Berita Bekasi Nomor Satu

Teror, Penyalahgunaan Peran Perempuan

Ira Pelitawati
Ira Pelitawati
Ira Pelitawati
Ira Pelitawati

RADARBEKASI.ID, BEKASI – Polisi menyebut perempuan berusia 25 tahun berinisial ZA yang melakukan serangan dugaan teroris di Mabes Polri, Rabu (31/3) sore, merupakan lone wolf dan berideologi ISIS.

Headline BBC News Indonesia

Peran perempuan mulai diperhitungkan oleh pihak yang lebih mengiming-imingi jalan pintas ke surga, karena sejumlah alasan yang masuk akal. Pertama, sebagai pengikut yang loyal dan memiliki tingkat kepatuhan yang tinggi.

Kedua, sifat mudah percaya dan tunduk dengan doktrin berkedok agama. Ketiga, lebih komunikatif baik secara media sosial atau pun interaksi sosial meski cenderung memiliki tingkat literasi yang rendah dalam pemahaman. Keempat, lebih mudah mengelabui aparat atau penegak hukum (manipulatif). Kelima, memanfaatkan kemampuan multitasking yang dimiliki perempuan.

Tak hanya ibu rumah tangga dan perempuan biasa yang dilibatkan dalam sejumlah aksi terorisme di Indonesia biasanya terpapar dari jeratan doktrin pasangan, dalam hal ini suami.

Sosial media pun dipakai demi menjaring kaum milenial di berbagai lembaga universitas dalam dunia pendidikan, para teroris ini telah lama terindikasi menyusup ruang-ruang diskusi sebagai ajang provokasi dan beberapa sempat menyasar kelompok mahasiswa yang pintar yang sering menyendiri.

Peningkatan peran perempuan dalam terorisme sangat signifikan karena memiliki kemampuan lebih dalam hal merekrut dan melakukan mobilisasi terhadap perempuan lain sebagai mahramnya. Ketrampilan perempuan juga mulai terasah dengan mengambilperan menjadi fighter atau perakit sekaligus pelaku bom bunuh diri.

1. 29 Juli 2010, menyembunyikan Noordin M. Top. Divonis 3 tahun penjara.
2. 10 Desember 2016, merencanakan bom bunuh diri di Istana Negara. Divonis 7,5 tahun penjara.
3. 13 Mei 2018, pelaku bom bunuh diri di Gereja Kristen Indonesia, Surabaya.
4. 14 Mei 2018, pelaku bom bunuh diri di rusun Wonocolo, Sidoarjo.
5. 13 Maret 2019, pelaku bom bunuh diri di Sibolga, Sumut.

Bahkan berdasarkan data dari Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) pada tahun 2018 saja mencatat ada 13 perempuan yang dilibatkan dalam aksi teror, sedangkan pada tahun 2019 malah bertambah menjadi 15 orang.

Bisa jadi para teroris ini telah membaca buku karya Buya Hamka yang berjudul “Berbicara Tentang Perempuan”. Pada halaman 15 menuliskan sebuah pesan sebagai berikut: “Jika perempuannya baik, maka baiklah negara, dan jika mereka bobrok, bobrok pulalah negara. Mereka adalah tiang; dan biasanya tiang rumah tidak begitu kelihatan. Namun, jika rumah sudah condonga, periksalah tiangnya. Tandanya tianglah yang lapuk.”

Buku ini dengan membahas sudut pandang Islam tentang perempuan, seperti berbagai ayat tentang perempuan, kedudukan yang sama antara lelaki dan perempuan, bermacam hak perempuan, pembagian tugas, hak dan kewajiban antara lelaki dan perempuan dalam rumahtangga, hak waris dan kemuliaan seorang ibu. Jadi jelas bahwa justru perempuan begitu sangat mulia dalam Islam.

Di era digital yang makin berkembang dan pesatnya arus tehnologi informasi serta komunikasi, ternyata tak serta merta membuat isu seputar perempuan dan pandangan Islam terhadap perempuan memudar.

Keterbukaan informasi yang begitu deras memanfaatkan kerentanan perempuan yang cenderung lebih mengedepankan rasa hingga banyak isu terorisme dan radikalisme dengan mudah masuk ke dalam pemahaman perempuan, agar mudah diarahkan dalam ketersesatan yang tiba-tiba.

Kaum milenial memang masih mencari jati diri, pastinya akan suka dengan perdebatan yang panjang dan dibuat penasaran dengan berbagai tayangan media sosial yang makin sulit disaring, dan sulit ditemukan kebenaran-nya.

Seharusnya peran pemahaman ideologi Pancasila lebih diimplementasi di berbagai wilayah nusantara. Bukan sekadar lambang negara yang diagungkan, tapi lebih pada penguatan dan pemantapan, hingga mendarah daging di setiap warga negara Indonesia.

Sebenarnya, pemerintah sudah cukup tegas pada isu radikalisme, dan terorisme, namun dampak sejauh ini belum terasa maksimal mengena di tiap lini masyarakat. Ada baiknya dalam meliterasikan tentang idologi Pancasila, agar penerapan pembelajaran di masyarakat harus bisa disesuaikan dengan jaman yang mulai menjelajahi ranah digital.

Membudayakan gotong royong sebagai sari pati Pancasila, melalui konsep literasi digital dapat dilakukan melalui program yang disusun secara terencana, sistematis, berkesinambungan dan terpadu, hingga menjadi panduan bagi seluruh penyelenggara negara, komponen bangsa dan warga negara Indonesia. Konsep ini layaknya pelaksanaan Pedoman Penghayatan Pengamalan Pancasila (P4) yang dinilai berhasil pada masa lalu.

Mari mulai menata dan memperbaiki sistem, meski hanya upaya kecil dari lini terbawah yaitu keluarga.

“Kekeluargaan adalah suatu faham yang stati, tetapi gotong royong menggambarkan satu usaha, satu amal, satu pekerjaan yang dinamakan anggota terhormat Soekarjo satu karyo, satu gawe.”
Soekarno. (*)

Pegiat Literasi dan Ketua Forum TBM Kabupaten Bekasi.


Solverwp- WordPress Theme and Plugin