Berita Bekasi Nomor Satu

Kekerasan Fisik Mendominasi

RADARBEKASI.ID, BEKASI – Dorongan pengesahan Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) terus disuarakan. Tahun ini RUU PKS akhirnya masuk ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) prioritas. Desakan ini kembali terdengar di Kota Bekasi oleh sekelompik aktivis perempuan Mahasiswa, menyusul masih tingginya kasus pelecehan seksual maupun kekerasan lain terhadap perempuan.

Tahun 2020 lalu, RUU PKS dicabut dari daftar Prolegnas dengan alasan proses pembahasan yang sulit. Padahal RUU ini dinilai mendesak oleh sejumlah pihak. Total laporan kekerasan yang diterima oleh Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Kota Bekasi tahun 2020 kemarin sebanyak 200 kasus, jumlah ini menurun sedikit dibanding tahun sebelumnya sebanyak 267 kasus.

Aktivis perempuan Korp Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Kota Bekasi memandang RUU ini penting bagi kaum perempuan untuk melakukan pencegahan terhadap kekerasan seksual, mengembangkan dan melaksanakan penanganan hingga pemulihan melibatkan masyarakat dan korban, memberikan keadilan bagi korban kejahatan seksual, dan menjamin terlaksananya kewajiban negara, peran keluarga, partisipasi masyarakat, dan tanggung jawab koorporasi dalam menciptakan lingkungan bebas kekerasan seksual.

“Selain dari pada itu (peringatan hari perempuan se dunia), ada harapan lain dari adanya aksi tersebut. Yaitu mendorong kepada pihak berwenang agar segera mengesahkan RUU PKS dan mengedukasi masyarakat sekitar,” kata Ketua Kopri Sekolah Tinggu Ilmu Ekonomi (STIE) Mulia Pratama, Elvin Nur Fadhila (20), usai melakukan aksi damai akhir pekan kemarin.

Data yang dihimpun sampai Oktober 2020 kemarin, total 115 laporan kasus kekerasan terhadap perempuan. Kasus kekerasan didominasi oleh kekerasan fisik sebanyak 71 kasus, 4 diantaranya merupakan kasus kekerasan seksual.

Ia juga menggaris bawahi budaya patriarki di tengah masyarakat. Budaya ini disebut menimbulkan dampak menyudutkan perempuan sebagai kelompok sosial kelas dua di bawah laki-laki. Dampak tersebut diantaranya perempuan acap kali dianggap sebagai sebagai kelompok lemah, dan menghalangi hak dan cita-cita perempuan.”Cukup sudah sampai di sini, sampai detik ini,” tukasnya.

Dua kelompok laporan yang diterima oleh DP3A menyebutkan ada 200 kekerasan terjadi pada perempuan. Sementara anak-anak sebanyak 196 kasus, keduanya menurun meskipun dalam jumlah kecil dibandingkan tahun sebelumnya.”Untuk kasus perempuan pada tahun 2019 ada 267 kasus, untuk anak ada 197 kasus,” terang Sekertaris DP3A Kota Bekasi, Karya Sukmajaya.

Selama ini, pihaknya memberikan pendampingan kepada setiap laporan yang masuk. Dijelaskan sederet langkah yang dilakukan mulai dari mendalami laporan, melakukan klarifikasi, melakukan mediasi, mendampingi proses hukum, hingga pendampingan selama proses pemulihan psikologis oleh tim yang dimiliki oleh DP3A.

Tahun ini, upaya menekan kasus kekerasan terhadap perempuan harus dilakukan menyeluruh oleh semua pihak, baik pemerintah, masyarakat, lembaga sosial, hingga komunitas sesuai kemampuan masing-masing. Pihaknya juga telah memberikan kontak pengaduan bagi masyarakat untuk menyampaikan laporan yang dihadapi oleh perempuan, anak-anak, hingga permasalahan keluarga.

Setiap individu musti memahami keberadaan masing-masing individu, baik sebagai orang tua, anak, pasangan suami istri, maupun anggota masyarakat akan tugas dan fungsinya. Tugas dan fungsi masing-masing individu musti diperhatikan dan dijalankan dengan baik, penyimpangan yang terjadi terhadap tugas dan fungsinya akan berpengaruh pada orang lain, disadari atau tidak.”Perkuat kualitas dalam keluarga, sehingga terhindar dari hal-hal yang dapat memicu tindak kekerasan,” tambahnya.

Sementara itu, Anggota DPRD Kota Bekasi Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN), Evi Mafriningsianti menilai bahwa kekerasan terhadap perempuan harus dilihat secara menyeluruh. Meskipun catatan laporan kasus baik yang diterima oleh DP3A maupun Polres Metro Bekasi Kota menurun dibandingkan tahun sebelumnya, laporan yang masuk merupakan gambaran bahwa perempuan masih dijadikan objek, rentan menjadi target kekerasan dalam bentuk apapun.

Ia mengingatkan, kekerasan ini bisa terjadi kepada siapapun, pemerintah mulai dari pusat hingga daerah harus hadir dalam bentuk regulasi perlindungan terhadap perempuan dan anak. Upaya menekan angka ini harus melibatkan semua pihak, baik pemerintah maupun bersama dengan masyarakat dalam bentuk kemitraan.

“Kebijakan ini akan menjadi payung hukum dalam upaya mengakhiri kekerasan terhadap perempuan dan anak. Langkah-langkah masif yang diambil antara lain mengesahkan RUU PKS, berfungsinya Satgas perlindungan perempuan dan anak, menggalang dukungan dari stake holder, dan menjamin informasi hak perempuan dan anak yang menjangkau seluruh masyarakat,” ungkapnya.

Dalam proses mediasi, perlu melibatkan pihak ke tiga saat mendapati masalah, selain itu perlu endampingan terhadap korban kekerasan perempuan. Edukasi kepada masyarakat penting guna menciptakan budaya akan di ruang publik.

“Menciptakan keamanan secara preventif lebih efektif, setelah edukasi berjalan dengan baik, awareness telah kuat dan budaya aman sudah solid, insyaAllah kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak semakin menurun,” tandasnya. (Sur)


Solverwp- WordPress Theme and Plugin