POLITIK itu kotor. Politisi itu bermuka tebal. Mereka pintar bersandiwara. Etika dan kesantunan lenyap.
Itu sejumlah stigma yang kerap diarahkan kepada para politisi. Tapi sesungguhnya, benarkah demikian?
Saya menilai stigmatisasi itu tidak benar.
Stigma tersebut terjadi, lantaran bisa saja karena publik/masyarakat, kecewa dengan perilaku para politisi yang mengabaikan adab kesantunan, loncat pagar/parpol, tidak satunya kata dengan perbuatan. Dan mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan.
Apa yang sering diungkapkan para politisi “semua ini demi kepentingan publik”, sejatinya tidak bisa dilepaskan dari unsur keadilan, kesejahteraan, dan kebebasan.
Politisi sejatinya berlomba-lomba berbuat kebajikan, menjadi pelayan publik dan mengkonkretkan ketertiban dan kedamaian di tengah masyarakat.
Memang, tidak dipungkiri seringkali terjadi ada gesekan di lapangan antar sesama politisi dalam mewujudkan kepentingan publik.
Dalam konteks itu, saya mencoba berpikir positif. Hal tersebut sebagai dinamika dalam konteks berlomba-lomba memberi pelayanan yang terbaik bagi masyarakat.
Mengabdi kepada publik, berarti mengabdi kepada nilai-nilai kemanusiaan, kebenaran dan keadilan. Dan parpol dapat mewujudkannya, salah satunya lewat kekuasaan.
Dengan kekuasaan, pelayanan publik dapat diwujudkan lewat regulasi, anggaran dan pengawasan. Tapi kekuasaan bukanlah semata-mata tujuan berpartai.
Lebih daripada sekedar mengejar kekuasaan, sebenarnya berparpol adalah mengabdi kepada kepentingan publik.
Yang saya prihatin, berparpol mengabaikan etika, kesantunan dan saling menjatuhkan. Marilah berpolitik yang santun dan beradab. (*)