RADARBEKASI.ID, CHINA- Keluarga yang anggotanya meninggal akibat virus corona di Kota Wuhan merasa tengah dipantau dan dibungkam oleh pihak berwajib. Kini mereka meminta dipertemukan dengan penyelidik Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Keluarga dari korban Wuhan mengatakan mereka dipantau oleh pihak berwenang dan diperingatkan untuk tidak berbicara pada media asing. Beberapa keluarga memperingati satu tahun kematian orang terkasih mereka akibat COVID-19.
China menepis bahwa tim WHO tengah melakukan “investigasi” dengan mengatakan mereka harus mengikuti “konsensus sebelumnya.” Banyak warga merasa putus asa serta ingin tahu sumber penularan COVID-19 menyusul kematian orang-orang terdekat mereka, walaupun Wuhan belum melaporkan kematian baru akibat virus tersebut sejak April tahun lalu.
Warga mendesak Pemerintah yang menutup-nutupi sumber penularan di kota tersebut untuk ditahan, karena “kebohongan dan kedunguan” mereka telah menyebabkan berkembangnya virus baru di sana.
Pekan ini, Zhang Hai, 51 tahun asal Wuhan yang saat ini tinggal di kota Shenzhen memperingati satu tahun kematian ayahnya. Ayah Zhang, seorang veteran patriotik yang dihormati atas keterlibatannya dalam ujicoba nuklir pertama di China pada tahun 1960-an, tertular COVID-19 di rumah sakit militer Wuhan setelah operasi patah tulang pertengahan Januari tahun lalu.
Satu minggu kemudian, pria berusia 77 tahun tersebut meninggal dunia akibat gangguan pernapasan yang disebabkan oleh COVID-19, menurut sertifikat resmi yang dilihat ABC.
“Prioritas utama Pemerintah adalah untuk melindungi kesehatan dan keamanan warga, namun gagal untuk memberitahukan publik saat wabah virus corona terjadi,” ungkap Zhang.
“Ayah saya, seorang tentara yang sangat patriotik, telah menyerahkan masa mudanya bagi bangsa … namun ia dibunuh oleh COVID-19 di kemudian hari.”
Menurutnya, epidemi ini tidak akan terjadi seandainya pemerintah benar-benar mengedepankan kepentingan masyarakat. Ia juga mengatakan sangat ingin bertemu dengan pakar WHO yang sempat ke Wuhan untuk memeriksa sumber penularan dari virus mematikan tersebut.
Jumat lalu, WHO menulis di akun Twitter-nya tentang bagaimana timnya mengunjungi rumah sakit, laboratorium virus, dan pasar di Wuhan, serta berbicara dengan pihak penanggap awal dan beberapa pasien COVID-19.
Namun, juru bicara Kementerian Luar Negeri China, Zhao Lijian, menepis pernyataan jika tinjauan lapangan tersebut adalah “investigasi” dan mengatakan harus mengikuti “konsensus sebelumnya”.
“Pertukaran dan kerja sama di dalam penelusuran asal antara pakar WHO dan warga profesional adalah bagian dari studi global, bukan investigasi,” kata Zhao.
Namun, Zhang mengatakan ia tidak percaya dengan kunjungan yang diatur dan dibatasi oleh Pemerintah China dan berpikir jika informasi yang diberikan oleh pasien bisa jadi “sangat mencurigakan”.
“Mereka bisa jadi sudah dilatih beberapa bulan lalu dan telah diperintahkan untuk menyusun dan mengulangi naratif Pemerintah,” ujar Zhang.
“Saya sangat khawatir pakar WHO di Wuhan tidak cocok dengan penipu ini.” ‘Hidup saya lebih parah dari mati’
Zhang telah membuat sebuah kelompok chat di platform media sosial WeChat, di mana ia mempersatukan lebih dari 100 warga Wuhan yang telah kehilangan keluarga mereka di tengah epidemi dan menginginkan penjelasan.
Kelompok WeChat tersebut telah disensor pada 16 Januari, dan ketiga anggotanya telah dilarang untuk mengirim komentar, menurut pernyataan beberapa anggota kelompok kepada ABC.
Tiga keluarga mengatakan kepada ABC jika mereka telah diperingatkan untuk tetap diam dan aktivitas sehari-hari mereka juga dipantau oleh pihak berwajib di Wuhan. Mereka meminta agar ABC menyembunyikan identitas mereka, untuk menghindari penganiayaan.
“Saya sempat diwawancara polisi, mendapati kamera yang diletakkan menghadap rumah, dan pemecatan dari tempat kerja. Mereka mengancam keluarga saya, mengintai aktivitas saya, yang menurut saya jahat,” kata orangtua yang kehilangan satu-satunya anaknya.
“[Saya diperingatkan] untuk tidak menghubungi media asing, karena hal ini akan digunakan dalam gerakan anti-China, yang merugikan negara kami,” katanya lagi.
Kepada ABC, ia menekankan keinginannya agar “siapapun mengetahui bahwa pemerintah adalah pembunuh karena telah menyembunyikan epidemi”. “Saya telah kehilangan satu-satunya anak. Hidup saya lebih parah dari mati,” katanya.
ABC telah menghubungi WeChat untuk berkomentar. Keluarga lain juga mengatakan mereka sangat takut untuk meminta jawaban dari penyelidik WHO, karena permintaan mereka tidak dihiraukan dan ditepis oleh pihak berwajib sejak tahun lalu.
“Saya harap pakar WHO dapat mengerti bahwa korban dan keluarga mereka menginginkan sebuah penjelasan dari Pemerintah namun kami merasa sudah kehilangan harapan,” katanya. ABC telah menghubungi WHO dan seorang pakar dari tim investigasi.
Zhang tidak mengangkat hampir semua panggilan telepon dari orang asing, karena menurutnya telepon tersebut bisa saja adalah dari pemerintah yang meminta agar ia berhenti membeberkan hal secara online.
Namun ia tetap menyuarakan pandangannya sebagai bentuk duka atas kepergian ayahnya. Ia menggunakan pengalaman pribadi untuk menyoroti bagaimana laporan media di China telah membantu menutupi isu keadilan sosial lainnya setelah epidemi.
November lalu, gugatan Zhang terhadap Pemerintah kota Wuhan dan provinsi Hubei ditolak oleh Pengadilan Tinggi Hubei, yang menyatakan bahwa Zhang tidak memenuhi syarat untuk menuntut Pemerintah.
Pemerintah Wuhan mematikan telepon ABC ketika diminta untuk berkomentar dan tidak membalas email.
Pengadilan Tinggi Hubei telah dihubungi beberapa kali namun tidak merespon. Zhang mengatakan ia telah meminta agar pengadilan menyediakan pernyataan resmi bahwa kasus tersebut tidak dilanjutkan, namun ditolak.
Ceritanya tidak pernah diberitakan oleh media di China daratan, dan lima akunnya di media sosial China Weibo telah dilarang secara permanen. Weibo juga telah dimintai tanggapan oleh ABC. “Saya adalah rakyat biasa di negara ini, namun saya punya harga diri dan hak,” kata Zhang.
“Namun, lebih banyak seseorang bicara dan mengkritik Pemerintah, lebih kuat juga pengawasan dan penganiayaan yang diterimanya.” Zhang mengatakan investigasi WHO adalah “satu-satunya harapan” baginya.
Ia mengatakan ingin para pakar memahami “seberapa signifikan pekerjaan dan tanggung jawab mereka” bagi keluarga dari lebih dari dua juta korban di seluruh dunia. “Saya tidak akan pernah memaafkan diri saya sendiri jika saya tidak berbicara demi ayah saya, yang hanya dapat menjadi korban selama-lamanya,” ujarnya. (jpnn/ABCI)