konsideran itu justru tidak berkaitan dengan Pancasila. Dan
TAP MPRS XXV/1966 tentang pelarangan penyebaran ideologi Komunisme, Marxisme dan Leninisme justru tidak jadi konsiderannya.
Prof. Jimmly Asshiddiqi menegaskan, TAP MPRS mesti menjadi roh hirearkis yang layak diposisikan sebagai dasar pembentukan undang-undang, mengingat kedudukan yang tidak bisa serampangan dalam aturan Indonesia sebagai negara hukum. Karena itu harus dimasukkan dalam RUU HIP.
Suara-suara penolakan juga mulai terdengar. Pimpinan Pusat Gerakan Pemuda (GP) Ansor meminta DPR untuk melakukan kajian yang mendalam terkait draf Rancangan Undang-Undang (RUU) Haluan Ideologi Pancasila (HIP). Badan Legislasi (Baleg) yang ditugaskan untuk membahasnya juga diminta untuk tidak terburu-buru dalam pembahasannya nanti.
GP Ansor sendiri memiliki empat catatan terkait RUU HIP. Dua di antaranya yakni, pertama, tak dicantumkannya TAP MPRS Nomor XXV Tahun 1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia dan Larangan Setiap kegiatan Untuk Menyebarkan Atau Mengembangkan Faham atau Ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme, menjadi landasan RUU HIP.
Kedua, melihat banyaknya perdebatan dari RUU HIP. Salah satu perdebatan yang timbul adalah RUU itu terkesan sebagai upaya terselubung eks PKI dan kelompoknya untuk balas dendam sejarah yang menimpa mereka. Untuk itu, dibutuhkannya diskusi dan masukan dari berbagai kalangan sebelum dimulainya pembahasan RUU HIP.
Di tengah pandemi Corona yang belum berakhir, lolosnya RUU HIP dalam pembahasan di DPR ini sungguh memprihatinkan. Sikap Fraksi PKS sendiri sudah jelas. Terang-benderang. Menolak RUU HIP ini jika tak memasukkan TAP MPRS di atas dalam konsiderannya.
Hari ini, ketika kita justru tidak menjadikan TAP MPRS XXV/1966 ke dalam RUU HIP, kita seperti sedang mengkhianati perjuangan Para Pendiri Bangsa. Kita seolah melupakan perjuangan Soekarno, Mohammad Yamin, Dr. Soepomo. Juga
Mohammad Hatta, Mr. AA Maramis, Abikoesno Tjokrosoejoso, Abdul Kahar Muzakir, H. Agus Salim, Achmad Soebardjo, dan KH. Wahid Hasjim. Mereka inilah dan yang bertugas merumuskan kembali Pancasila sebagai Dasar Negara berdasar pidato Soekarno tersebut, dan menjadikan dokumen tersebut sebagai teks untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia.
Saya teringat pesan Mohammad Natsir tentang agama dan komunisme yang ditulis pada Maret 1957. Kata beliau:
Biarpun Digodog
Apakah mungkin minyak dan air dipersatukan, meskipun digodog dan diudek-udek?
Waspadalah terhadap politik “menyodorkan tangan” yang palsu!
Waspadalah terhadap “serigala berbulu kibas yang hendak dimasukkan sekandang dengan ternak!”
Hasbunallah wani’malwakil! (*)