Berita Bekasi Nomor Satu

Subsidi SMA/SMK

KUNJUNGI SEKOLAH : Heri Koswara saat mengunjungi SMAN 12 Bekasi belum lama ini.

RADARBEKASI.ID, – Pembelajaran Tatap Muka (PTM) perlahan-lahan sudah diperbolehkan secara bertahap. Termasuk SMA/SMK di Kota Bekasi yang berada di bawah kewenangan Provinsi Jawa Barat.

Di Kota Bekasi, sepengetahuan saya, SMA Negeri yang sudah menyelenggarakan belajar mengajar secara tatap muka antara lain; SMAN 1, SMAN 2, SMAN 9, SMAN 15, SMAN 21 dan SMAN 18.

Tentu saja kebijakan PTM ini dibarengi dengan kebijakan 50 persen kapasitas rombel dan menerapkan protokol kesehatan (prokes) yang ketat. Serta kewajiban vaksinasi para siswa dan tenaga pengajarnya.

PTM ini sudah barang tentu disambut gembira para stakeholder pendidikan. Meski pun, masih terasa waswas dibayang-bayangi munculnya Covid-19 gelombang 3.

Terlepas dari kekhawatiran tersebut, PTM terbatas masih lebih baik ketimbang proses belajar mengajar dilakukan secara daring/school from home (SFH). Sebab, potensi learning loss (kemunduran akademis) dan lost generation (generasi yang hilang) dalam SFH sangat tinggi. Dan itu semua sudah dirasakan selama 1,5 tahun kita jalani.

Kendati demikian, bukan berarti PTM tanpa ada masalah. Saya masih sering mendengar dan menemukan langsung di lapangan, keluhan para orangtua siswa di SMA. Terkait adanya pungutan oleh pihak sekolah. Padahal, tanpa ada pungutan mengatasnamakan kebutuhan sekolah saja, para orangtua sudah sangat kerepotan. Apalagi di masa pandemi seperti ini. Di mana kebutuhan ekonomi keluarga sedang dalam tahap krisis.

Ketika saya masih di Komisi 5 (mitra kerja Dinas Pendidikan) DPRD Provinsi Jawa Barat pada tahun lalu, Gubernur Jabar Ridwan Kamil pernah menyatakan siswa SMA/SMK di Jabar akan menikmati pendidikan gratis. Sayangnya, pernyataan baik itu tidak cukup hanya diucapkan, perlu dikonkretkan dalam bentuk kebijakan anggaran dalam APBD dan dananya terserap secara proporsional.

Misalnya, biaya pendidikan (SPP) untuk SMA di kota-kota besar di Jabar, seperti Kota Bekasi, Kota Depok dan Kota Bandung, itu sangat besar. Berkisar antara Rp250 ribu sampai Rp300 ribu/bulan. Untuk SMK pasti lebih besar lagi karena ada beberapa praktikum. Sementara bantuan dari APBD ini belum mencukupi.

Fakta di lapangan, saya menemukan kenyataan yang berbeda. Ibarat pepatah, “purwodadi kuthane, sing dadi nyatane”. Kenyataan di lapangan berbeda dengan yang diucapkan.

Selain itu, kami di DPRD melihat statement gubernur Jabar ini tidak mendapat dukungan kuat dari bawah. Sehingga antara apa yang dianggarkan untuk SMA/SMK dengan kebutuhan SMA/SMK ini belum ada titik temu. Sehingga sekolah-sekolah ini kebingungan. Satu sisi, gubernur minta menggratiskan biaya, sisi lain bantuan dari provinsi tidak seimbang dengan kebutuhan sekolah SMA/SMK.

Sejumlah pengelola SMA/SMK Negeri masih saja sering mengutip pungutan kepada para siswa. Dengan berbagai dalih dan alasan bermacam-macam. Bahkan, nominal pungutan yang dibebankan, bikin pusing tujuh keliling kepala para orangtua.

Bagi orangtua siswa SMA/SMK yang memiliki kelebihan rejeki. Dalam hal ini, kami tidak memerintahkan dan melarang, para orangtua atau masyarakat yang ingin berpartisipasi memberi sumbangan kepada sekolah. Dengan catatan, didahului lewat musyawarah dengan para orangtua dan pihak sekolah, dan tanpa membebani wali murid yang tidak mampu secara ekonomi. Juga jangan sampai disama ratakan. Karena kemampuan orangtua murid berbeda-beda. Apalagi di tengah pandemi ini.

Karena itu, sekolah gratis untuk SMA/SMK sepertinya belum mungkinkan. Perlu ada peran serta dan kontribusi orangtua dan dikomunikasikan dengan cara yang baik. Tidak boleh pihak sekolah memaksa. Dan memukul rata pungutan. Karena kemampuan orangtua berbeda-beda. (*)