“Maaf, saya lagi semedi, Pak.”
“Tidak mau menjawab kesimpulan diskusi itu?” tanya saya lagi.
“Saya lagi semedi.”
“Sampai kapan? Sampai keritingnya lurus?”
“Pantang lurus!”
Itulah dialog saya dengan Si Cantik Rambut Keriting, Si Perintis Terapi aaPRP, Si Ahli Bedah Plastik, Si Ahli Terapi Stem Cell, Si Pemilik Nama Satu Kata: Karina.
Berarti Dr dr Karina tidak mau memberikan penjelasan terbuka soal yang lagi beredar luas di medsos: hasil diskusi pengurus pusat Perapi (Perhimpunan Dokter Spesialis Bedah Plastik Rekonstruksi dan Estetika Indonesia) 6 Agustus lalu.
Dalam kesimpulan nomor 1 diskusi tersebut disertakan pendapat Prof D dr Rahayuningsih, pakar hemostasis, trombosit, dan komponennya.
Menurut Prof Rahayu, di dalam trombosit tidak ada kandungan growth factor. Kalimat utuh di kesimpulan itu –karena agak panjang tariklah napas dulu: “trombosit tidak menghasilkan growth factor dan sitokin sendiri karena tidak mempunyai inti sel, melainkan dapat dari plasma yang masuk ke dalam celah granula alfa di dalam trombosit.
Jadi bila pasien dalam keadaan badai sitokin maka sitokin banyak tersimpan dalam trombosit yang bila dipecah maka akan keluar dalam pembuluh darah.
Trombosit menyerap plasma yang mengandung growth factor, platelet plaque, adhesi, agregasi, release granula alfa PF 4, dan bTG yang dapat menetralkan heparin.
Juga pencetus Inflamasi CD40L PF4 dan bTG CD40 dapat menyebabkan TRALI (transfusion related acute lung injury) PF 4 ada di granula alfa akan berikatan dengan heparin.
Kompleks akan merangsang antibodi terbentuk kompleks ag-ab, terjadi heparin induced trombositopenia (komplikasi thrombosis dari vaksin AstraZeneca)
Dikhawatirkan bila trombosit dipecah maka efek sitokin dan inhibisi heparin semakin besar yang dapat menimbulkan trombosis.
Walaupun dalam aaPRP sudah disaring dan tidak terdapat sel trombosit, tetapi isi dari trombosit yang akan memperberat trombosis”.
Embuskanlah napas sebelum meneruskan membaca Disway berikut ini.
Berarti klaim Karina terbantahkan secara telak oleh pendapat Prof Rahayu tersebut.
Padahal dalam tesisnyi, Karina tegas-tegas mengatakan: di dalam trombosit terkandung lebih 1000 jenis protein. Yang kalau dikelompokkan terdiri dari tiga golongan besar: anti radang, anti virus, dan faktor penumbuh cell (growth factor).
Berangkat dari pemikiran itulah Karina mencoba protein yang sudah dibuang ‘kulitnya” itu untuk terapi Covid-19. Dengan cara diinfuskan ke pasien –dari darah pasien sendiri.
Begitu bertolak belakang pendapat itu. Dari kesimpulan diskusi yang beredar luas itu, di mata publik, nama Karina langsung jatuh terkulai.
Untung Karina sudah sering dijatuhkan seperti itu. Sejak dia mempraktikkan terapi stem cell. Juga ketika Karina menjalankan terapi PRP. Karina kali ini cukup menghadapi itu dengan cara Jawa-nyi: semedi. Tiarap.
Tapi publik tentu perlu tahu mana yang benar. Mungkin tunggu Karina selesai semedi.
Saya juga mendapat kiriman ‘kesimpulan diskusi’ tersebut. Bahkan tidak hanya dari satu pengirim.
Saya mendapat kiriman dari berbagai jurusan. Saya baca berulang kali kiriman itu. Saya pun membaca ulang tiga tulisan saya soal Karina: siapa tahu ada yang salah.
Dari yang beredar di medsos itu memang kurang jelas: itu notulensi diskusi atau keputusan rapat. Dari judul undangannya jelas: diskusi ahli. Tujuannya juga bagus dan simpatik: untuk penyempurnaan penelitian aaPRP.
Tapi kesimpulan yang beredar di medsos itu seperti keputusan sebuah rapat. Sama sekali tidak disebut di situ apa pendapat Dr dr Karina. Padahal Karina disebut hadir di diskusi tersebut.
Setelah membaca ulang Disway, tentang Karina saya memang merasa kurang cermat di satu hal: tidak menyebutkan ini. Ketika pasien menerima terapi aaPRP tetap mendapat obat yang lain. Terapi aaPRP bukan satu-satunya yang diberikan kepada si pasien saat itu.
Tapi ternyata saya juga sudah menulis: penelitian aaPRP Karina itu sudah dilakukan dengan kontrol. Yakni pasien penelitian dibagi dua.
Satu kelompok diberi obat plus aaPRP. Satu kelompok lagi diberi obat tanpa tambahan aaPRP.
Berarti secara tidak langsung saya sudah menyebutkan aaPRP bukan terapi tunggal. Berarti tidak ada yang saya sebut kurang cermat tadi.
Dan lagi naskah yang beredar luas di medsos itu memang tidak mempersoalkan Disway.
Saya saja yang bersikap ingin mendahulukan introspeksi: jangan-jangan ada yang salah di tulisan itu –secara jurnalistik.
Kelihatannya diskusi itu sendiri hanya mempersoalkan Karina. Dianggap over klaim. Karina juga dipersalahkan terlalu terburu-buru mengungkapkan hasil penelitiannyi. Itu dianggap melanggar etika Perapi.
Setelah melakukan introspeksi di atas, barulah saya kontak Karina. Saya ingin tahu tanggapan Karina. Juga ingin bertanya: apa saja yang dia ucapkan di diskusi tersebut.
Apakah Karina tetap pada pendapatnyi? Atau mengaku salah? Mengakui Prof Rahayu yang benar —bahwa di dalam trombosit tidak terdapat protein penumbuh?
“Baiknya saya semedi saja dulu. Saya ini lebih muda. Harus menghormati senior,” ujar Karina.
Saya memuji sikap Karina yang tidak konfrontatif. Padahal harusnya dia emosi. Bayangkan, nama Karina langsung jatuh di mata publik. Sikap semedi Karina itu saya nilai sebagai bentuk pengorbanan yang luar biasa besar dari seorang peneliti.
Apalagi Karina adalah salah satu mahasiswi Prof Rahayu (kini 74 tahun) di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Saya pun menghormati Karina yang lagi semedi. Saya tidak memprovokasi dia untuk melawan.
Asal, itu tadi, janganlah Karina terlalu ‘dalam’ bersemedi yang sampai membuat keritingnyi menjadi lurus.
Apakah akibat kesimpulan diskusi yang beredar luas di medsos itu permintaan terapi aaPRP langsung berhenti?
“Rumah sakit yang minta kerja sama tambah banyak,” ujar Karina.
Tapi banyak juga dokter yang tidak menyetujui permintaan pasien untuk menjalani terapi aaPRP. Dengan alasan: menunggu hasil uji coba tahap 3.
Di tengah menghadapi persoalan itu, Karina kaget: Wakil Ketua DPR Dr Ir Sufmi Dasco Ahmad, tiba-tiba ke laboratorium Hayandra milik Karina. Senin lalu. Dasco adalah juga ketua tim penanganan Covid-19 DPR.
Karina menerima kunjungan DPR di HayandraLab.
Di HayandraLab, Dasco langsung membuat pernyataan mendukung Karina. Karina tersipu-sipu. Apalagi, di situ juga, Dasco langsung menelepon Menteri Kesehatan Budi Sadikin. Lalu menyerahkan HP itu ke Karina agar bicara sendiri dengan Menkes.
Karina kaget kok tiba-tiba harus bicara dengan Menkes. Kebetulan Juni lalu Karina sudah kirim surat ke Kemenkes. Minta dukungan agar aaPRP dilihat sebagai salah satu cara menangani Covid-19.
Belum lama Karina bicara, HP itu diminta lagi oleh Dasco. Harusnya Karina jangan mengembalikan HP itu –bawa saja lari, itu HP baru yang mahal.(Dahlan Iskan)